Menuju konten utama

Ketika Pencarian Pemimpin Baru Jadi Penyebab Rusaknya Hutan

Ada relasi erat antara deforestasi dan pemilu. Pembukaan lahan masif sebelum pemilihan. Tak hanya di Indonesia tapi juga di banyak negara.

Ketika Pencarian Pemimpin Baru Jadi Penyebab Rusaknya Hutan
Sebuah rumah berada di tengah hutan yang telah ditebang di Provinsi Riau, Selasa (21/2). Berdasarkan analisa Forest Watch International (FWI) laju deforestasi di Indonesia sekitar 1,1 juta hektar per tahun pada periode 2009-2013. Mayoritas akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan yang sering dibarengi dengan pembakaran lahan. ANTARA FOTO/FB Anggoro/kye/17.

tirto.id - Pada tahun 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan Instruksi INS.1/MENLHK/PDASHL/DAS.1/8/2017 yang mewajibkan pegawai negeri sipil (PNS) untuk menanam 25 pohon seumur hidupnya. Dia juga meminta para abdi negara mengajak masyarakat melakukan hal yang sama.

Instruksi yang sama ia cuitkan di akun Twitter resmi tahun 2021 dalam rangka peringatan hari pohon sedunia. “Seumur hidup minimal tanamlah 25 pohon. Ditanam, dijaga, dan dirawat bersama. Bibit pohon bisa didapatkan secara gratis di berbagai lokasi persemaian permanen. Satu KTP bisa dapat 25 bibit pohon. Mari kita hijaukan bumi dan jaga terus lestari,” kata Siti.

Di bulan dan tahun yang sama, deforestasi di Indonesia tengah dalam sorotan dunia. Hal ini bersamaan dengan kehadiran Presiden Joko Widodo di acara tentang iklim COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Jokowi memaparkan Indonesia potensial menjadi negara yang bisa berkontribusi menekan laju perubahan iklim karena memiliki banyak hutan tropis.

Selain itu Jokowi juga mengatakan bahwa “deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah melakukan rehabilitasi 3 juta hektar critical land pada 2010-2019.”

Di tahun 2020, deforestasi Indonesia seluas 115,5 ribu hektare. Angkanya cukup turun signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 462,5 ribu hektare.

Namun pernyataan Jokowi dipermasalahkan oleh lembaga non-profit Greenpeace Indonesia. Dilihat dalam cakupan waktu yang lebih panjang, 2003-2011, Greenpeace menemukan deforestasi ada di angka 2,45 juta hektare. Sementara di tahun 2011-2019 atau ketika sebagian besar saat Jokowi berkuasa, luasnya berlipat ganda menjadi 4,8 juta hektare.

Greenpeace memprediksi deforestasi justru akan semakin meningkat di masa depan. “Semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN, dijalankan. Akan ada jutaan hektare hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini,” catat Greenpeace dilansir DW.

Selain itu menurut mereka tren menurun deforestasi periode 2019-2021 juga tak bisa dilepaskan dari situasi pandemi dan politik. Jika logika pembukaan lahan terhambat karena pandemi mudah dipahami, bagaimana dengan keadaan politik?

Deforestasi di Tengah Pemilu

Penelitian yang dilakukan oleh Joeri Morpurgo, dkk pada tahun 2021 berjudul The Role of Elections as Drivers of Tropical Deforestation (2021) berusaha melacak korelasi antara pemilihan umum dan deforestasi di beberapa negara yang memiliki hutan tropis, termasuk Indonesia. Morpurgo, dkk mengambil sampel penelitian dari 55 negara sepanjang 2001-2018.

Temuan semakin menguatkan dugaan mereka sebelumnya, bahwa pemilu jadi salah satu pendorong terjadinya deforestasi. Di Brasil, misalnya, deforestasi di wilayah kota meningkat 8-10% dalam tahun-tahun terjadinya pemilu daerah.

Morpurgo, dkk mencatat sebanyak 150 juta hektare atau sekitar 246 hutan tropis menghilang sepanjang 2001-2018. Musnahnya hamparan hijau ini masif terjadi di Brasil dan disusul oleh Indonesia dengan luasan hilang mencapai 22 juta hektare.

“Deforestasi meningkat secara signifikan ketika pemilu presiden dan pemilu tingkat daerah berjalan dengan kompetitif,” catat Morpurgo, dkk.

Deforestasi juga mungkin diperparah karena potensi perubahan kebijakan yang diambil oleh para peserta pemilu. Dalam pemilihan gubernur di Amerika Serikat, kepala daerah cenderung menerapkan kebijakan yang dikehendaki oleh para konstituennya. Jika para pemilih menghendaki kebijakan yang berpeluang merusak hutan, maka kepala daerah bisa saja memuluskan pilihan tersebut.

Kendati ada yang sesuai hipotesis, Morpurgo, dkk juga menemukan hasil yang di luar ekspektasi. Ada wilayah yang justru mengalami deforestasi lebih sedikit pada tahun-tahun pemilu dibanding saat tidak adanya pemilu.

Ada dua penjelasan yang dipaparkan oleh tim peneliti terkait situasi ini. Pertama, karena mungkin ada desentralisasi kebijakan setelah pemilu. Hal ini mengurangi kemungkinan orang-orang yang ikut dalam pemilu--baik legislatif atau presiden--bisa memberikan izin atau kebijakan yang berpotensi menghancurkan hutan. Kedua, deforestasi sudah terjadi di tahun-tahun sebelum pemilu. Ketika pemilu selesai, pemenang tidak perlu lagi merusak hutan.

Kesimpulan Morpurgo, dkk ini sejalan dengan Nunung Nuryartono, dkk dalam artikel jurnal Palm Oil and The Politics of Deforestation in Indonesia (2020). Tim menemukan deforestasi meningkat sebanyak 7,1% justru setahun sebelum pemilihan diselenggarakan.

Pada pemilu tingkat daerah, Nunung menyebut banyak kepala daerah yang menggunakan kekuasaannya untuk mempermudah izin pembukaan dan konversi lahan, misalnya menjadi kebun sawit. Ketika pemberian izin harus diperoleh dari pusat, sering kali kepala daerah tidak kehilangan akal. Mereka menerima suap untuk membiarkan terjadinya illegal logging.

“Menukar” hutan sebelum pemilu tidak lain untuk mendapat insentif material yang bakal dijadikan modal untuk menggaet suara. Dengan demikian mereka berharap bisa memenangkan pemilu lagi.

Temuan ini tidak terlihat jika yang ditilik adalah data deforestasi secara nasional. Justru dalam enam tahun terakhir deforestasi paling banyak terjadi setelah pemilu. Tahun 2015--tahun pertama Jokowi menjabat presiden--sebanyak 1,09 juta hektare lahan terbabat, kemudian menurun jauh di tahun berikutnya menjadi 629 ribu hektare. Tahun 2017, penurunan kembali terjadi. Luas deforestasi yang tercatat hanya sebesar 480 ribu hektare.

Meski di tahun 2018 Indonesia memasuki masa pilkada, tetapi perubahannya tetap tidak signifikan. Ketika itu angka deforestasi berada di 439,44 ribu hektare. Lagi-lagi, setelah pemilu, angka ini kembali naik menjadi 462,46 ribu hektare.

Namun hal berbeda jika data tingkat daerah yang dibedah. Dari sana temuannya memang “tingkat deforestasi meningkat di tahun sebelum pemilu kepala daerah dilaksanakan.”

Riset lain yang lebih lawas tapi menyimpulkan hal serupa muncul pada 2011 lalu. Ketika itu London School of Economics menemukan, dikutip dari situs Indonesia Corruption Watch (ICW), “dua tahun menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), pembalakan liar di kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung meningkat tajam.” Ditemukan pula bahwa “meningkatnya jumlah kawasan administrasi pemerintahan (pemekaran wilayah) kabupaten di beberapa provinsi dengan kawasan hutan yang luas memicu percepatan laju deforestasi.”

Infografik HL Indept Hutan Sawit

Infografik HL Indept Hutan Sawit. tirto.id/Sabit

Saat Pilkada 2018 lalu, Jokowi sebenarnya mengeluarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Sesuai namanya, instruksi tersebut dimaksudkan agar pemerintah pusat serta daerah mengkaji ulang izin pelepasan kawasan dan menunda pembukaan kebun sawit selama tiga tahun mendatang.

Jika berkaca pada penelitian Morpurgo dan Nunung, dkk, instruksi ini seakan pemanis belaka atau setidaknya tidak efektif karena lahan-lahan itu sudah tergerus setahun sebelumnya--yang merupakan ekses dari pilkada tahun itu.

Sejauh ini isu lingkungan kurang dianggap penting dalam pemilu, utamanya pemilu presiden. Dalam Pilpres 2019 lalu, baik Prabowo Subianto atau Jokowi tak ada yang menitikberatkan program atau kampanye untuk memelihara lingkungan hidup atau mengatasi krisis iklim. Padahal, pembukaan lahan atau pembakaran hutan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya adalah satu contoh besar halangan Indonesia untuk mengantisipasi bencana.

Angka deforestasi pada 2020 memang mencapai titik terendah dengan luas 115,46 ribu hektare. Namun perlu diingat kalau pemilu akan dilaksanakan satu tahun lagi. Sekali lagi, komitmen pemerintah menekan deforestasi akan diuji.

Baca juga artikel terkait DEFORESTASI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino