Menuju konten utama

Kisah 2 Nelayan Tolak Reklamasi Jakarta yang Dikriminalisasi

Dua nelayan penolak reklamasi bernama Ade dan Alwi terbukti dikriminalisasi. Mereka dinyatakan bebas oleh hakim.

Kisah 2 Nelayan Tolak Reklamasi Jakarta yang Dikriminalisasi
Sejumlah massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat melakukan aksi di Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (20/11/2019). ANTARA FOTO/Fauzan/pras.

tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) memvonis bebas dua nelayan yang menolak reklamasi Jakarta, Ade Sukanda dan Muhammad Alwi, Senin (3/2/2020) kemarin. Hakim menilai Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan yang dipakai Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak tepat. Dakwaan terhadap keduanya dinyatakan inkonstitusional dan batal demi hukum.

"JPU masih menggunakan rumusan unsur pasal 335 ayat (1) yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK," kata Humas PN Jakut, Djuyamto.

Mahkamah Konstitusi memutuskan ini pada 2014 lalu. Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva, sepakat dengan pemohon yang menyebut frasa "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" absurd, menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum. MK menilai implementasi ketentuan ini dapat memicu kesewenang-wenangan penyidik.

Kasus Ade dan Alwi berawal ketika keduanya menggelar aksi tolak reklamasi di pesisir Kamal Muara dan Pulau C pada 11 Desember 2017. Para nelayan protes karena aktivitas kapal tongkang batu merah dan kapal penyedot pasir merusak tambak karang hijau.

Ketika itu Ade dan Alwi, juga nelayan lain, mendatangi kapal tongkang Batu Merah dan meminta operator menghentikan aktivitas dan menuntut ganti rugi. Mereka juga mendatangi kapal tongkang Hay Yin 16 untuk meminta hal yang sama.

"Jalur kapal jelas merenggut ruang hidup mereka. Mereka mencari makan lewat melaut, mencari ikan, lewat jalur itu," kata anggota Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Muhammad Roosman, organisasi yang mengadvokasi nelayan Dadap, Jakarta Utara, kepada reporter Tirto, Selasa (4/2/2020). Para nelayan terpaksa menempuh jarak lebih jauh agar bisa tetap melaut.

Ternyata pengembang pulau reklamasi, PT Kukuh Mandiri Lestari, perusahaan patungan Agung Sedayu Group dan Salim Group, tidak terima peristiwa di hari itu. Ade dan Alwi 'dipolisikan'.

Alwi mendapatkan surat panggilan bernomor S.Pgl/6840/VII/2018/Ditreskrimum. Pada 30 Juli 2018, ia dipanggil sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana perbuatan memaksa seseorang dengan ancaman kekerasan. Alwi dijerat pasal 355 KUHP tentang penganiayaan.

Beredar pula surat ancaman agar para nelayan tidak melakukan protes. Hal itu sempat memengaruhi para nelayan. Tapi mereka ternyata tak menghentikan protes. Mereka tetap menggelar unjuk rasa, misalnya ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dan Kementerian Kelautan, dan Perikanan (KKP).

Setelah cukup lama tak ada kabar, pada 13 November 2019 Alwi kembali dipanggil oleh Polda Metro Jaya. Dalam surat panggilan baru nomor B/7764/XI/RES.1.24/2019/Ditreskrimum, Alwi ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Ade juga ikut ditahan. Kali ini keduanya dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan.

"Saksi korban merasa ketakutan karena mendapat ancaman kekerasan maupun perbuatan tidak menyenangkan," kata jaksa dalam uraian dakwaan.

Tak terima rekannya ditahan, Warga Kampung Dadap dan Kamal Muara menggelar aksi demonstrasi di depan Polda Metro Jaya. Pendemo meminta polisi melepaskan Alwi dan Ade. Saat itu koordinator aksi, Supn jak, menyampaikan apa yang Alwi katakan kepadanya: "tidak ada tindakan yang dituduhkan oleh pelapor. Pengancaman atau perusakan, tidak ada sama sekali."

Tidak Boleh Terulang

Muhammad Roosman berharap kriminalisasi seperti yang dialami Ade dan Alwi tidak terulang kepada semua nelayan. "Jangan ada intimidasi terhadap para nelayan. Mereka, kan, hanya minta ruang untuk mencari nafkah, tidak ada yang lain," katanya.

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Isnur menegaskan kasus ini membuktikan penyidik dan jaksa tidak paham hukum. Kepada reporter Tirto, Selasa (4/2/2020), Isnur menegaskan "cukup memalukan aparat tidak mengetahui putusan MK yang membatalkan pasal tersebut."

Ia juga mengkritik Polri dan Kejaksaan Agung yang "melakukan sosialisasi dan pendidikan bagi aparatnya." Menurutnya Ade dan Alwi dapat menuntut ganti rugi kepada polisi dan jaksa karena mereka dapat dikategorikan korban salah tangkap.

Karena pasal yang dipakai tidak jelas, Isnur menegaskan bahwa kasus ini memang kriminalisasi. "Padahal menyampaikan pendapat dan keberatan adalah hak yang dijamin konstitusi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino