tirto.id - Enam dekade silam, demi memenuhi kebutuhan energi (listrik), Jepang memilih menerapkan konsep "deterministik" alih-alih "probabilistik" dalam membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Melalui konsep tersebut, menolak memikirkan apa yang mungkin terjadi di masa depan, Jepang justru berpijak pada catatan masa lampau.
Karena gempa bumi terbesar dan tsunami tertinggi yang pernah menimpa Jepang "hanya" ber-magnitude 8,0 dan 3,5 meter, maka Jepang membangun PLTN Fukushima Daiichi NPP untuk tahan terhadap gempa tak lebih dari 9,0 magnitude dan tsunami tak lebih tinggi dari 4 meter.
Dioperasikan Tokyo Electric Power Corporation (TEPCO) sejak 26 Maret 1971, hampir 40 tahun beroperasi memang tak ada masalah dengan konsep deterministik tersebut.
Ketika para akademisi nuklir merekomendasikan peningkatan kapasitas keselamatan (tahan terhadap tsunami setinggi 5,5 meter dan gempa bumi yang lebih besar dari 9 magnitude) pada 1981 dan 2002, Jepang bergeming. Mereka yakin bahwa PLTN Fukushima akan baik-baik saja.
Nahas, bagai atlet yang selalu berupaya mengalahkan catatan terbaiknya, gempa bumi yang menimpa Jepang pada 2011 berhasil mengoyak kepercayaan diri Jepang terhadap PLTN-nya.
Gempa dahsyat dengan magnitude 9,0 menggoyang Jepang yang disusul tsunami setinggi 14 meter. Selain mengakibatkan 15.854 penduduk menjadi korban, juga menghancurkan PLTN Fukushima.
Bencana nuklir yang menimpa Jepang ini terjadi gara-gara mereka gagal dalam menerapkan konsep deterministik. Keyakinan Jepang bahwa gempa bumi yang lebih besar dari 8.0 magnitude tidak akan menimpa Fukushima terbentuk dari catatan kegempaan yang terlalu pendek dan sedikit.
Sebagaimana dipaparkan Seth Stein dalam "Why Earthquake Hazard Maps Often Fail and What to do about It" (2012), penetapan wilayah Fukushima berkategori "rendah" soal bahaya seismik oleh Pemerintah Jepang dihasilkan melalui sejarah data kegempaan dalam rentang 50 tahun ke belakang. Data ini terlampau kecil untuk menentukan rawan atau tidaknya sebuah wilayah terhadap gempa.
Jika penerapan konsep deterministik Jepang digunakan untuk membangun PLTN di Indonesia, bencana ala Chernobyl tersebut mungkin tak akan terjadi. Musababnya, merujuk "Waves of Destruction in the East Indies" (Geological Society, 2017) yang ditulis Ron Harris, Indonesia memiliki catatan kegempaan yang sangat panjang sejak pertengahan abad ke-16.
Hasil kerja gemilang ahli geologi Ultrecht University, Arthur Wichmann, tentang riwayat gempa di Indonesia sayangnya barangkali tak terjamah otoritas terkait ataupun kalangan ilmuwan karena kerja ilmiah Wichmann diterbitkan dalam bahasa Jerman dan Latin.
Jawa sebagai Pusat Gempa
Lahir di Jerman lalu menimba ilmu dan menjadi profesor di Belanda, Arthur Wichmann menghabiskan waktunya menjelajah Nusantara sebagai ahli geologi. Ia membekali dirinya dengan catatan observasi kegempaan dan tsunami yang dimiliki Verenigde Oostindische Compagnie alias Kompeni.
Sebagaimana dipaparkan Ron Harris dalam "Waves of Destruction in the East Indies" (Geological Society, 2017), Wichmann menyebut bahwa Hindia Belanda (kini Indonesia) merupakan negeri yang rutin didatangi gempa bumi dan tsunami.
Dalam rentang 1584 hingga 1877, misalnya, terdapat 67 gempa bumi dan sebagian disertai tsunami dahsyat. Peristiwa tersebut merentang dari ujung paling timur hingga ujung paling barat Nusantara. Dengan satu pengecualian, gempa bumi dan tsunami tak terjadi di Kalimantan atau Borneo.
Dalam catatannya, Wichmann menyebut bahwa rentetan gempa bumi dan tsunami itu mengakibatkan tak kurang dari 200.000 jiwa meninggal dunia, dengan wilayah barat Indonesia sebagai penyumbang korban terbanyak.
Tingginya angka korban karena saat itu Hindia Belanda lonjakan penduduk, dari 15 juta jiwa menjadi 30 juta jiwa. Dan 94 persen populasi tersebut tinggal di wilayah aktif kegempaan, serta mayoritas tinggal di wilayah barat Indonesia, khususnya di Jawa.
Salah satu lokasi teraktif aktivitas seismik sejak 1500 hingga 1875, misalnya, didatangi tak kurang enam gempa bumi berkekuatan X dalam skala MMI (Modified Mercalli Intensity).
Merujuk publikasi (BMKG), tanda itu adalah "tanda merah" karena merupakan gempa bumi yang membuat "bangunan dari kayu yang kuat (atau dinding bangunan permanen) rusak, rangka rumah lepas dari fundamennya, tanah terbelah, rel melengkung, serta tanah longsor di tiap-tiap sungai dan di tanah-tanah yang curam", juga disusul tsunami.
Contohnya terjadi di Batavia (kini Jakarta) pada Oktober 1722 silam, dengan tsunami yang menyertai serta gempa susulan yang bertahan hingga 13 bulan lamanya.
Terbentuk sebagai pulau yang dihasilkan Busur Sunda (Sunda Arc), Jawa berdiri di tepi selatan Kawah Sunda (Sunda Craton) yang berumur relatif muda, bagian dari zona konvergensi kompleks antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia.
Dengan lapisan sedimen laut zaman Jura (Jurassic) setebal 0,1 kilometer, Jawa bergerak 75 milimeter saban tahunnya. Meskipun tak mengalami pemendekan yang dihasilkan akibat gaya eksternal yang saling berhadapan dan keduanya saling menekan batuan, Jawa memiliki zona seismik luas sebagai hasil dari pergerakan di kedalaman menengah zona Benioff serta deformasi busur vulkanik yang terlokalisasi.
Dalam zona atau subduksi Benioff (hingga kedalaman 650 kilometer), gempa bumi di tanah Jawa terjadi atas dua sumber berbeda, yakni tekanan teknonik dengan fokus dalam ke utara dan tekanan tektonik dengan kedalaman dangkal ke selatan.
Secara karakteristik, seperti ditemukan Wichmann, gempa bumi di Jawa berzona luas, intensitas kecil, dan dapat dirasakan dalam jarak jauh. Contohnya gempa bumi bermagnitude 7,5 pada kedalaman 290 kilometer yang terjadi pada 2007, yang getarannya tak hanya dirasakan seantero Jawa, tetapi sampai ke Malaysia.
Umumnya, gempa bumi di Jawa tak terlalu menyebabkan kerusakan. Namun, tak sedikit juga yang sangat merusak, seperti terjadi pada tahun 1586, 1699, 1722, 1757, 1780, 1815, 1834, 1840, 1847, 1859, 1862, 1865, 1867 dan 1875. Gempa-gempa itu terjadi karena patahan darat ter-deformasi di dalam dan sekitar Busur Sunda, dengan ancaman tsunami menyertai jika gempa terjadi di pantai selatan Jawa.
Bahkan, gempa terjadi di Palung Jawa, megathrust sangat mungkin terjadi karena atas tebalnya subduksi Benioff.
Karena aktivitas perut Jawa tersebut, terdapat cukup banyak sesar (rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran melalui bidang rekahnya) aktif di Jawa. Di antaranya Sesar Lembang di Bandung, Sesar Opak di Yogyakarta, Sesar Lembah Citanduy di Banjarsari, Sesar Baribis, dan Sesar Cimandiri di Pelabuhan Ratu. Ya, sesar-sesar di Jawa memang lebih terkonsentrasi di bagian barat.
Menurut Sumanta Pasari dalam "The Current State of Earthquake Potential on Java Island" (2021), terpusatnya sesar di bagian barat Jawa menyebabkan kota-kota di wilayah itu lebih sering terancam gempa bumi dibandingkan bagian timur.
Namun, karena bagian timur Jawa memiliki jumlah gunung api aktif yang lebih banyak, maka gempa berkekuatan besar lebih mungkin menghentak di sana.
Dari 29 kota di Jawa yang diteliti Sumanta, Batu, Blitar, Kediri, Madiun, Malang, Mojokerto, Pasuruan, dan Surakarta menjadi kota-kota yang memiliki kemungkinan lebih dari 90 persen (earthquake potential score atau EPS) mengalami siklus gempa berkekuatan lebih dari 6,5 magnitude.
