tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengkritik program sertifikasi guru. Ia beralasan sertifikasi tidak mencerminkan kualitas dari seorang guru.
"Hanya prosedural untuk dapat tunjangan, bukan berarti dia profesional dan bertanggung jawab," kata Sri Mulyani dalam dialog publik Persatuan Guru Republik Indonesia yang diselenggarakan di Gedung Guru Indonesia, Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Tunjangan buat guru faktanya memang cenderung meningkat saban tahun. Dalam dokumen Direktur Penyusunan APBN Kemenkeu pada November 2017 (PDF) disebutkan "alokasi tunjangan profesi guru cenderung meningkat seiring peningkatan guru tersertifikasi." (hlm 5). Pada 2010 anggarannya baru Rp10 triliunan, sementara pada 2017 sudah mencapai lebih dari Rp50 triliunan dan sempat naik hingga Rp70 triliun setahun sebelumnya.
Apa yang disampaikan Sri Mulyani direspons Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. "Bahwa memang sertifikasi itu belum mencerminkan kemampuan guru, itu iya. Tapi kita harus terus berusaha," kata Muhadjir di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, sehari setelahnya.
Dasar hukum sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Definisi sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikat pendidik adalah bukti formal dan pengakuan bahwa guru yang bersangkutan adalah tenaga profesional (Pasal 1 ayat 11). Tujuan sertifikasi seperti yang diamanatkan dalam regulasi dalam praktiknya belum sepenuhnya terpenuhi.
Sikap dua menteri Presiden Jokowi itu memang ada benarnya, setidaknya menurut beberapa riset yang pernah dibuat.
Bachtiar Dwi Kurniawan dalam paper berjudul Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru dalam Rangka Meningkatkan Profesionalitas Guru di Kota Yogyakarta (PDF) menyimpulkan sertifikasi "belum memberikan dorongan berarti terhadap perubahan profesionalisme para guru dalam proses belajar mengajar." Yang berubah signifikan hanya peningkatan pendapatan para guru yang sudah tersertifikasi berupa satu kali gaji pokok.
Ia memberikan contoh dengan pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), semacam "pegangan" para guru ketika mengajar di kelas. Bachtiar menyebutkan pembuatan RPP sebatas untuk memenuhi administrasi sekolah saja, bukan "benar-benar dalam rangka komitmen dan panggilan moral."
Hal yang sama juga disampaikan oleh temuan Badrun Kartowagiran, dalam artikel Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi) yang terbit di jurnal Cakrawala Pendidikan (PDF) Badrun menemukan kinerja sebagian besar guru tersertifikasi di Kabupaten Sleman belum baik.
Dari 17 indikator yang diteliti (termasuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah, menulis buku/modul, mengikuti seminar, hingga menjadi pengurus di organisasi sosial), 10 di antaranya masih belum baik. Mereka, misalnya, belum bisa maksimal dalam meneliti dan menulis artikel ilmiah.
Bukan cuma peneliti independen, penyelenggara negara yang lain juga menyimpulkan hal serupa. Dokumen Kajian Anggaran Pendidikan (PDF) oleh Kantor Staf Presiden pada 28 November 2017 menyimpulkan "manajemen guru belum berorientasi pada kualitas," di antaranya sertifikasi yang tidak berdampak signifikan karena belum diimplementasikan dengan tepat. Guru, menurut dokumen itu, juga sulit meningkatkan kualitas karena banyak dibebankan dengan urusan administratif (hlm 13).
Apa Masalahnya?
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat sertifikasi tidak maksimal meningkatkan profesionalitas? Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, ini ada kaitannya dengan usia. Menurutnya faktor ini "berpengaruh cukup signifikan."
Sertifikasi dan peningkatan profesionalitas tidak berbanding lurus terutama terjadi pada guru-guru "sepuh", begitu kata Heru. Guru-guru yang mengikuti sertifikasi jelang pensiun biasanya sudah tidak tak lagi bersemangat berinovasi.
"Tunjangan sertifikasi bagi mereka yang sepuh tentunya makin besar karena semakin mereka tinggi masa jabatannya, semakin besar gajinya. Tapi outcome-nya untuk produk pendidikan kualitas pendidikan enggak nampak," ujar Heru kepada Tirto.
Menurut Heru, fenomena ini relatif tidak terjadi pada guru-guru yang lebih muda. Heru menyebutnya sebagai guru generasi Y (juga kerap disebut generasi milenial)—mereka yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Guru-guru muda yang dekat dengan teknologi ini cenderung berupaya meningkatkan kualitas.
"Tapi, generasi X [guru-guru sepuh] yang masih idealis juga ada. Jadi, lapisan-lapisan guru banyak. Tidak bisa dipukul rata," ujar Heru.
Sementara Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Halili Hasan, melihat sejak awal pandangan mengenai sertifikasi itu memang salah. Ia tidak bisa berharap kualitas meningkat begitu saja dengan tambahan insentif.
"Dua hal ini berusaha diatasi oleh satu pendekatan sekaligus. Di satu sisi sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan. Di sisi lain diharapkan meningkatnya kesejahteraan bisa mendorong peningkatan kualitas. Keduanya enggak match, enggak ada parameter yang presisi," kata Halili kepada Tirto.
Kenyataannya, harapan pemerintah selalu berbeda dari realisasi di lapangan. "Guru yang bekerja di bawah [upah] standar bisa jadi orientasinya ikut sertifikasi itu peningkatan kesejahteraan, bukan peningkatan kualitas," tambahnya.
Pemerintah memang sudah tahu persoalan ini. Namun, belum bisa menemukan cara yang paling tepat untuk memecahkan persoalan distorsi.
"Pemerintah bukan sama sekali enggak bersikap, tapi memang belum ada yang secara efektif bisa mengatasi persoalan sertifikasi guru ini. Makanya, pola-polanya terus berubah," kata Halili.
Salah satu cara Mendikbud untuk sampai pada tujuan ideal dari sertifikasi guru adalah menghapus Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan menggantinya dengan Kelompok Kerja Guru (KKG). Menurut Muhadjir, langkah tersebut diambil guna menekankan sertifikasi pada tujuan kependidikan dan keprofesian.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino