tirto.id - Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi). Kala itu, kerajaan bercorak Islam yang berpusati Kutaraja Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh) ini memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan angkatan perang yang kuat.
Aceh memiliki sejarah panjang sebagai salah satu lokasi kerajaan Islam awal di Nusantara. Di tanah rencong, pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai (1272-1450 M) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) yang berlokasi strategis di Semenanjung Malaya.
Kesultanan Samudera Pasai kerajaan Islam pertama di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan di Aceh. Namun pada paruh akhir abad 14 masehi, Samudera Pasai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit.
Ditambah dengan munculnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-15 masehi sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka membuat pengaruh Samudera Pasai semakin luruh.
Hingga akhirnya, Portugis datang dan merebut Malaka pada 1511. Saat itu, tahun 1496, muncul cikal-bakal Kesultanan Aceh Darussalam. Kehadiran kesultanan ini menggantikan posisi kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai di Serambi Mekah.
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
Raja pertama yang menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Shah atau Raja Ibrahim. Selama 14 tahun (1514-1528 ), ia memerintah di kerajaan yang merupakan gabungan Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Aceh ini.
Kesultanan Aceh Darussalam memang terlahir dari fusi dua kerajaan tersebut. Menurut Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniri yang ditulis tahun 1636, kala itu Raja Lamuri menikahkan Ali Mughayat Shah dengan putri raja Aceh.
Dari ikatan pernikahan ini, kedua kerajaan di tanah rencong tersebut meleburkan kekuasaan dan melahirkan Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai pemimpinnya adalah seorang sultan dan dimandatkan kepada Ali Mughayat Shah.
Kesultanan Aceh Darussalam sejak berdiri telah melandaskan asas negara dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan Islam alias kesultanan yang berkembang seiring mulai meredupnya pamor kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara.
Era Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda atau Sultan Meukuta Alam pada 1607-1636 M. Iskandar Muda adalah seorang pemimpin yang tegas terhadap penjajah untuk melindungi wilayah dan rakyatnya.
Suatu hari, Raja James I dari Inggris meminta kepada Sultan Iskandar Muda agar diperbolehkan berdagang di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Permohonan itu tertulis dalam surat berangka tahun 1615 masehi.
Namun, Sultan Sultan Iskandar Muda dengan tegas menolak. Ia paham betul mengenai misi Inggris di Aceh, yakni ingin menguasai seluruh sumber daya yang ada.
Penolakan serupa dialami pula oleh Portugis dan Belanda yang ingin menanamkan pengaruh di bumi Serambi Mekah.
Berada di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat. Wilayah kekuasaannya sangat luas. Selain itu, kesejahteraan rakyatnya terbilang makmur.
Menurut buku Aceh Sepanjang Abad (1981) tulisan Mohammad Said, di masa itu Kesultanan Aceh Darussalam mencoba merangkul negeri-negeri dan pelabuhan sekitar Selat Malaka agar jangan sampai tergoda dengan bujukan bangsa-bangsa asing.
Dari sisi perdagangan, harga hasil bumi tidak dipatok rendah untuk menyokong perekonomian kerajaan. Di samping itu, dibangun pula bandar dagang utama didirikan dan dilakukan pengawasan untuk pergerakan orang-orang asing.
Luasnya wilayah kekuasaan di era Sultan Iskandar Muda meliputi negeri sekitar Semenanjung Malaya, termasuk Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, sampai Patani (Thailand bagian selatan). Sebagian besar Sumatera juga telah dikuasai. Itu semua tidak lepas dari penaklukkan yang dilakukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Angkatan perangnya, terutama angkatan laut, telah dilengkapi kapal-kapal canggih di masanya. Kapal-kapal perang ini memiliki meriam yang siap dimuntahkan ketika bertemu musuh. Angkatan darat memiliki puluhan ribu prajurit, pasukan kuda, dan pasukan gajah.
Kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam kala itu sangat diperhitungkan. Portugis sudah menyerah lebih lebih dahulu. Belanda yang datang kemudian, akhirnya memilih wilayah lain seperti Jawa dan Maluku.
Inggris pun demikian yang semakin sulit masuk ke Aceh. Padahal, sebelumnya Kerajaan Inggris telah menjalin relasi baik dengan Kesultanan Aceh di masa sebelumnya.
Keruntuhan & Peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 27 Desember 1636, seperti dikutip dari laman Pemprov Aceh, Kesultanan Aceh melemah di tangan penerus-penerusnya.
Kesultanan Aceh perlahan merosot wibawanya dan mulai terpengaruh oleh bangsa lain. Bangsa Barat mulai menguasai Aceh dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera.
Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh dan terjadilah Perang Sabi selama 30 tahun. Banyak jiwa yang menjadi korban.
Akhirnya Sultan Aceh terahir, Sultan Muhammad Daud Syah, mengakui kedaulatan Belanda di Aceh.
Sejak saat itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) yang kemudian menjelma sebagai Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia
Sisa-sisa peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam masih ada yang bertahan hingga sekarang.
Beberapa di antaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Taman Sari Gunongan, Benteng Indra Patra, dan meriam Kesultanan Aceh.
Di samping itu ada pula Masjid Tua Indrapuri, makam Sultan Iskandar Muda, uang emas Kerajaan Aceh, stempel cap Sikureung, kerkhof, pedang Aman Nyerang, dan berbagai naskah karya sastra.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya