tirto.id - Komisi Informasi Pusat meminta pemerintah kembali mempertimbangkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan diberlakukan per Januari 2025. Menurut Komisioner KI Pusat, Rospita Vici Paulyn, hal ini mengingat pertumbuhan ekonomi yang masih belum stabil pasca pandemi Covid-19.
“Indonesia yang juga negara berkembang, justru mengalami kenaikan [PPN] menjadi 12 persen, di tengah kondisi masyarakat kita yang ekonominya belum stabil, kemudian banyak PHK di mana-mana, ini menjadi persoalan di masyarakat,” ujar Rospita di Kantor Wisma BSG, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Ia menambahkan, Indonesia baru saja menaikkan PPN sebesar 11 persen pada tahun 2022. Lalu, ia melihat pemerintah menggunakan alasan kenaikan 12 persen di tahun 2024 ini untuk menjaga kesehatan anggaran dan mendongkrak pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan untuk menyelesaikan standar internasional terhadap pajak dengan negara maju lainnya.
Hal ini menurut dia terlalu menjadikan negara maju sebagai acuan dalam menerapkan kenaikan PPN. Rospita menilai, acuan tersebut tidak dapat diterapkan Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang.
“Kalau kita membandingkan dengan negara maju di tingkat ASEAN, Singapura saja menerapkan PPN hanya 7 persen, Malaysia 6 persen, dan Thailand yang juga negara berkembang tadinya ketika masa pandemi Covid-19 dinaikkan menjadi 8 persen, dan setelah berakhirnya pandemi diturunkan lagi menjadi 7 persen,” ucap Rospita.
Lebih lanjut, Rospita mengatakan pemerintah harus terbuka terhadap pemanfaatan atau alokasi penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk perbaikan program dan fasilitas layanan kesehatan, pendidikan gratis, subsidi angkutan umum, infrastruktur, jaminan sosial lainnya, untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah.
“Pemerintah harus terbuka terhadap pemanfaatan atau alokasi anggaran yang digunakan untuk perbaikan program kesehatan dan sebagainya. Berapa sih sebenarnya yang dianggarkan untuk kesehatan? Tapi yang paling penting dulu adalah berapa sih yang didapatkan? Itu yang seharusnya bertriwulan bisa disampaikan kepada masyarakat,” tuturnya.
Rospita menambahkan, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan dan melibatkan rakyat dalam merumuskan kebijakan publik. Hal ini guna memastikan kebijakan pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan riil rakyat.
“Pemerintah itu perlu ada kajian yang komprehensif serta melakukan sosialisasi masif sebelum diimplementasikan,” katanya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Irfan Teguh Pribadi