Menuju konten utama

Ketika Si Miskin Bertahan Hidup dengan Daging Sisa dan Kue Lumpur

Pagpag di Filipina. Tikus di India. Nasi aking di Indonesia.

Ketika Si Miskin Bertahan Hidup dengan Daging Sisa dan Kue Lumpur
Pagpag; makanan penduduk miskin Manila dari sisa-sisa restoran cepat saji. FOTO/Youtube

tirto.id - Bagi banyak orang, lumpur, daging sisa restoran cepat saji, dan tikus tak semestinya ada di dapur, apalagi piring. Namun di sejumlah tempat, kelaparan, krisis pangan dan kemiskinan membuat tak sedikit orang bertahan hidup dengan mengkonsumsi makanan sisa atau apapun di sekitar mereka yang bisa diolah jadi makanan.

Di Indonesia, nasi aking menjadi alternatif pangan warga miskin ketika harga beras mencekik. Nasi sisa (kadang-kadang basi) ini dijemur hingga kering diolah kembali untuk disantap kembali. Taburan garam dan kelapa muda kerap ditaburkan guna menambah aroma. Jika tak dimakan manusia, nasi jenis ini biasanya digunakan sebagai pakan ternak.

Keakraban masyarakat Indonesia dengan nasi membuat nasi aking jadi pilihan ketimbang bahan pangan lain seperti jagung atau ubi jalar ketika beras tak terbeli. Bahkan ada pemeo “belum merasa makan jika belum ketemu nasi” saking pentingnya nasi dalam kehidupan orang Indonesia.

Pada 2015 silam, Kompasmelaporkan konsumsi nasi aking di kalangan warga Kabupaten Krangkeng, Indramayu untuk karena harganya yang murah “Satu kilogram harganya Rp 2.500,” ujar Konimah, seorang warga Krangkeng yang diwawancarai Kompas. Angka tersebut berbeda jauh jika dibandingkan dengan harga beras yang mencapai Rp 10.500 per kilogram.

Jika nasi aking adalah ikon kemiskinan di Jawa, sampah restoran cepat saji jadi makanan sehari-hari warga pemukiman kumuh di Filipina. Pagpag, nama makanan tersebut, adalah daging ayam buangan restoran cepat saji yang dibersihkan lalu dijual dan dimasak kembali.

Renato Navarro Conde, pemungut pagpag yang tinggal di Manila, saban hari bekerja di tempat pembuangan sampah Happyland. Ia mulai mengumpulkan pagpag begitu sampah dari restoran cepat saji dari seluruh penjuru kota tersebut dibuang di Happyland.

“Saya sudah melakukan pekerjaan ini selama lima bulan. Bos mengupah saya 326 peso (80 ribu rupiah) setiap minggu setelah pagpag berhasil dijual. Uang itu bisa digunakan untuk membayar biaya tempat tinggal, nasi, dan lain-lain,” ungkapnya.

Sekantung pagpag dijual seharga 26 peso atau 7 ribu rupiah. Nurberto Lucion, seorang pemilik warung makan, membeli pagpag yang kemudian diolahnya dengan dengan bawang bombay dan bawang putih. Sebelum memasak, Nurberto memisahkan daging dari tulang ayam sebab hanya dagingnya yang akan dikonsumsi. Daging ayam yang terkumpul dicuci dengan air, kemudian dimasukkan ke dalam saos mendidih berwarna merah. Pembeli hanya perlu mengeluarkan uang 10 peso atau 3 ribu rupiah untuk menikmati semangkuk pagpag. Perjalanan pagpag dari kantung plastik di tempat pembuangan sampah hingga tersaji di meja makan didokumentasikan BBC.

Pemulung di wilayah Tondo, Manila, pun mengumpulkan pagpag untuk disantap bersama keluarga. “Banyak pemulung yang menjual makanan yang mereka pisahkan dari sampah lain. Itu praktik yang umum di sini,” kata Amy Ignacio kepada Reuters.

Amy termasuk warga Tondo yang mengumpulkan makanan buangan restoran cepat saji selama hampir enam tahun. Ia menyayangkan begitu banyak hidangan ayam cepat saji yang dibuang dengan sisa daging masih menempel di tulang. “Dengan kehidupan kami yang seperti ini, (pagpag) tentu berguna. Anda cukup beli sekantung dengan harga beberapa peso tapi sudah bisa memberi makan satu keluarga,” jelasnya.

Tikus dan Biskuit Lumpur untuk Mengisi Perut

Pada 2008, krisis pangan dan minyak menghantam Haiti. Bencana kelaparan segera menyerang masyarakat miskin yang sebelum krisis sudah sulit mengakses makanan. PBB melaporkan bahwa dua per tiga masyarakat Haiti hidup dengan pendapatan 50 penny atau sekitar 7.000 rupiah per hari. Sebagian dari mereka juga menderita kekurangan gizi.

