tirto.id - Ketua Dewan Perwakilan Daerah ( DPD) RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti menilai sistem ambang batas presiden (presidential threshold) melemahkan demokrasi dan sistem presidensiil di Indonesia. Sebab akan melemahkan proses check and balances.
"Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (21/11/2021).
Dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan UIN Sunan Ampel Surabaya kemarin, Lanyalla menilai partai politik besar bergabung mendukung presiden terpilih. Sehingga terjadi pembagian kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimaor kebijakan pemerintah, ujarnya.
"Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan Perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah," tukasnya.
Ambang batas presiden tersebut, menurutnya, juga menjadi faktor utama terbentuknya polarisasi di masyarakat. Akibat minimnya jumlah kandidat calon presiden, dalam dua Pilpres terakhir, Indonesia hanya memiliki dua calon saja.
Polarisasi tersebut membuat situasi nasional menjadi gaduh; masyarakat yang berbeda pilihan politik saling melakukan persekusi, saling lapor ke ranah hukum, ruang diskusi seolah lenyap, dan sweeping forum diskusi hingga atribut partai.
"Jika polarisasi rakyat dan kegaduhan terjadi dalam skala nasional serta masif, siapa yang diuntungkan? Jelas para oligarki yang sibuk menumpuk kekayaan dengan menguras sumber daya di negeri ini. Karena faktanya, hampir separuh sumber daya alam dan kekayaan negeri ini dikuasai segelintir orang saja," tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri