Menuju konten utama

Ketakutan Kubu Prabowo Terhadap LGBT Berpotensi Korbankan Relawan?

Meski tak menuding nama Jokowi-Ma'ruf namun kekhawatiran politikus PAN terhadap LGBT berpotensi ditafsirkan lebih jauh dalam bentuk hoaks oleh relawan di lapangan.

Ketakutan Kubu Prabowo Terhadap LGBT Berpotensi Korbankan Relawan?
Sekretaris Fraksi PAN di DPR Yandri Susanto melakukan konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2). Konferensi pers tersebut membicarakan sikap anggota Fraksi PAN terhadap Hak Angket untuk penyelidikan atas keputusan pemerintah mengaktifkan kembali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang berstatus terdakwa serta akan mengumumkan arah dukungan kepada pasangan cagub DKI pada putaran kedua Pilkada DKI. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./ama/17

tirto.id - Potongan video berisi ucapan agar masyarakat berhati-hati pernikahan sesama jenis dilegalkan menyebar di media sosial. Orang yang berbicara dalam video itu adalah politikus DPR yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno: Yandri Susanto. Saat dikonfirmasi oleh Tirto Yandri tidak membantah ucapannya.

Menurutnya pendukung Prabowo-Sandiaga memang sudah seharusnya menolak LGBT karena mereka semakin berani terbuka di muka publik.

"Saya yang paling keras menolak daripada yang lain. Jangan sampai Indonesia jadi negara lain," ucap Yandri kepada Tirto, Minggu (17/3/2019).

Yandri menolak jika ucapannya dianggap sebagai hoaks. Ia menggarisbawahi tidak menyebut nama partai politik, Jokowi-Ma'ruf ataupun Prabowo soal kekhawatiran terhadap perilaku LGBT. "Saya tidak menyebut nama Pak Jokowi atau Kiai Ma'ruf Amin apalagi menyebutkan kalau Jokowi-Ma'ruf menang, LGBT akan dilegalkan, saya bisa bersumpah di bawah Alquran. Itu fitnah," katanya lagi.

Potongan pidato yang menyebar di media sosial memang tidak menyinggung nama Jokowi-Ma'ruf, Prabowo, atau partai politik. Yandri mengatakan pidato itu ia sampaikan di depan relawan dan saksi saat berada di Baros, Serang, Banten. Durasi pidato menurunya sekitar satu jam namun dipangkas menjadi hanya 30 detik.

Dengan dasar itu dia menilai tak ada unsur menjelekan salah satu paslon atau partai yang berkontestasi di pilpres 2019. Yandri menyatakan apa yang dia sampaikan bukanlah kampanye hitam. "Saya hanya bilang 'Bapak-Ibu LGBT sekarang sudah merajalela' Saya jelasin bahaya itu. Jangan sampai anak kita terjangkit atau tertular. Ada yang menuntut LGBT bukan penyimpangan," tegasnya.

Menurut Yandri, kekhawatiran ini sudah disampaikannya sejak lama, bahkan bila tidak ada pileg dan pilpres sekalipun. Hari ini pun, Yandri mengaku sudah memberikan omongan yang serupa kepada relawan Prabowo-Sandiaga. "Dan saya tetap mengampanyekan ini karena itu kewajiban saya. Tolak LGBT, tolak minuman keras, tolak tenaga kerja asing, itu aja," ujarnya.

Yandri tak khawatir dengan keinginan orang-orang yang ingin mempersoalkan ucapannya secara hukum. Ia mengaku siap melaporkan balik pihak-pihak yang memfitnahnya. "Saksinya kan banyak tuh 500-1000 orang," katanya. "Kalau nanti ini dihalalkan, di Baros ini bisa nikah laki-laki sama laki-laki, tapi saya kan enggak nyebut kapan, siapa yang akan mengesahkan, siapa yang berpihak dengan LGBT, tapi kan kita wajib menolak, kan bagus tuh ceramah saya sebenarnya."

Relawan Jadi Korban

Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin Usman Kansong mengatakan ucapan Yandri mengingatkannya pada tiga relawan Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes) yang ditangkap polisi di Karawang, Jawa Barat akhir Februari 2019.

Ketiga relawan itu menyampaikan narasi serupa dengan lebih ekstrem. Kepada warga, ketiga relawan itu menyebut bahwa Jokowi akan melegalkan perkawinan sesama jenis.

Mengetahui soal pidato Yandri, Usman semakin yakin bahwa narasi relawan yang menyebar hoaks itu sebenarnya adalah korban dari ucapan elit politik itu sendiri.

Meski Yandri mengelak bahwa dia tidak menyebut Jokowi-Ma'ruf, tetapi dengan posisinya sekarang, maka arah pembicaraannya jelas untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi ke depan. "Ini kan modus. Biasa seperti itu. Menyebar hoaks, tapi ngakunya memberitahukan. Sama seperti tujuh kontainer surat suara dulu yang disebar Andi Arief," kata Usman kepada Tirto. "Kita kan lihat konteksnya."

Usman khawatir narasi Yandri akan ditafsirkan bermacam-macam oleh relawan pendukung Prabowo-Sandi. Ujung-ujungnya para relawan yang kemudian akan terkena ancama pidana seperti relawan Pepes yang dilaporkan ke Polda Jawa Barat. "Emak-emak itu tidak bersalah karena mereka korban dari informasi hoaks. ... Makanya kita sangat menyesalkan ini terjadi lagi, dilakukan oleh caleg dari PAN. Substansinya sama seperti relawan Pepes itu," tegasnya.

Usman mengatakan sudah berbicara dengan Divisi Hukum dan Advokasi TKN agar omongan Yandri ini dilaporkan ke dua institusi, yakni Badan Pengawas Pemilu dan Polri. Selain ancaman pidana, Yandri juga akan dilaporkan dugaan pidana pemilu. Rencananya, TKN akan mengadu pada hari Senin (18/3/2019).

"Polisi dalam konteks ujaran kebencian dalam konteks UU ITE. Kedua adalah konteks pelanggaran pemilu. Yandri itu caleg, jadi dia bisa diadukan ke Bawaslu karena bagian tim kampanye [Prabowo-Sandi]," ucap Usman lagi.

Tidak Tebang Pilih

Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyampaikan komitmen kepolisian tak akan tebang pilih dalam penegakan hukum. Selama unsur pidana terpenuhi, caleg, ataupun ketua umum partai bisa dipidana.

Namun urusannya harus dibedakan. Bila menyangkut dengan pilpres, kepolisian tidak bisa bertindak sendirian. Mereka ikut tergabung dengan KPU dan Bawaslu dalam Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Bawaslu yang harus melakukan penilaian sebelum bisa ditindak oleh Polri.

"Nanti yang assessment itu dari Bawaslu. Kalau itu ada pelanggaran pemilu, Bawaslu saja yang menangani. Kalau berkaitan dengan tindak pidana pemilu, Gakkumdu yang nangani. Tapi kalau enggak terkait dengan timses, nah itu dari polri langsung," kata Dedi kepada tirto.

Untuk kasus Yandri, Dedi mengaku belum bisa berkomentar karena harus menunggu laporan atau penilaian Bawaslu. Namun sslama ini memang belum pernah terbukti elit politik yang memunculkan narasi hoaks mendukung kelompok rentan untuk bebas mengekspresikan diri.

"Tapi kalau dia terbukti melakukan kampanye hitam atau penyebaran hoaks, pasti akan diproses," tegasnya lagi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Jay Akbar