Semenatar kota-kota di bagian barat Jawa memiliki skor EPS relatif lebih rendah, seperti Sukabumi yang memiliki skor EPS di angka 49 persen. Namun, rendahnya skor EPS tidak bisa diartikan kota-kota di bagian barat Jawa lebih aman dari gempa bumi bermagnitude lebih besar atau sama dengan 6,5.
Gempa bumi dengan magnitude lebih kecil dari 6,5 kadang memiliki dampak yang besar. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Cianjur. Gempa berkekuatan 5,6 magnitude memakan korban hampir 300 jiwa.
Sesar Cimandiri
Dipengaruhi subduksi dan patahan Jawa membuat Jawa Barat memiliki struktur tektonik yang kompleks. Demikian diungkapkan Pepen Supendi, peneliti Institut Teknologi Bandung, dalam "Identification of Active Fault in West Java, Indonesia, based on Earthquake Hypocenter Determination, Relocation, and Focal Mechanism Analysis" (Geoscience Letters, 2018).
Pengaruh subduksi tersebut--Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia--menghasilkan beberapa sesar aktif. Akibatnya, Jawa Barat memiliki aktivitas seismik yang tinggi. Berdasarkan data historis kegempaan, gempa bumi besar di Jawa Barat misalnya sempat terjadi pada tahun 1780 dan 1834, dengan kekuatan 8,5 dan 7,7 magnitude.
Secara unit morfologi dan struktural, sebagaimana dipaparkan N. Dardji dalam "Paleostresses and Strike-Slip Movement" (Journal of Southeast Asia Earth Science, 1994), sesar dan gunung api di Jawa Barat dibedakan dalam empat bagian: pesisir utara, lipatan pergunungan Bogor, zona Bandung, dan pergunungan selatan.
Di batas antara zona Bandung dan pergunungan selatan, berarah dari utara ke 70 derajat bujur timur atau dari teluk Pelabuhan Ratu hingga kawasan Bandung, Sesar Cimandiri berada. Sebagai batas paleogeografis dan struktural tanah Jawa bagian barat sejak masa Kenozoikum, dengan titik hiposenter yang berkelompok di wilayah Banten selatan, tepatnya di Pelabuhan Ratu.
Merujuk penelitian yang dilakukan G. I. Marliyani dalam "Characterization of Slow-Slip Rate Fault in Humid Area" (Journal of Geophysical Research, 2016), Sesar Cimandiri yang memiliki total panjang 100 kilometer ini terdiri dari enam segmen:
(1) Loji dengan panjang 9,6 kilometer dan lebar 30 kilometer. (2) Cidadap dengan panjang 21 kilometer dan lebar 30 kilometer. (3) Nyalindung dengan panjang 19 kilometer dan lebar 30 kilometer. (4) Cibeber dengan panjang 16 kilometer dan lebar 30 kilometer. (5) Saguling dengan panjang 11 kilometer dan lebar 30 kilometer. (6) Padalarang dengan panjang 19 kilometer dan lebar 30 kilometer.
Sesar ini bergerak 1,5 hingga 4 milimeter per tahun. Pergerakan tersebut terjadi karena batuan dasar di sesar yang mengalami patahan dan lipatan dorong yang berarah ke timur laut, barat, dan barat laut, serta kurangnya deformasi yang konsisten.
Menjadi sebab mengapa kota-kota yang berada di wilayah selatan sesar ini memiliki fisiografis lebih tinggi (dataran tinggi) dibandingkan kota-kota lainnya, khususnya mendekati Teluk Pelabuhan Ratu di ujung barat.
Karena memiliki kemiringan patahan sebesar 60 derajat dan kedalaman patahan maksimum berada di titik 30 kilometer, Sesar Cimandiri umumnya menghasilkan gempa bumi di kisaran 3 magnitude pada kedalaman dangkal.
Namun, berasumsi dengan memperhitungkan besaran skala momen (magnitude-scaling relationship for moment magnitude), sesar ini pada kedalaman 15 kilometer memiliki potensi gempa bumi sebesar 7,3 magnitude.
Karena termasuk sesar aktif, Sesar Cimandiri rutin menghasilkan gempa bumi. Dalam "Cimandiri Fault Identification Using Earthquake Tomography Double-Difference Method" (Journal of Physic, 2020), R. G. Simanjorang mencatat 290 gempa bumi utama dalam rentang 1 Desember 2017 hingga 21 Februari 2019, sebagai solusi dari mekanisme kebumian bagian barat sesar yang terus berlanjut hingga saat ini.
Sesar inilah yang kiwari menjadi sumber silang pendapat para ahli ihwal penyebab gempa di Cianjur.
Editor: Irfan Teguh Pribadi