tirto.id - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menuai penolakan warganet. Adapun langkah masyarakat untuk menolak kenaikan PPN adalah mengajukan petisi pembatalan.
PPN 12 persen sudah diatur ketentuannya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sesuai bunyi pasal 7 ayat (1) huruf b, pemberlakuan pajak terkait diadakan paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
Sehubungan dengan itu, PPN secara umum dipungut dari kantong para konsumen akhir yang membeli barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP). Contohnya bisa dilihat dari pembelian makanan di restoran-restoran cepat saji.
Sementara perusahaan atau pebisnis yang bertindak menjual BKP/JKP akan ditugaskan sebagai pemungut pajaknya. Mereka akan memungut pajak sesuai ketentuan yang berlaku, kemudian menyetorkannya ke Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan begitu, pemilik perusahaan sebagai pelaku usaha kena pajak (PKP) diwajibkan memungut PPN atas berbagai penjualan. Pencantuman terkait biaya PPN biasanya bisa dipantau di kertas order, baik secara persenan maupun nominalnya.
Link Petisi Penolakan PPN 12 Persen dan Alasan Penolakannya
Petisi penolakan PPN 12 persen ditujukan untuk Presiden Republik Indonesia, dimulai pada 19 November 2024 oleh Bareng Warga. Kini terdapat sebanyak 4.569 penandatangan petisi, per Jumat (22/11/2024), pukul 10.47.
Untuk melihat petisi tersebut, Anda bisa mengunjungi tautan berikut.
Link Petisi Penolakan Kenaikan PPN 12 Persen Awal Januari 2025
Terdapat dua poin alasan penolakan, salah satunya mengklaim bahwa kenaikan PPN 12% dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat. Contoh kasus yang dicantumkan dalam petisi tersebut adalah kenaikan harga bahan bakar dan sabun mandi.
Kesulitan ini juga bisa muncul lantaran keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang diklaim belum cukup baik. Jika merujuk pada data BPS per Agustus 2024 silam, masih ada kisaran 4,91 juta orang yang termasuk pengangguran terbuka.
Terdapat pula permasalahan upah pekerja sejak tahun 2020-Agustus 2024 yang dianggap masih tipis jaraknya dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Ditambah lagi dengan fakta bahwa ada beberapa pekerja yang menerima upah di bawah UMP.
Harga berbagai barang yang naik juga diklaim akan berdampak krusial terhadap daya beli masyarakat. Alasan ini disampaikan dengan acuan tentang tren daya beli masyarakat yang kian merosot sejak Mei 2024 lalu.
PPN yang dipaksa naik 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang diklaim bukan hanya membuat daya beli masyarakat turun. Tepatnya dianggap dapat menyebabkan daya beli masyarakat merosot dan “terjun bebas”.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Dipna Videlia Putsanra