Menuju konten utama

Ketum AJI: Perlindungan pada Jurnalis Itu Kecil, Bahkan Tak Ada

Isu kekerasan terhadap jurnalis kian kompleks dengan rencana revisi UU Pers yang salah satunya menyebut secara spesifik pelarangan liputan investigasi.

Ketum AJI: Perlindungan pada Jurnalis Itu Kecil, Bahkan Tak Ada
Header Wansus Nany Afrida. tirto.id/TIno

tirto.id - Kekerasan terhadap jurnalis kian serius, terutama di tahun politik. Tidak hanya kekerasan fisik, kekerasan secara digital juga semakin marak. Sayangnya, perlindungan bagi jurnalis masih sangat minim, terutama dalam soal kriminalisasi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyebut hingga kini belum ada regulasi yang memadai untuk melindungi para jurnalis dalam menjalankan tugas.

Ketidaktahuan publik tentang tugas jurnalis juga terkadang menyebabkan banyak pihak yang masih melakukan intimidasi hingga menghalang-halangi proses peliputan.

“Dan kita tahu bahwa betapa rentannya kondisi keamanan jurnalis saat ini. Kita melihat bahwa memang perlindungan terhadap jurnalis itu kecil banget. Sedikit banget, dan bahkan tidak ada,” jelas Nany dalam Podcast For Your Politics di kantor Tirto, Jakarta.

Dari banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, kata Nany, hanya segelintir yang berhasil dibawa ke meja hijau. Dari segelintir itu, ironisnya cuma aktor-aktor yang menjadi eksekutornya saja ditindak dan bukan orang yang ada di belakangnya.

“Jadi kami lagi mencoba untuk terus mendorong supaya pemerintah pedulilah sama kami, dalam artian di-protect. karena kita pilar keempat demokrasi. Kita yang melihat bagaimana kita itu anjing penjaga. Harusnya kita dijaga dengan betul-betul dan baik. Bukan malah kalau terjadi apa-apa malah dibiarkan begitu saja,” ungkapnya.

Isu kekerasan terhadap jurnalis menjadi lebih kompleks dengan rencana revisi UU Pers. Banyak pihak sepakat bahwa revisi perlu dilakukan untuk menjaga relevansi UU dengan situasi saat ini. Namun, ada kekhawatiran bahwa perubahan tersebut bisa mengubah hal-hal baik yang sudah ada, salah satunya yang spesifik menyebut pelarangan liputan investigasi.

Kepada Tirto, Nany Afrida membahas lebih lanjut tentang berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis di Indonesia saat ini. Berikut petikan wawancaranya:

Bagimana Mbak Nany melihat tren peningkatan kekerasan terhadap jurnalis?

Sebenarnya kalau kita lihat memang meningkat ya. Karena di 2023 sendiri sekitar 90-an kasus kalau versinya AJI. Jadi AJI Indonesia itu mendata setiap kali ada insiden berdasarkan informasi dari teman-teman di AJI kota. Kebetulan kita punya 40 AJI kota dengan jumlah anggotanya sekitar 1.800.

Jadi mereka memberikan informasi sama kita. Dan kita juga punya website khusus untuk advokasi. Itu namanya advokasi.org.id. Di situ semua informasi tentang kekerasan, kemudian jenis-jenis kekerasan, pelakunya, itu semua ada di situ. Jadi berdasarkan laporan-laporan yang masuk.

Jumlahnya bertambah dan kita akui memang tahun kemarin tahun politik pemilihan presiden. Tapi kan ke depannya pemilihan kepala daerah dan itu lebih rentan juga, karena ada ratusan kepala daerah yang akan dipilih.

Kekerasan terhadap jurnalis kalau AJI lihat [dipengaruhi] berbagai faktor. Terutama faktor bahwa masih banyak orang-orang yang tidak mengerti gimana cara kerja pers. Karena tidak mengerti, maka mereka melakukan hal-hal lain, seperti menghalang-halangi, habis itu mengintimidasi, bahkan juga ada yang memukul fisik.

Kita juga sudah mulai mendata kekerasan secara seksual buat jurnalis, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi itu masih ada. Dan kita mencoba mengadvokasi semua kekerasan tersebut.

Terakhir ini di Ternate. Jurnalis dihalang-halangi saat meliput juga kalau tidak salah. Jadi itu baru kemarin kejadiannya.

Soal apa itu?

Mereka liputan dan ternyata dihalangi oleh petugas dan itu serius kayaknya. Karena Ketua AJI Ternate juga mengeluarkan statement-nya. Baru kemarin.

Terus ada juga kejadian sebelumnya itu yang Yasin Limpo, itu juga fenomenal. Karena jurnalis dikejar-kejar sama pengikutnya [Yasin Limpo]. Terus ada juga aksi di depan Kompas buntut dari kejadian yang Yasin Limpo itu. Ada segerombolan orang yang supporter-nya mantan Menteri Pertahanan itu yang ingin supaya kasusnya itu diselesaikan tanpa harus ke hukum gitu.

Jadi itu udah jadi suatu hal yang biasa, dalam artian bukan biasa dalam waktu normal. Tapi lebih pada itu terjadi memang saat ini. Dan kita tahu bahwa betapa rentannya kondisi keamanan jurnalis saat ini.

Kalau misalnya melihat dari tahun ke tahun, ada pola-pola tertentu nggak sih terkait kekerasan ini?

Kalau pola-pola tertentu sih nggak serba berubah, masih sama. Sebetulnya kan antara Dewan Pers, AJI, kan masuk ke konstituen Dewan Pers. Nah, Dewan Pers itu punya sekitar 11 konstituen termasuk AJI, itu sudah melakukan MOU dengan Polri ya, yang bilang bahwa segala kasus yang berhubungan dengan konten jurnalisme itu harus diselesaikan dengan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Kita sengaja untuk lakukan sosialisasi supaya semua orang melakukan itu. Jangan sampai kalau ada masalah dengan konten, malah ke polisi dengan Undang-Undang KUHAP, Undang-Undang ITE. Jadi kita berusaha supaya itu masuknya ke Undang-Undang Pers, harus diselesaikan dengan Dewan Pers sebagai orang yang akan menyelesaikan.

Tapi yang jadi masalah itu hanya sekadar konten. Belum ada perjanjian atau semacam kesepakatan atau semacam perlindungan untuk jurnalis khusus untuk kriminalisasi. Misalnya, kayak bagaimana kalau terjadi kekerasan terhadap jurnalis, itu belum ada. Jadi ini hal yang kayaknya lagi didukung, lagi didorong menuju ke Perkap peraturannya untuk kepolisian gitu loh. Tapi sampai sekarang belum juga, baru sekadar MOU. Itu juga yang membuat terjadi impunitas di mana-mana.

Kita melihat dari banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, itu hanya segelintir yang berhasil dibawa ke meja hijau. Dari segelintir itu, cuma aktor-aktor yang eksekutornya. Bukan orang yang di belakangnya. Nah, itu juga jadi tantangan buat kita ke depan.

Sebenarnya MOU itu dari kapan? Kemarin disinggung mau ada MOU antara Dewan Pers dengan Kejagung. Sebenarnya itu dari kapan?

Itu diperbarui sih sebenarnya. Jadi yang saya tangkap ketika Bu Ninik sebagai Ketua Dewan Pers datang ke kepolisian. Cuma seperti yang saya bilang, MOU itu tidak kuat. Karena dibutuhkan itu sebenarnya Perkap, peraturan gitu. Peraturan lembaga untuk memproteksi keamanan jurnalis.

Nah, kalau buat AJI, kita melihat perlindungan terhadap jurnalis itu kecil banget. Sedikit banget dan bahkan tidak ada. Jadi kalau wartawannya udah melakukan tugas-tugas berat seperti jurnalis, jurnalis investigatif itu ya siap-siap aja kalau ternyata ada orang yang kebetulan gak happy dengan isi konten tersebut. Dan itu udah terbukti dari beberapa teman kami yang sempat masuk penjara.

Salah satunya kasus di Bau-Bau, udah lama. Jadi seorang wartawan dia menulis tentang korupsi, kemudian dia ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara. Dan kita dari AJI tahunya setelah proses sidangnya selesai.

Jadi kita harus memastikan, apa benar dia ternyata ditangkap? Ternyata benar. Dan kita nyampe sana ternyata prosesnya sudah selesai. Dia sudah masuk ke dalam sel. Dia sempat di sel tuh lumayan lama, lebih dari setahun lah dia di situ.

Nah, dari [kasus itu] kita berpikir, waduh ini konon pula teman-teman wartawan di kawasan terpencil ya, yang betul-betul melaksanakan tugas jurnalistiknya. Dan mungkin gak bisa menjangkau seperti misalnya di Jakarta gitu, itu kita gak tahu. Makanya itu jadi semacam tantangan juga sih buat teman-teman AJI terutama.

MOU sendiri sebenarnya itu work gak sih?

Komitmen sih. Masalah komitmen sekarang. Masalah komitmen intensi pemerintah untuk melindungi wartawannya. Lebih ke situ. Dan kalau udah ngomong komitmen, kita balik berpikir, apakah pengetahuan tentang pentingnya tugas jurnalistik itu memang sudah diketahui? Dan sehingga mereka penting untuk di-protect. Atau jangan-jangan wartawan sebenarnya yang dianggap merecoki dan gak usah di-protect.

Apalagi dengan banyaknya wartawan nakal, mungkin di sekililing kita ya. Kan udah jadi rahasia umum lah ada banyak orang yang mempergunakan profesi jurnalis, misalnya, untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji, itu kan juga ada.

Jadi kami lagi mencoba untuk terus mendorong supaya pemerintah pedulilah sama kami, dalam artian di-protect lah. Karena kita pilar keempat demokrasi. Kita yang melihat bagaimana, kita itu anjing penjaga. Harusnya kita dijaga dengan betul-betul dan baik. Bukan malah kalau terjadi apa-apa malah dibiarkan begitu saja. Dan itu sama sekali tidak layak dan tidak bijaksana, malah jahatlah itu bisa dibilang terhadap kita semua.

KECAM KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Jurnalis yang tergabung dalam Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu menggelar aksi solidaritas di Tugu Pers, Kota Bengkulu, Kamis (18/8). Dalam aksi ini jurnalis Bengkulu meminta kepada aparat keamanan untuk mengusut setiap kasus pengancaman dan kekerasan yang dialami jurnalis serta menghormati Kemerdekaan Pers yang dilindungi UU No 40 tahun 1999. ANTARA FOTO/ David Muharmansyah/foc/16.

Kalau misalnya ditingkatkan menjadi Perkap, apakah akan membantu? Artinya tingkatannya lebih tinggi dari MOU

Apapun kalau udah ditingkatkan itu memang membantu. Dalam artian Perkap misalnya lebih tinggi. Nah, itu nanti kita juga harus menjaga implementasinya ke daerah-daerah yang lebih rendah. Misalnya polres, polda, polsek, gitu kan juga harus dilihat. Karena kadang-kadang udah ada MOU di atas, di bawah juga masih belum tahu.

Contohnya yang dibawa di Baubau ini, itu MOU udah ada. Tapi tetap dipakai Undang-Undang ITE kan sampai dijebloskan ke penjara. Itu berarti kan sebenarnya gak sampai ke bawah juga. Jadi yang kita butuhkan itu bukan hanya lembaran, tapi lembarannya harus ditingkatkan, sosialisasinya juga harus dikuatkan.

Untuk penyelesaian kasus kekerasan, sebenarnya aparat penegak hukum tuh gimana menangangi laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis?

Ada yang kasusnya dilaporkan ke polisi, misalnya dia dipukul. Tapi bagaimana kita laporin kalau pelakunya justru orang mereka. Itu kayaknya agak sulit ya, contohnya misalnya kasus Nurhadi (wartawan Tempo) ya. Dia melakukan investigasi, kemudian dipukul gitu kan oleh oknum polisi.

Kemudian akhirnya ada yang naik ke meja hijau, namun kita melihat itu gak maksimal. Itu prestasi karena kita berhasil membawa pelakunya ke meja hijau, tetapi tidak maksimal karena kita lihat orang-orang yang naik itu bukan orang yang pangkatnya tinggi-tinggi, atau orang di belakang semua itu gitu. Jadi masih kroco-krocolah yang dinaikkan ke atas.

Tapi pada dasarnya ini kembali ke intensi yang baik dari orang yang mau menjalankan itu sih. Kalau kami dari AJI memang mengadvokasi semua kasus yang kami anggap ada hubungannya dengan konten jurnalisme, kemudian jurnalisnya mengalami kekerasan fisik, dikriminalisasi, kita akan bela. Selama dia memang punya konten. Dan konten itu yang memang jadi tanda bahwa dia mengerjakan tugas-tugas jurnalistik.

Ini juga menjawab pertanyaan kenapa AJI mengadvokasi beberapa kasus yang berat-berat kayak yang di Sumatra Utara itu, [kasus jurnalis] Tribrata TV [dan keluarganya yang tewas dibakar]. Karena dia memang ada kontennya. Dan itu kita anggap salah satu kerja jurnalistik terlepas dari apa di belakangnya.

Kalau yang [kasus] digital terekam juga di catatan AJI?

Iya. Kita rekam semua.

Apakah itu termasuk di angka tadi atau berbeda? Yang 80 sekian sampai 90?

Kayaknya sama deh. Saya harus ngecek lagi. Karena nanti kita tinggal buka aja di situ semuanya, serangan-serangan seperti itu. Karena itu masuk serangan juga. Cuman kalau fisik kan kelihatan. Orangnya babak belur, harus divisum segala macam. Tapi kalau digital itu ngeri.

Makanya kita juga memastikan teman-teman jurnalis memperkuat double password pada handphone-nya. Tidak memosting foto keluarga di dalam sosial medianya. Berhenti untuk flexing hal-hal yang tidak penting. Bahkan mengunci media sosialnya. Itu penting.

Kalau misalnya laporan soal kasus kekerasan, meskipun bukan delik aduan, sebenarnya pernah ada gak kasus yang diproses oleh kepolisian tanpa menunggu aduan korban?

Saya belum pernah dengar deh informasi secantik itu yang ada inisiatif gitu. Karena biasanya kalau pun ada kekerasan atau bahkan pencurian sekalipun, kan kita dimintain cari buktinya mana? Jadi belum sih.

Soal pembakaran rumah wartawan Tribrata TV, sebenarnya gimana AJI melihat penanganan kasusnya? Karena sampai saat ini masih simpang siur.

Kita sih dari awal merasa banyak kejanggalan ya. Dan kita termasuk memikirkan bagaimana caranya untuk menyelesaikan kasus ini. Karena kasus ini jadi preseden, jadi banyak media yang meliput kemudian International Federation of Journalists (IFJ) juga ngeluarinstatement bahwa mereka mengutuk kejadian pembakaran ini. Karena yang tewas itu bukan hanya si jurnalisnya, tetapi [juga] istrinya, kemudian cucunya, dan anaknya.

Jadi ini kasus serius. Kami di AJI menganggap ini perlu diselesaikan. Karena kalau tidak, jadi preseden dan membawa impunitas buat pelakunya. Dan pihak dari polisi sendiri kan kabarnya sudah menangkap nih eksekutornya, kita apresiasi. Tapi bukan itu sebenarnya. Karena ada aktor di belakang itu yang harusnya dibuka. Bukan pelaku kroco-kroco ini, kita butuh yang benar-benar mastermind-nya siapa.

