tirto.id - Warsa 2006 Yogyakarta diguncang gempa bumi berkekuatan 5.9 Skala Richter. Sejumlah bangunan rusak, termasuk beberapa candi yang berada di Kompleks Candi Prambanan. Ribuan orang tewas dan lainnya luka-luka.
Seturut Ahmad Arif dalam Ekspedisi Cincin Api, Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013, hlm. 36), lindu kerap terjadi di Indonesia karena negara kepulauan ini diapit oleh tiga lempeng besar dunia: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Sumber gempa lain adalah aktivitas patahan atau sesar dan gunung api yang banyak tersebar di Indonesia. Pergerakan Sesar Opak diduga menjadi penyebab gempa yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada 2006 lalu itu.
Gempa Bumi 1867
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam Katalog Gempa Bumi Signifikan dan Merusak (2019) mencatat bahwa dalam periode 1821 hingga 1867, Jawa diguncang 16 kali gempa bumi dengan yang paling besar dan merusak terjadi pada 1867.
Kekuatan guncangannya berada pada skala VII-IX MMI (Modified Mercalli Intensity), yang berarti guncangannya menyebabkan kerusakan ringan sampai berat pada bangunan-bangunan.
Senin pagi, 10 Juni 1867, penduduk Yogyakarta dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan dengan dua guncangan keras.
"Guncangan pertama banyak membuat penduduk terkejut. Mengingat kondisi hari yang masih gelap membuat sebagian penduduk memilih untuk melanjutkan tidurnya. Sesaat kemudian, menurut salah seorang korban selamat di Magelang guncangan kedua yang lebih keras datang," tulis koran Bramartani edisi 27 Juni 1867.
Guncangan kedua membuat penduduk panik karena mulai menimbulkan banyak kerusakan.
P.A
Bergsma dalam artikelnya, "Aardbevingen in den Indischen Archipel Gedurende het jaar 1867" yang terbit dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, menyebut guncangan terjadi sekitar pukul 04.00-04.30 pagi.Guncangan keras dirasakan oleh penduduk Vorstenlanden yang mencakup empat wilayah kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Arthur Wichmann dalam Die Erdbeben des Indischen Archipels von 1858 bis 1877 atau yang dikenal dengan Katalog Wichmann (1922), mencatat beberapa daerah lain yang merasakan guncangan, di antaranya Pekalongan, Semarang, Purwodadi, Salatiga, Magelang, Banyumas, Madiun, Kediri, Mojokerto, Pasuruan, Banyuwangi, dan Jembrana.
Menurut Wichmann, Yogyakarta, Surakarta, Klaten, dan Magelang merupakan wilayah yang banyak ditemui kerusakan berat.
Senarai Korban dan Kerusakan
Gempa di pagi hari itu merusak sejumlah bangunan, di antaranya Bangsal Manis, Bangsal Srimanganti bagian barat, Witana di Sitihinggil, Gedhong Panggung, Serambi Masjid Besar, dan Kompleks Tamansari.
Sementara di Kasunanan menurut Bergsma (1867), ada bagian dari Masjid Agung Surakarta yang mengalami kerusakan, begitu juga dengan beberapa pos jaga di sekitar lingkungan keraton.
Gempa juga merusak Tugu Pal Putih atau Tugu Golong Gilig. Tugu yang menjadi simbol bersatunya rakyat dengan raja ini berdiri sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I dan memiliki tinggi sekitar 25 meter.
"Tugu asli tersebut retak sepertiga bagian karena gempa, namun rupanya tugu tersebut tidak segera diperbaiki. Baru pada tahun 1889 M dibangun tugu baru di tempat yang sama, tetapi bentuknya berbeda dengan tugu yang asli," ungkap Djoko Soekiman, dkk dalam Tamansari (1993, hlm. 17).
Kerusakan juga dialami Candi Sewu dan sejumlah pabrik gula di Vorstelanden.
"Pada tahun 1867, juru potret van Kinsbergen telah membuat foto dari bangunan itu tidak lama sebelum sebuah gempa bumi meruntuhkannya: khususnya cungkup candi induk yang ambruk," tulis Jacques Dumarçay dan Pascal Lordereau dalam Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buddha di Jawa Tengah (2007, hlm. 16).
Menurut P.A. Bergsma (1867), beberapa pabrik gula di Vorstenlanden yang mengalami kerusakan, yaitu Pabrik Gula Barongan, Padokan, Rewulu, Pleret, Sorogedug, Tanjung Tirto, Ceper, Delanggu, dan Bangak.
De Locomotief edisi 22 November 1867 melaporkan, setelah dilakukan penghitungan ada sekitar 1.169 rumah penduduk yang rusak dengan korban jiwa mencapai 326 orang dengan rincian 262 orang Jawa, 46 orang Tionghoa, 14 orang Eropa, dan 4 lainnya orang Timur Asing.
Ada dugaan korban jiwa lebih dari 326 orang. Hal itu diketahui dari catatan Bergsma yang menyebut ditemukan 256 orang meninggal di sekitaran Pasar Gede dan 80 orang lagi ditemukan di sekitar daerah tempat tinggal orang-orang Tionghoa.
Bantuan dan Candrasengkala
Tak lama setelah gempa bumi mengguncang, menurut De Locomotief edisi 28 Agustus 1867, pemerintah langsung melakukan upaya penyelamatan penduduk yang masih tertimpa bangunan, juga mengusahakan penyediaan makanan dan tempat tinggal sementara.
Akan tetapi, bantuan-bantuan awal yang diberikan ini belum cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan para korban.
Sebuah komisi kemudian dibentuk dan ditugaskan untuk menyelidiki jumlah korban dan kerusakan. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh komisi ini, jumlah kerugian material ditaksir mencapai ƒ 3.371.805.
Selanjutnya, Pemerintah Hindia Belanda bersama Sri Sultan Hamengkubuwono segera memberikan bantuan-bantuan untuk para korban. Bantuan juga mengalir dari donasi banyak pihak.
Dampaknya yang membuat banyak kerusakan dan menimbulkan korban jiwa membuat gempa bumi 10 Juni 1867 itu dikenang dengan candrasengkala atau sengkalan yang berbunyi Obah Trus Pitung Bumi yang artinya "Tujuh Bumi Terus Berguncang", menunjuk pada angka 1796 tahun Jawa.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi