tirto.id - Sebelum abad ke-19, usaha manusia untuk merekam dan mengabadikan suatu kejadian hanya dilakukan melalui dua cara: mencatat dan melukis. Masalahnya, melalui dua cara tersebut, perekaman dan pengabadian suatu kejadian terasa sangat subjektif. Misalnya, sebagaimana diungkap Evi Mitsi dalam "Nowhere is a Place: Travel Writing in Sixteenth-Century England" (Literature Compass, vol. 2/2005), ketika berkunjung ke "dunia asing" para penjelajah Inggris abad ke-16 sangat obsesif menulis kisah-kisah perjalanan "untuk membentuk mitos hebat tentang wilayah yang dikunjungi". Ditambah dengan semangat orientalisme, perekaman dan pengabadian yang presisi melalui tulisan sukar didapat, apalagi melalui lukisan.
Tatkala dunia memasuki abad ke-19, usaha merekam kejadian secara presisi dilakukan. Ilmuwan Perancis bernama Nicephore Niepce melakukan riset "menangkap cahaya" pada 1814. Melalui camera obscura, semacam ruang gelap dengan lubang di salah satu sisinya, Niepce sukses menghasilkan foto pada selembar kertas. Sialnya, foto yang dihasilkan melalui kamera obscura tak dapat bertahan lama. Untunglah, 25 tahun berselang, atau tepat pada tahun 1839, ilmuwan Perancis lain bernama Louis-Jacques-Mandé Daguerre melahirkan teknik fotografi bernama daguerreotype. Teknik ini menciptakan foto melalui proses kimiawi pada plat tembaga yang terkena pantulan cahaya dari objek yang hendak diabadikan.
Melalui daguerreotype (dan disusul oleh film seluloid), terjadilah revolusi rekaman gambar di seluruh dunia kala itu, tak terkecuali di Hindia Belanda.
Fotografi Zaman Hindia Belanda: Upaya Memotret Candi Borobudur dan Ketelanjangan
Achmad Sunjayadi, dalam "Mengabadikan Estetika Fotografi dalam Promosi Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda" (jurnal Wacana,vol. 10, no. 2/2008), menyebut bahwa usai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bangkrut, kekuasaan Hindia Belanda langsung berada di tangan Kerajaan Belanda, tepat pada 1 Januari 1800. Kala itu pemerintah dan masyarakat Belanda diliputi rasa keingintahuan yang tinggi tentang Hindia Belanda, khususnya tentang kebudayaan dan masyarakatnya.
Namun, rasa keingitahuan tersebut justru sedikit tercurahkan manakala Kerajaan Inggris untuk sementara waktu memerintah Hindia Belanda. Inggris menugaskan Stamford Raffles untuk menjadi Gubernur Jenderal. Selama bertugas, ia menulis The History of Java. Lantas, G.A.G.Ph. Baron van der Capellen, mempelajari daerah-daerah pedalaman di Hindia Belanda, selain bertugas menggantikan Raffles sebagai Gubernur Jenderal, usai Inggris menyerahkan kekuasaannya sejak 1816.
Laporan-laporan petugas Belanda di Hindia Belanda, sebut Achmad, tidak hanya dinikmati pejabat. Melalui De Bataviasche Koloniale Courant dan De Java Gouvernement Gazette, seri-seri etnografi Hindia Belanda pun terbit.
Ketika Belanda kembali mengambil kendali, Raja Willem I mengirim penulis, sejarawan, ahli ilmu alam dan ilmu bumi untuk mempelajari Hindia Belanda. Disusul penemuan daguerreotype, Ministerie van Koloniën (Kementerian Urusan Negeri Jajahan) mengirim seorang pejabat dinas kesehatan bernama Jurrian Munnich ke Hindia Belanda untuk memotret keadaan Hindia Belanda.
Daniek Intan, dalam "Fotografi di Hindia Belanda" (jurnal Lembaran Sejarah, vol. 11, no. 2/2014), menyebut bahwa Munnich dikirim untuk melakukan perjananan ke wilayah Jawa Tengah untuk membuat pemandangan alam dan potret tanaman, dalam ekspedisi bernama "Verslag over de photographie gedurende het tweede gedeelte mijner reis over Java". Salah satu potret yang paling diinginkan Belanda adalah Candi Borobudur, yang baru ditemukan kembali oleh teknisi Belanda bernama Hermann Cornelius pada 1814 atas perintah Raffles. Sebelumnya, Borobudur dicampakan warga lokal karena dianggap membawa malapetaka.
Dalam laporannya yang memuat 64 foto, Munnich memotret Candi Borobudur, selain Prambanan dan Dieng. Sayangnya, karena Munnich tidak memperkirakan perbedaan iklim Belanda dan Hindia Belanda, kamera daguerreotype yang dibawanya gagal mendapatkan kalibrasi yang tepat. Foto-foto yang dihasilkan Munnich gagal secara teknis. Pejabat-pejabat di Belanda pun kecewa.
Hasil potret mengecewakan juga didapat oleh Adolph Schaefer, warga Jerman pemilik studio foto di Den Haag (dan mendirikan studio foto pertama di Batavia) yang berlayar ke Hindia Belanda pada 1844. Ia ditugaskan pemerintah kolonial mendokumentasikan Candi Borobudur. Schaefer gagal menghasilkan foto berkualitas. Masalahnya sama seperti Munnich.
Foto Candi Borobudur yang apik akhirnya dihasilkan oleh Isidore Van Kinsbergen.
Gerda Theuns-de Boer, dalam "Java through the Eyes of Van Kinsbergen" (2002), menyebut bahwa Kinsbergen merupakan seorang seniman yang lahir pada 1821 di Brugge, Belgia. Tatkala muda, ia merantau ke Paris untuk belajar menjadi seorang penyanyi dan pelukis. Pada 1851, Kinsbergen datang ke Batavia untuk menggelar pertunjukkan bersama sebuah kelompok opera Perancis. Namun, tatkala teman-teman operanya pulang, Kinsbergen memilih menetap di Batavia.
Di kota yang kelak berganti nama menjadi Jakarta ini, Kinsbergen tertarik dengan dunia fotografi. Berbeda dengan Munnich dan Schaefer, Kinsbergen tak memilih daguerreotype untuk mengabadikan cahaya. Kinsbergen memilih teknik penciptaan foto baru, yang ditemukan pada 1850 oleh Louis Desire Blanquart-Evrard, bernama "albumen print process". Teknik ini melibatkan selembar kertas yang dilapisi dengan albumen (putih telur), yang bertujuan untuk membuat permukaan kertas mengkilap dan halus. Kertas kemudian dilapisi dengan larutan perak nitrat. Albumen dan perak nitrat membentuk garam perak peka cahaya. Ketika kaca negatif ditempatkan langsung di atas kertas dan terkena cahaya, foto dihasilkan. Teknik ini terkenal menghasilkan foto yang tajam.
Sebelas tahun usai menginjakkan kaki di Batavia, Kinsbergen diundang Sekretaris Jenderal Hindia Belanda Alexis Loudon untuk ikut ke Siam (Thailand). Dalam perjananan tersebut, Kinsbergen menciptakan foto-foto berjudul "semua keingintahuan negara". Terpesona dengan foto-foto tersebut, pada Mei 1963 pemerintah kolonial memerintahkan Kinsbergen melancong ke berbagai tempat di Jawa Bali, dan Madura. ia juga ditugaskan memotret Candi Borobudur. Sayangnya, karena kehabisan bahan baku penciptaan foto, Kinsbergen hanya mampu memotret beberapa tempat di Jawa, Bali, Madura, dan Candi Panataran, tidak sampai ke Borobudur. Namun, karena foto-fotonya memotret masyarakat Jawa sangat apik, kembali merujuk Boer, Kinsbergen dianugrahi predikat "The Society’s Photographer" pada 1864. Baru pada 1873, misi yang disebut Boer sebagai "setengah arkeologis" itu sukses memotret Candi Borobudur.
Sebanyak 1.400 potret Candi Borobudur dihasilkan Kinsbergen.
Elizabeth Edwards dalam "A Photo-pioneer in Batavia" (History of Photography, vol.30, 2006) menyebut bahwa meskipun Kinsbergen bukan fotografer pertama di Hindia Belanda (Indonesia), ia sangat layak disebut fotografer pertama yang paling berpengaruh. Kinsbergen sangat dekat dengan pejabat-pejabat kolonial dan para cendikiawan di Hindia Belanda. Karena kedekatan inilah Kinsbergen mudah mengakses proyek-proyek arkeologis seperti "Antiquities of Java". Didukung teknik fotografi baru, tak aneh jika Kinsbergen menghasilkan foto-foto berkualitas.
Hubungan dekat dengan pemerintah kolonial itu membuat foto-foto karya Kinsbergen menjadi koleksi barang antik tak bergerak di Museum Nasional Barang Antik di Leiden, salah satunya foto Candi Borobudur berukuran 30 x 40 cm. Foto candi Borobudur itu sempat dipamerkan di Pameran Dunia Paris 1878.
Tentu, foto-foto era Hindia Belanda tak hanya soal candi, artefak, budaya, atau pemandangan. Jane Levy Reed, dalam "Toward Independence: A Century of Indonesia Photographe" (jurnal Mānoa, vol. 12, no. 1/2000), menyebut beberapa foto yang dihasilkan pada era kolonial juga dijadikan alat propaganda. Foto-foto karya C.B. Nieuwenhuis tentang masyarakat dan keindahan Sumatera, misalnya, dijadikan Belanda sebagai bukti bahwa daerah koloninya baik-baik saja dan sejahtera. Di lain sisi, Hendricus Marinus Neeb, fotografer Belanda kelahiran Bangka, menghasilkan foto-foto bukti kekejaman Belanda pada serangan ke Aceh (1904).
Secara umum, foto-foto era masa Hindia Belanda menggambarkan eksotisme alam dan budaya Indonesia. Isinya tak jauh-jauh dari 'surga baru', wilayah yang belum terjamah (bagi orang Eropa), atau perempuan pribumi telanjang. Tak tanggung-tanggung, pada 1887 pemerintah Belanda meluncurkan buku kumpulan foto perempuan telanjang, yang digunakan sebagai sarana propaganda agar pemuda Belanda mau mendaftarkan diri sebagai prajurit cadangan di Hindia Belanda.
Editor: Windu Jusuf