Memang katanya ada beberapa kemajuan. Namun tetap aja kita berpikir bahwa yang harus dicari itu adalah pelaku, benar-benar pelakunya. Jangan cuma sekadar [ditangkap] kemudian hilang. Dan kita harus jaga isu itu tetap ada. Jangan sampai belum selesai terus hilang aja gitu. Nah, untuk menjaga itu agak sedikit merepotkan memang. Tapi kita sudah bertekad itu harus dijalankan. Dan kita berharap kasus ini tidak hilang begitu aja.

Dalam konteks spesifik secara digital, sebenernya apa yang diupayakan oleh AJI untuk teman-teman jurnalis?

Peningkatan kesadaran, kalau media sosial itu memang tidak aman. Itu bisa jadi benda kita untuk membantu kita meliput, tapi bisa juga kita harus hati-hati dengan hal itu. Karena tidak semua paham.

Karena ada di beberapa tempat media yang memperlakukan semacam peraturan bagaimana menggunakan media sosial. Jadi bukan kita, bukan organisasi yang mengintervensi, enggak. Tapi lebih pada menyadarkan bahwa kamu tidak boleh nge-tweet yang model-model kayak gini.

Ada banyak kejadian wartawannya terlalu aktif nge-tweet, terakhir larinya ke politik, akhirnya jadi masalah. Padahal harusnya jurnalis itu independen. Akhirnya dia kena, dikeramasin rame-rame lah kan gara-gara kasus itu.

Tapi pada dasarnya kita memang mencoba untuk kalaupun ada kasus, kasus yang berhubungan dengan itu kan ada organisasi-organisasi juga yang membantu kalau terjadi kayak model doxing, model peratasan, itu ada organisasi.

Paling saya khawatirkan justru kekerasan seksual digital loh untuk jurnalis perempuan. Itu agak sedikit meresahkan juga ya. Karena perempuan itu lebih mudah bisa dibilang dijadikan sebagai objek ya untuk begitu. Itu juga meresahkan. Dan penyelesaiannya juga masih belum terlalu komprehensif sih menurut saya. Dan jejak digital itu selalu ada.

Jadi pernah ada satu kasus ya. Teman menulis tentang salah satu petinggi di republik ini. Kemudian si petinggi itu marah. Dan kemudian menyebut nama dia. Kemudian dia di-doxing sama para suporternya bilang macam-macam. Dan jejak digital itu tertinggal.

Sekarang dia pindah kerja. Kemudian dia memulai segala sesuatu dari bawah lagi.Tapi dia sulit mendapatkan beasiswa. Dia pengen sekolah lagi. Kenapa? Karena jejak digital yang tertinggal itu menunjukkan bahwa dia bukan wartawan yang kompeten.

Dan itu terjadi di salah satu wartawan perempuan kita. Dia selalu bilang, “padahal aku gak kayak gitu loh, Mbak”. Tapi gimana ya udah terekam seperti itu. Dan itu juga belum ada mekanisme gimana yang dari digital itu bisa dihapus. Itu kan belum ada. Dia kan stay di situ, jejak digital gak pernah bohong kan? Selalu ada di situ.

Belum lagi kekerasan seksual, yang mungkin beberapa temen cerita kalua biasanya dari digital tiba-tiba bisa jadi fisik. Makanya orang pada bilang cuma digital kan, dia cuma iseng doang gitu loh. Tapi pada dasarnya itu nanti lari ke fisik beneran. Itu juga salah satu hal yang kita pikirkan. Jadi tantangan selanjutnya buat kita soal keselamatan jurnalis.

Soal serangan digital, sebenarnya AJI ada cerita apa dalam penanganan kasus yang spesifik serangan digital?

Serangan digital pernah kejadian [lewat] handphone ya. Jadi tiba-tiba handphone-nya dikuasai orang gitu. Itu beberapa kali kita ngalamin hal itu ya. Atau sosial medianya tiba-tiba diambil orang atau sosial media di-drop down ya, karena diserang habis itu kemudian dicabut. Harus memulai lagi dari mula gitu kan.

Semakin ke sini apakah semakin banyak serangan digitalnya?

