tirto.id - Komisi Informasi Pusat (KIP) mengatakan pelemahan daya konsumsi masyarakat menjadi salah satu kekhawatiran publik mengenai rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Hal ini diungkapkan oleh Komisioner KPI, Rospita Vici Paulyn, dalam media briefing di Kantor Wisma BSG, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Menurut Rospita, apabila PPN naik maka akan berpengaruh pada harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, mulai dari bahan bakar minyak (BBM) hingga sembako. Hal ini yang dikhawatirkan akan menurunkan daya beli.
“Karena perusahaan ketika dia bahan bakunya naik, kemudian ongkos dari produksinya naik, maka harga dari bahan olahan atau yang dijual kepada publik juga pasti akan naik,” ujarnya.
Rospita juga menilai, penurunan daya beli masyarakat mayoritas akan disumbang dari kelompok rentan yang pengeluarannya sebagian besar diarahkan untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan transportasi.
Tak hanya itu, Rospita juga menyebut dampak penurunan daya beli ini dapat mengakibatkan munculnya penurunan kinerja produksi perusahaan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Pasti akan ada PHK besar-besaran, karena ongkos produksi yang tinggi, daya beli masyarakat menjadi berkurang dan rendah, sehingga kemudian barang tidak terjual maksimal, solusi yang bisa diberikan tidak ada penaikan gaji atau terjadi PHK. Kemudian penurunan minat investasi, orang akan jadi investor akan berpikir untuk berinvestasi di Indonesia,” jelasnya.
Ia menambahkan, masyarakat sudah dipenuhi oleh berbagai macam potongan. Hal ini menjadi persoalan karena masyarakat menengah ke bawah mendapat beban yang sangat tinggi dari potongan-potongan pajak.
“Sangat banyak pajak, ditambah baru beberapa waktu yang lalu pemerintah juga akan mulai menerapkan Tapera. Sekarang kita dipotong lagi, ditambah lagi beban dengan pajak 12 persen,” ucap Rospita.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Irfan Teguh Pribadi