tirto.id - Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta pemerintah untuk lebih terbuka dalam menyampaikan rencana dan sosialisasi penyampaian pajak penambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Komisioner KIP, Rospita Vici Paulyn, mengatakan keterbukaan informasi kepada masyarakat penting mengingat kenaikan PPN ini menyangkut hajat hidup masyarakat.
“Itu menjadi persoalan kemudian kurangnya transparansi membuat masyarakat menjadi skeptis, menjadi kurang kepercayaan terhadap pajak yang kemudian dikumpulkan oleh pemerintah,” ucap Rospita di Wisma BSG, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Hingga saat ini, pemerintah hanya menyampaikan rencana kenaikan PPN ini sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tanpa menjelaskan detail pemanfaatannya kepada masyarakat.
“Kebijakan apa yang diambil, sehingga kemudian pemerintah menaikkan PPN 1 persen dari tahun sebelumnya, itu belum tersampaikan secara langsung karena pemerintah kan hanya bilang untuk kebutuhan APBN,” ujar Rospita.
Dia menegaskan publik berhak mengetahui informasi spesifik tentang kebutuhan dan alokasi tambahan anggaran tersebut.
“Dan kemudian yang kedua adalah actionnya, bukan hanya sekedar menyampaikan. Karena kalau kita bicara pembangunan, benar nggak sih itu dibangun gitu loh? Atau benar nggak itu difasilitasi? Kita bicara saja fasilitas layanan kesehatan," katanya.
Rospita mengatakan, masyarakat hanya memperdulikan informasi rinci mengenai manfaat yang akan mereka rasakan dari kenaikan PPN ini, daripada rincian teknis kebutuhan APBN. Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan secara rinci kepada masyarakat apa saja dampak positif yang akan diterima dari tambahan pajak tersebut.
“Pemanfaatannya saja yang harusnya disampaikan secara jelas kepada masyarakat. Anda akan dapat A,B,C,D,E,F. Anda akan dapat fasilitas kesehatan yang lebih baik,” imbuhnya.
Rospita juga menyoroti pentingnya penjabaran manfaat yang dijanjikan, seperti perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Pemerintah tidak cukup hanya mengatakan bahwa masyarakat akan mendapatkan layanan yang lebih baik, tetapi perlu menjelaskan secara rinci perubahan atau peningkatan apa yang akan dilakukan.
Menurutnya, perincian oleh pemerintah soal kebutuhan tambahan dana yang dibebankan kepada pajak sangat penting dilakukan. Sebab, kebijakan kenaikan pajak ini mampu memberikan dampak yang luas terhadap harga bahan pokok dan jasa yang bisa mengalami kenaikan.
“Kami menilai pemerintah tidak terbuka kepada publik, berapa banyak penghasilan dari pajak, hingga akan digunakan untuk apa kenaikan pajak 12 persen. Karena ini akan merembet kemana-mana, pasti harga sembako, barang dan jasa akan naik,” tuturnya.
Dengan begitu, dia menilai masyarakat akan dapat memahami sehingga turut mendukung kebijakan pemerintah dalam menaikkan PPN 12 persen itu.
“Hal-hal seperti itu yang harus pemerintah sampaikan secara rinci, sehingga masyarakat kemudian berpikir ulang, ‘oh ternyata 1 persen yang akan ditambahkan ke pajak kami, bermanfaat baik untuk kami maupun untuk banyak orang’,” kata Rospita.
Dia menyatakan, berdasarkan UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), 90 persen informasi yang ada di badan publik harus terbuka. Lalu hanya 10 persen informasi yang boleh ditutup, menyangkut rahasia negara, rahasia bisnis, dan rahasia pribadi.
“Maka semua laporan keuangan, kebijakan, dan semua informasi yang dihasilkan dari anggaran negara itu sifatnya terbuka. Tinggal bagaimana masyarakat mau memanfaatkan meminta, mengontrol, sudah benar nggak penggunaannya? sudah nggak itu diinformasikan secara terbuka kepada publik? kebijakan-kebijakan yang diambil sudah nggak melibatkan masyarakat? sehingga ada pertimbangan dan masukan dari publik,” ucapnya.
Selain itu, Rospita juga meminta Badan Publik untuk lebih responsif dalam menanggapi keluhan para pengadu. Menurutnya, hingga saat ini masih belum ada aduan yang masuk, lantaran persentase masyarakat yang melakukan pengaduan mulai menurun.
“Sejauh ini belum ada (pengaduan yang masuk), tetapi kemarin kami baru habis RDP dengan Komisi I, dan kami diminta untuk merespons setiap isu-isu yang berkaitan dengan banyak orang. Karena di sini ada hak publik, ada hak masyarakat, maka kami mencoba untuk merespon setiap persoalan yang terjadi di publik supaya pemerintah bisa mendengarkan suara dari rakyat melalui Komisi Informasi,” ucapnya.
Dia menjelaskan prosedur yang harus dilalui masyarakat apabila ingin melayangkan aduan yakni harus melalui Badan Publik terlebih dahulu, dengan proses kerja selama 10 hari.
“Sehingga kadang-kadang pemohon informasi merasa terlalu lama, terlalu panjang waktu itu. Sementara dia butuh sesuatu yang direspon dengan cepat?” imbuhnya.
Hal ini menurutnya, Komisi Informasi bukan pihak yang berperan aktif dalam pembentukan kebijakan publik, melainkan menjadi wadah keluhan masyarakat mengenai kebijakan publik yang ada.
“Karena tadi sekali lagi saya sampaikan, Komisi Informasi itu sifatnya pasif karena kami harus menerima pengaduan dari masyarakat,” ucapnya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Anggun P Situmorang