Kayaknya digital lebih banyak sih sebenarnya dari fisik. Atau mungkin udah sama ya. Aku nggak berani ngomong ya, nanti temen-temen cari sendiri. Karena bisa jadi double, sudah digital [juga] fisik.

Makanya kita menyarankan kalau jadi wartawan tuh media sosialnya jangan terbuka banget, semua orang bisa lihat. Itu juga salah satu cara, meskipun nggak efektif juga kalau kita mau cari follower yang banyak kan. Karena banyak juga wartawan yang bekerja sambilan itu misalnya aktif di media sosial.

Kalau soal buzzer, ada cerita menarik hubungan wartawan dengan buzzer-buzzer?

Beda sih ya kalau kita ngomongin buzzer. Karena kalau buzzer kayaknya negatif. Kayaknya kita belum, kalau buat aku pribadi sih belum ada informasi atau cerita menarik ya. Karena kita memang berbeda, dari hal kerjaan juga berbeda.

Tapi kalau diserang-serang, diserang iya. Beberapa media, apalagi media yang sangat spesifik ya, itu diserang apalagi kalau udah ngomongin tentang isu kaum minoritas ya. Minoritas secara seksual ya. Nah, itu habis itu.

Makanya ada juga media yang biasanya tuh tombol kayak caption untuk komen gitu-gitu dimatiin. Karena kalau nggak di-off biasanya kan banyak banget informasi yang aneh-aneh, maki-makian segala macem. Tapi ada juga yang iseng gitu dinyalin aja. Nah itu juga tergantung medianya bagaimana.

HARI KEBEBASAN PERS DUNIA

Puluhan jurnalis menggelar aksi hari kebebasan pers sedunia di jalan MT Haryono, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (3/5). Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari berharap peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) yang jatuh pada 3 Mei merupakan momentum kebebasan pers lebih baik. ANTARA FOTO/Jojon/pd/17.

Bergeser ke soal regulasi, baru-baru ini sempat ramai pembahasan soal revisi RUU Penyiaran. Salah satu pasal yang diperdebatkan itu pelarangan terhadap jurnalisme investigatif. Bagaimana AJI menilai kondisi kebebasan pers di Indonesia?

Kita kalau ngeliat dari RUU Penyiaran tuh emang banyak masalah ya. Kita itu termasuk orang yang setuju RUU itu direvisi karena sudah tidak lagi konsektual seperti sekarang. Tapi revisinya gak model begitu. Revisinya kita itu ingin supaya dia mengikuti zaman. Bukan hal-hal yang bagus malah jadi seperti ini.

Terus ada pertanyaan juga, kenapa sih yang dipermasalahkan itu liputan investigasi? Itu juga jadi masalah. Banyak kok liputan yang lain. In-depth story, jurnalisme data, feature atau kayak straight news. Kenapa investigasi? Kenapa? Itu jadi pertanyaan.

Karena kembali saya selalu bilang, tidak semua orang bisa investigasi. Tidak semua orang. Semua orang itu belum tentu bisa untuk liputan investigasi. Itu butuh jam terbang tinggi. Dia butuh narasumber yang kuat-kuat. Dia butuh kecakapan dari dirinya sendiri untuk me-manage dan yang lain-lain. Kenapa tiba-tiba ini? Secara spesifik dia menyebutkan. Kita gak tahu.

Dari situ kelihatan banget bahwa wewenang Dewan Pres itu mau di-cut dan dialihkan ke KPI. Padahal selama ini KPI itu ngurusin hal-hal yang berbau non-konten atau non-jurnalisme, seperti iklan, drama-drama, memberi sensor. Dan dia itu sebetulnya punya batasan.

Dewan Pers itu memang ngurusin hal-hal yang bersifatnya news. Bersifat news, ada jurnalistik.Dan kalau dibandingin berdasarkan Undang-Undang, Dewan Pers itu bisa menyelesaikan sengketa pers. Kalau terjadi sengketa, misalnya dialihkan ke KPI, itu gak ada mekanismenya. Sengketa pers itu cuma bisa ke Dewan Pers.

Terus kita juga melihat ada gejala tidak inklusif untuk Undang-Undang Penyiaran ini. Kelompok minoritas akan semakin tergerus dengan undang-undang revisi ini. Kenapa? Karena nanti konten-kontennya akan sama dan seragam.

Terus kepemilikan media itu juga jadi masalah di situ. Kalau biasanya kita anti sama namanya orang memiliki media lebih dari satu atau gimana, atau konglomerasi media, ini di Undang-Undang itu justru gak ada. Jadi orang bisa memiliki media mau gimana, oligarki itu terserah.

Terus ada beberapa pasal yang hilang di situ. Bahwa pasal yang mengatakan bumi, udara yang harusnya dipergunakan, frekuensi yang harusnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, untuk juga kesejahteraan, itu hilang. Terus konsiderasi Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 itu juga dikonsiderasi. Harusnya kan ada karena kan ada irisan ya sama isu itu. Itu juga hilang. Dan tidak ada partisipasi publik.

Bayangin aja Undang-Undang itu terkubur cukup lama, terus tiba-tiba muncul kembali udah direvisi. Apa gak kaget kita semua? Isinya gak banget gitu loh. Jadi makanya tiba-tiba muncul setelah lama terkubur, terlupakan, tiba-tiba muncul. Di bikin sendiri, beberapa kali revisi kok makin aneh aja gitu kan.

Harusnya ketika membuat atau merevisi Undang-Undang itu dilibatkan orang-orang yang ngerti. Ya undanglah jurnalis, undanglah IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia). Kan dia ada hubungannya sama penyiara, karena ikatan jurnalisme televisi kan. Undanglah asosiasi teman-teman radio, misalnya. Iya itu, orang-orang yang ngerti. Tapi untungnya, katanya sih mau di-stop dulu.

Nah, dengan di-stop itu, apakah kita masih perlu mewaspadai ini?

Kita kan harus selalu waspada. Bukan berarti selesai.

Dan Oktober ini Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi akan berlaku. Jadi itu juga tidak memasukkan wartawan sebagai kelompok yang harusnya boleh memegang data pribadi orang.

Karena sebenarnya kita liputan itu kan pakai data pribadi kan? Nah, itu kita kan tidak ada. Kita masuk sama seperti masyarakat pada umumnya. Jadi siap-siap, hati-hati menyimpan data pribadi orang seperti kartu nama, bisa kena. Ini satu celah juga.

Dan dengan UU ITE yang baru?

Jangan ngomong ITE lah. Itu kalau kami dari AJI tuh kami tidak menganggap kalau pelaporan Undang-Undang ITE itu, gak banget gitu loh. Karena kita punya Undang-Undang Pers, kan? Jadi itu satu hal yang kami pegang banget gitu loh.

Apa yang bisa dilakukan individu dan perusahaan pers ketika ada masalah keselamatan jurnalis?

Memproteksi wartawannya.Masa udah disuruh liputan terus begitu saja, ya kan? Memproteksi wartawan penting. Membuat SOP di dalam perusahaan dia penting. SOP keselamatan jurnalis.Itu penting.

Kemudian juga melakukan asesmen ketika seorang jurnalis mau diturunkan ke wilayah berbahaya. Itu juga harus dilakukan.Jangan ujug-ujug kamu turun lapangan. Kan sering gitu. Karena katanya jurnalis itu harus siap-siaga 24 jam.

Misalnya ada bencana di suatu tempat. Padahal kekerasan terhadap jurnalis atau serangan atau bahaya yang dihadapi jurnalis itu tidak cuma serangan terhadap misalnya orang tidak suka ke kita, tapi juga ketika kita menghadapi bahaya di daerah bencana, daerah perang, daerah konflik. Itu kan juga bahaya buat kita.

Makanya ketika mau diturunkan ke sana, editor-editornya harus paham betul apa wartawannya mampu, sanggup, atau dia sudah siap, apa dia pernah ikut pelatihan, banyak hal yang jadi asesmennya dia.

Kadang-kadang wartawannya juga malu ngasih tahu bahwa dia tidak berani. Kan ada juga sih. Tidak mau ngaku kalau dia takut. Dia gak mau ngaku kalau dia trauma. Itu penyakitnya wartawan. Jadi dia gak mau mengakui bahwa dirinya tidak mampu. Nah, asesmen dia itu penting. Karena kalau dia udah diasesmen, dan kantornya ngerti, wah dia gak boleh seperti ini.

Kantor juga harus mendampingi dia. Misalnya liputannya investigasi berbahaya, dia harus punya sistem tubuh. Siapa yang dihubungi, siapa yang memastikan dia selalu terkoneksi oleh redaksinya. Ada kan kayak model dua jam dia ngasih tahu, tiga jam dia ngasih tau di mana posisinya. Jangan dicuekin. Sekalinya ditelepon cuman, “halo, beritanya mana?” Sekalinya telepon begitu, jangan! Mereka harus punya sistem seperti itu.

Dan perusahaan juga harus siap mengasuransikan, terutama asuransi keselamatan. Itu gak semua media bisa gitu karena memang biayanya gede. Tapi memang kalau pergi ke wilayah-wilayah berbahaya, bagusnya diasuransiin wartawannya. Itu juga berpengaruh.

Kalau sekarang yang paling berbahaya itu liputan lingkungan. Kita mendata bahwa liputan lingkungan itu termasuk liputan paling berbahaya sekarang. Karena dengan banyaknya kasus konflik di lingkungan saat ini, belum lagi pembukaan tambang, kelapa sawit, segala macam. Jadi paling banyak kasus kekerasan jurnalis itu sekarang di lingkungan.

Tapi pada dasarnya kita memang seharusnya waspada biarpun liputan bagaimana, kita memang harus siap. Dalam artian asesmen itu penting. Dan bukan asesmen ketika kita liputan saja. Tetapi setelah berita itu keluar, juga kita harus siapkan keselamatan kita juga. Jadi enggak cuma setelah beritanya naik, udah. Tapi juga sebelum berita naik, proses setelah peliputan, proses membuatkan berita, dan proses setelah berita naik.

Terakhir, harapan terhadap jurnalisme di Indonesia dan pesan untuk jurnalis-jurnalis muda atau calon-calon jurnalis?

Kalau buat aku sih kerjaan jadi wartawan itu memang menantang ya. Tapi pengalaman yang didapatkan memang lebih banyak dibanding profesi lain. Kenalan juga yang ditemukan pasti berbeda dengan profesi lain. Pengalaman hidup juga berbeda dengan profesi lain. Nah itu kelebihan dari beberapa kekurangan dia.

Dan ini panggilan hidup sih sebenarnya. Saya merasakan kalau udah lewat dari tiga tahun jadi wartawan, itu tandanya memang dia mau jadi jurnalis. Dan aku pikir, aku masih optimis sih ke depannya kita bakal lebih baik ya. Apalagi sekarang kan teknologinya juga lebih memudahkan.

Tapi tetap aja menjadi wartawan dengan sejumlah tantangannya bukan hal yang mudah. Terutama buat yang sekarang. Jadi aku berharap teman-teman yang kebetulan sudah senior bisa membimbing teman-teman yang muda. Kemudian teman-teman yang muda juga harusnya banyak belajar.

Sampai kapanpun jurnalis itu masih digunakan kok. Mungkin berita-berita pendek tidak dipakai lagi karena sudah ada media sosial. Tapi berita panjang, in-depth, investigasi, dan yang lain-lain yang membutuhkan ketelitian masih digunakan.

Buktinya ada beberapa perusahaan pers yang justru break even point kan, subscribers, itu [artinya] masih banyak orang-orang yang mau baca tulisan-tulisan yang panjang-panjang dan bermutu. Nah. itu aja sih. Kalau mau tetap bertahan di sini ya semangat. Kita kerja sama-sama gitu kan. Kalau tidak bertahan ya bertahan sampai sanggup.

Baca juga artikel terkait ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi