tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, masih terdapat industri yang menguasai separuh dari total kebun sawit di Indonesia tidak membayar pajak. Dari puluhan juta luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, ternyata baru 7,5 juta hektare (ha) yang sudah membayar pajak.
“Kita ternyata menemukan yang bayar pajak di palm oil baru 7,5 juta hektare, mudah-mudahan 7,5 juta hektare itu benar [bayar pajak],” kata Luhut saat meresmikan perusahaan daur ulang sampah plastik yang ada di Batam, Kamis, 9 Maret 2023, seperti dikutip Tempo.
Ironi memang, di tengah meluasnya lahan sawit, penerimaan pajak di sektor ini justru melempem. Dalam 10 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit cenderung menurun.
Sepanjang 2011-2018 misalnya, rata-rata penerimaan pajak hanya sekitar Rp17 triliun. Angka paling tinggi dicapai pada 2015 senilai Rp21,87 triliun. Capaian ini kontras dengan jumlah produksi sawit yang terus meningkat dan perkebunan sawit yang semakin luas setiap tahunnya di Indonesia.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat bahwa pada periode 2017-2022 luas perkebunan kelapa sawit mengalami tren yang meningkat. Berawal dari 14 juta ha pada 2017, kini mencapai 16,38 juta ha.
Adapun dari total luasan lahan sawit Indonesia, sebanyak 5 persen atau sekitar 800 ribu hektare (ha) dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara, 53 persen atau sekitar 8,64 juta ha dikuasai perusahaan swasta dan 42 persen lainnya atau sekitar 6,94 juta oleh rakyat.
Dari segi daerah, perkebunan sawit tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Provinsi Riau memiliki lahan perkebunan sawit terluas sebesar 2,89 juta ha dengan persentase 19,16 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia.
“Anda bisa bayangkan negeri kita sangat kaya, tetapi tidak pernah kita manage secara baik. Sekarang melalui perintah presiden, kita lakukan itu semua,” kata Luhut.
Masalah ini sebelumnya sempat menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menjalankan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Sawit sejak 2016. Sawit ilegal di dalam kawasan hutan, yang dikembangkan oleh perusahaan menjadi salah satu sumber kebocoran potensi penerimaan pajak.
Pada 2019, KPK merilis hasil korsup yang mengungkap luas tutupan sawit seluruh Indonesia di angka 16,4 juta hektare, berdasarkan analisis pencitraan beresolusi tinggi dari satelit SPOT milik Airbus. Jumlah ini lebih besar dari angka resmi pemerintah kala itu yakni 14 juta hektare.
Berdasarkan luas tutupan tersebut, lembaga antirasuah itu kemudian menghitung potensi penerimaan pajak. Hasilnya fantastis, mencapai Rp40 triliun. Namun pemerintah hanya dapat memungut sekitar Rp21,87 triliun pada 2015. Sisanya, Rp18,13 triliun, masih gelap.
Laode M Syarif, yang saat itu menjabat Wakil Ketua KPK, sempat menyoroti eksploitasi sumber daya alam yang ternyata tidak sebanding dengan penerimaan negara. Laode mencontohkan fenomena itu terjadi pada sektor perkebunan sawit.
“Pajak dari sawit bukannya meningkat malah menjadi menurun. Ketika apa? Ketika lahan sawit kita bertambah luas," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan kala itu.
Namun, Laode mencatat, 40 persen perusahaan sawit diduga tidak membayar pajak sesuai ketentuan. Hal ini bahkan sudah disampaikan KPK ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung menilai, pernyataan Luhut di atas justru menjadi momentum untuk pemerintah melakukan sensus keseluruhan. Dengan demikian, bisa diketahui berapa kebun sawit yang dikelola petani dan berapa dimiliki perusahaan.
“Selama ini semua memiliki data tersendiri dan tidak ada yang sama," kata Gulat saat dihubungi Tirto.
Ke depannya, menurut Gulat, memang diperlukan adanya Badan Sawit Indonesia (BSI) yang langsung di bawah Presiden Joko Widodo. Sehingga tidak semua kementerian mengurusi sawit, tapi cukup BSI.
“Dan yang berhak mengeluarkan data adalah BSI. Dengan data ini akan ketahuan siapa-siapa saja yang blum bayar pajak sesuai kewajibannya. Ini tidak sulit melakukannya," katanya.
Tirto sudah mengkonfirmasi kepada Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Neilmaldrin Noor dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Nufransa Wira Sakti terkait dengan pengawasan dan masalah rendahnya sektor pajak dari perkebunan sawit. Namun hingga berita ini dirilis, keduanya tidak merespons baik telepon dan pesan singkat.
Upaya Penghindaran Pajak
Pada tahun lalu, Luhut sempat melarang perusahaan sawit Indonesia untuk bermarkas di luar negeri. Saat itu dia menemukan setidaknya terdapat lahan sekitar 300-500 ribu hektare dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Potensi besar itu menyebabkan negara kehilangan pendapatan berasal dari pajak.
“Headquarter-nya di luar negeri, dia bayar pajaknya di luar negeri. Not gonna happen. You have to move your headquarter toIndonesia," kata Luhut saat itu.
Meski demikian, Mantan Menko Polhukam itu tidak menyebutkan secara spesifik perusahaan-perusahaan yang dimaksud.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono mengamini, minimnya penerimaan pajak di sektor perkebunan sawit akibat banyaknya perusahaan melakukan praktik penghindaran pajak berupa transfer pricing. Skema yang dilakukan oleh perusahaan biasanya berupa BEPS (base erosion & profit shifting).
Degan skema BEPS, perusahaan di Indonesia membuat laporan laba ruginya terus merugi sehingga tidak pernah bayar PPh badan. Rugi fiskal tersebut dapat dikompensasikan ke tahun-tahun berikutnya selama lima tahun.
“Rugi fiskal tersebut berasal dari transaksi dengan pihak afiliasi di luar negeri," katanya kepada Tirto, Rabu (15/3/2023).
Dia menjelaskan, transaksi BEPS tersebut dapat mencakup pembebanan biaya-biaya yang berasal dari transaksi afiliasi dengan anggota grup usaha. Biaya-biaya tersebut disinyalir melebihi batas kewajaran.
“Untuk hal ini, perusahaan sawit di Indonesia tersebut harus menyiapkan dokumentasi transfer pricing sesuai ketentuan PPh," katanya.
Prianto mengatakan, produk sawit dan turunannya pada dasarnya memiliki potensi dua jenis pajak, yaitu PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Untuk ketentuan PPN sendiri sebelum adanya Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan, penyerahan TBS (Tandan Buah Segar) merupakan objek PPN yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.
Dengan demikian, transaksi penyerahan atau ekspor TBS dibebaskan dari pengenaan PPN. Sementara itu, produk CPO atau turunan sawit lainnya merupakan objek PPN, tapi sebagian produk tersebut diekspor sehingga PPN-nya 0 persen. Kondisi demikian menyebabkan pemungutan PPN dari sawit dan produk turunannya tidak optimal.
"Untuk ketentuan PPN sejak UU HPP berlaku, sawi dan produk turunannya merupakan objek PPN, tapi sebagian produk tersebut diekspor sehingga terutang PPN 0 persen. Pada akhirnya, eksportir sawit dan produk turunannya dapat mengajukan restitusi PPN," jelasnya.
Sawit Rakyat Tak Bayar Pajak
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menambahkan, seretnya penerimaan pajak terhadap sektor perkebunan sawit juga tidak lepas dari banyaknya lahan kelolaan dimiliki petani kecil. Menurutnya petani-petani kecil memang umumnya tidak atau belum bayar pajak
“Tidak hanya sawit tetapi umumnya sektor pertanian. Yang bayar pajak pertanian biasanya adalah pertanian besar milik korporasi," kata Piter dihubungi terpisah.
Menurut Piter, ada beberapa faktor penyebab belum tergarapnya potensi pajak pertanian khususnya petani kecil. Pertama banyak petani kecil yang memang penghasilannya kecil, atau bisa jadi dibawah pendapatan kena pajak.
Kedua, sistem perpajakan yang ada belum memudahkan perhitungan dan pelaksanaan pembayaran pajak. Ini dikarenakan pemerintah belum menganggap cukup potensi pajak dari pertanian kecil.
“Rendahnya penerimaan pajak pertanian sawit bukan disebabkan banyaknya perusahaan sawit milik Malaysia. Justru kalau pertanian sawitnya adalah PMA, perusahaan besar, besar kemungkinannya mereka bayar pajak," pungkas Piter.
Klaim GAPKI atas Pembayaran Pajak
Dari sisi pengusaha, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memastikan pihakya telah mendukung upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak pada seluruh pelaku usaha pada industri kelapa sawit.
Dari keseluruhan anggota GAPKI berjumlah 720 perusahaan/badan usaha dengan total luas lahan mencapai 3,2 juta ha atau sekitar 23 persen dari total areal perkebunan melapa sawit pada pokoknya sudah terdaftar dalam data perpajakan DJP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Kewajiban perusahaan anggota GAPKI terhadap kewajiban perpajakan umumnya telah dilaksanakan dengan baik," tulis dokumen laporan GAPKI.
GAPKI dan DJP selalu bekerja sama untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan perusahaan anggota dengan melakukan sosialisasi peraturan perpajakan dan himbauan untuk melaksanakan kewajiban pajak.
Untuk diketahui, pajak dan pungutan yang dikenakan oleh pemerintah pusat terhadap industri sawit meliputi PPh Badan tarif 22 persen dari laba fiskal, PPN tarif 11 persen dari nilai transaksi, pajak penghasilan pasal 4(2), pajak penghasilan pasal 15 atau jasa pelayanan pengangkutan CPO via kapal 1,2 persen, pajak penghasilan pasal 21.
Selain itu, ada pula pajak penghasilan pasal 22, pajak penghasilan pasal 23, pajak penghasilan pasal 26, PBB (pertambangan, perkebunan, dan perhutanan). Serta pungutan lainnya dari pemerintah pusat berupa: Bea Keluar (BK) dan pungutan ekspor dari BPDPKS.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz