tirto.id - Massa "Malam Munajat 212" mengintimidasi wartawan Detik berinisal S, di Monas, Jakarta, tadi malam (21/2/2019). Dia, berdasarkan penuturan juru warta lain, "dicekik, dicakar, dan bajunya ditarik-tarik."
Semua berawal ketika beberapa orang dituduh copet. Saat panitia menangkap copet itu, S, yang ada di dekat titik peristiwa, mengabadikannya lewat gawai. Padahal salah satu penyelenggara, Laskar Pemuda Islam (LPI), melarangnya.
Pelarangan ini berlaku untuk semua jurnalis yang mencoba mendekat ke lokasi kejadian.
"S kebetulan paling dekat dan merekam di lokasi kericuhan. Mungkin orang LPI sadar kalau S merekam full. Dia paling dekat. Kemudian dia paksa S untuk hapus rekaman," ucap W ketika dikonfirmasi reporter Tirto.
"Sempat ada perlakuan kasar kepada S. Dicekik, dicakar, kemudian bajunya ditarik-tarik," imbuhnya.
Bukan Kali Pertama
Keberingasan massa itu adalah pelanggaran terhadap UU Pers, demikian kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin.
"Modelnya serupa: intimidasi dan penghapusan paksa rekaman. Ini sebenarnya sudah masuk tindak pidana menurut UU Pers," kata Ade kepada reporter Tirto.
Ade mengatakan "modelnya serupa" karena ini memang bukan kasus pertama. Pada 2 November 2018, lagi-lagi jurnalis Detik, diintimidasi ketika meliput Aksi Bela Tauhid II di Jakarta, tepatnya karena dituduh memfoto sampah.
"Untuk apa Anda potret itu sampah?" kata seseorang yang terekam di video dengan nada tinggi. "Coba lihat nametag-nya. Detik? Coba lihat identitasnya. Tolong difoto dong identitasnya," kata yang lain, juga dengan nada marah.
Reporter Desi Fitriani dan juru kamera Ucha Fernandes dari Metro TV juga mengalami hal serupa ketika meliput Aksi 112, 11 Februari 2017.
"Usir Metro TV... Usir Metro TV," teriak massa.
Reporter Tirto pun pernah mengalami hal serupa ketika meliput ke Markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, 30 November 2016. Sama seperti kasus-kasus lain, reporter Tirto dihardik dan diminta menghapus seluruh file liputan.
Bahu dan bagian belakang kepala reporter Tirto dipukul, meski yang bersangkutan sudah berkali-kali bilang belum membuat laporan atau memfoto apa-apa.
Melanggar Hukum
Semua peristiwa ini melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepatnya Pasal 4. Di sana disebut: "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara." Yang dimaksud dalam pasal ini, seperti tertulis pada bagian penjelasan, adalah pers bebas dari "tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin."
Sanksi diatur dalam Pasal 18. Di sana disebut kalau siapa saja yang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terhambatnya kemerdekaan pers "dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta."
Bukan cuma itu, pengeroyokan dan penganiayaan juga termasuk tindakan pidana berdasarkan Pasal 170 KUHP. Hukumannya paling lama lima tahun enam bulan.
S sendiri akan segera melaporkan kasus ini ke polisi, demikian rilis resmi dari Detik. Saat ini dia masih trauma sehingga tidak bisa memberikan keterangan.
Sekretaris Infokom MUI Jakarta, Nanda Khairiyah, mengatakan kasus tersebut adalah contoh "lose control." Dan MUI Jakarta selaku salah satu panitia selain Lembaga Dakwah FPI, menyatakan "menyesal atas kejadian itu."
"Ada beberapa yang lose control. Kami masih membicarakan itu. Rencana rapat kemungkinan besok atau Senin," kata Nanda kepada reporter Tirto.
Terkait dengan pelaporan yang akan dilakukan S dan Detik, Nanda mengaku itu memang "perlu" dilakukan.
"Kami mendukung pengusutan tuntas siapa pelaku sampai ke akar-akarnya, penyebabnya apa segala macam diselesaikan."
Penulis: Rio Apinino