“Ada makanan, tapi tak terbeli. Jika situasi ini memburuk, kelaparan akan berlangsung sampai 12 bulan ke depan,” ujar Prospery Raymond, direktur organisasi bantuan Chistian Aid kepada Guardian.

Kondisi ini membuat masyarakat miskin mengkonsumsi kue yang terbuat dari lumpur. Menurut National Geographic, warga setempat menganggap kue lumpur ini sebagai makanan penetral asam lambung dan sumber kalsium untuk ibu hamil dan anak-anak. Namun pada dasarnya, masyarakat daerah kumuh Cité Soleil di ibukota Port-au-Prince menyantap kue lumpur karena tak mampu beli nasi.

“Kalau ibu enggak masak, saya terpaksa makan kue lumpur tiga kali sehari,” kata Charlene Dumas, salah seorang warga Cité Soleil.

Kue lumpur memang dapat mengganjal perut meski sama sekali tak bergizi. Kendati demikian, rasa kue lumpur tidak seburuk tampilannya. “Rasanya asin dan dilapisi mentega. Kamu bahkan enggak akan sadar sedang makan lumpur,” ujar Olwich Louis Jeune kepada New York Times.

Jika orang-orang Haiti beralih ke kue lumpur, masyarakat Musahar di India mengkonsumsi tikus untuk mengganjal perut.

“Dulu, untuk makan kami tergantung pada tikus dan biji-bijian yang kami cari dari sarang tikus,” kata Malhu Sada kepada Al-Jazeera. "Tapi beberapa keluarga kondisinya sudah membaik karena anak-anak mereka sudah bekerja di rantau. Kami hanya makan tikus saat masa panen,” lanjut Sada.

Phekan Manjhi mengatakan kepada AFP bahwa semua orang Musahar menyukai tikus dan tahu cara menyajikannya, yakni dengan direbus atau dibakar.

Warga Musahar tinggal di wilayah Bihar dan Uttar Pradesh. Dalam sistem kasta di India, mereka adalah warga lapis terbawah, tak memiliki ternak, apalagi tanah. Ketiadaan bantuan dan intervensi pemerintah menyebabkan kemiskinan langgeng di sana. Pekerjaan sebagai petani atau buruh pun tidak banyak menolong karena minimnya kecakapan yang dimiliki. “Mereka orang paling miskin di antara warga miskin lainnya. Mereka jarang sekali tahu soal akses ke pemerintah,” ujar Sudha Varghese seperti dilaporkan AFP.

Sebagaimana dilaporkan AFP, pendapatan sehari-hari warga Musahar berkisar di bawah satu dollar. Dengan penghasilan sekecil itu, pangan adalah barang mewah. Tak jarang mereka menyantap apapun yang ditemukan, mulai dari keong hingga kecoak.

Infografik menu si miskin

Makanan Si Miskin yang Naik Kelas

Beberapa hidangan yang dulu hanya dikonsumsi warga miskin kini malah naik kelas. Contoh yang paling terkenal adalah lobster, yang dulu dianggap sebagai makanan orang miskin dan narapidana pada abad 19. Panganan yang sempat dinilai tidak layak dan tak manusiawi ini bahkan pernah menyandang julukan "kecoak laut".

Tapi status lobster berubah pada 1800-an, ketika rel-rel kereta api telah dibangun di seluruh Amerika Serikat. Perusahaan jawatan kereta api menghidangkan lobster untuk penumpang di Pantai Barat, yang tidak tahu jika lobster dianggap sampah oleh masyarakat di Pantai Timur. Tak dinyana, para penumpang pun suka.

Pada 1950-an, masyarakat di kawasan Pantai Timur, mulai menghidangkan lobster, terutama para warga negara bagian Maine yang dikenal sebagai penghasil lobster di AS. Kini, lobster tidak lagi dipandang sebagai makanan kelas dua. Ia sudah tersaji di restoran-restoran mewah dengan harga yang menguras kantong.

Business Insider menyebutkan dua alasan di balik mahalnya harga lobster. Pertama, budidaya lobster sangat sulit dilakukan. Hewan ini tumbuh perlahan, banyak makan, dan rentan penyakit menular. Belum lagi telur lobster yang sulit dibudidayakan. Hal ini membuat pasar terpaksa bergantung pada lobster di alam bebas.

Alasan kedua adalah faktor psikologis. Orang menikmati lobster sebab suka menyantap makanan mahal. Sejumlah studi menunjukkan bahwa orang mendapatkan kepuasan lebih saat menikmati makanan mahal. "Jika lobster harganya sama dengan ayam, kenikmatannya pun berkurang," terang James Surowiecki dari New Yorker.

Tentu hal ini pun tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa lobster terkenal berkat turisme dan kemunculan perjalanan kereta api di abad ke-19, sesuatu yang hanya bisa diakses golongan elite pada zamannya.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf