tirto.id - Punggung Ahmad Ghifari Hanif penuh luka merah memanjang seperti bekas dicambuk. Pada beberapa titik kulitnya tampak terkelupas meski tak mengucurkan darah—mungkin karena sudah kering. Tangan kirinya membiru dan agak bengkak. Bibirnya jontor.
Ghifari adalah mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Tanggal 30 September lalu dia terlibat demonstrasi menuntut pemerintah dan DPR tidak mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial di Gedung DPR/MPR, Jakarta. Luka-luka itu diciptakan polisi yang bertindak represif.
Video Ghifari menunjukkan luka-lukanya beredar di media sosial.
“Paling parah sih, di belakang (punggung), bang, katanya kepada reporter Tirto, Kamis (3/10/2019) kemarin. “Luka yang gue dapat di tangan, ini karena gue nangkis-nangkisin terus pas dipukulin.”
Dia dipukuli menggunakan benda-benda tumpul seperti bambu dan balok.
Kampus Ghifari tidak melarang mahasiswa untuk turut serta dalam demonstrasi. Namun, mereka ditekankan untuk hanya menggelar demo damai dan jangan pernah bertindak vandal sedikit pun. Ghifari tahu itu dan dia benar-benar melakukannya.
Dalam demonstrasi itu Ghifari jadi petugas medis. Dia juga bertanggung jawab membagi konsumsi kepada demonstran lain.
Demonstrasi hari itu sebetulnya akan segera berakhir menjelang magrib. Jelang azan berkumandang, polisi berkali-kali meminta orang-orang yang tengah berkumpul membubarkan diri. Pun dengan orator dari mobil komando.
Masalahnya mereka sulit bergerak, sebab yang tumpah ruah di jalan ribuan orang. Polisi tiba-tiba memberondong massa dengan gas air mata. Seorang saksi mata mengatakan demonstran tidak melakukan kekerasan apa pun sebelum itu.
Gas air mata terus ditembakkan hingga malam. Kampus Atma Jaya juga terdampak, padahal di sana ada posko medis.
Pukul 21.30, Ghifari tengah asyik menikmati di sekitar Semanggi bersama mahasiswa lainnya. Dia sudah tidak demo. Para demonstran memang ada yang memilih beristirahat dulu.
Tiba-tiba polisi datang, dan langsung memukulinya. “Gue dipukulin kayak maling,” akunya.
Kekerasan tak juga berhenti sepanjang perjalanan menuju Polda Metro Jaya, tempat para demonstran lain ditangkap. Dia dipiting, dan saban bertemu polisi ada saja yang melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Hal serupa sempat dialami wartawan Tirto, Haris Prabowo, yang dianggap perusuh padahal dia sudah berkali-kali mengatakan kalau dia wartawan.
"Pas makan, sih, enggak dipukulin. Cuma pas minta minum ditampar dan pas kencing ditendangin,” kata Ghifari.
Sudah digebuki, barang-barang Ghifari diambil paksa pula—juga mirip seperti yang dialami wartawan Narasi TV yang ponselnya dirampas saat bertugas. Ponsel, dompet, dan tas Ghifari disita aparat. Bahkan lebih dari itu dia juga sampai sekarang tak tahu keberadaan motor Vario 125 bernomor polisi F 4280 FEE miliknya.
Ghifari enggan menceritakan apa saja yang dia alami saat ditahan. Dia hanya bilang ditahan selama sehari. Dia bebas setelah dijamin oleh orangtuanya dan membuat perjanjian tidak akan mengulangi perbuatannya. Barang-barang yang disita tak kembali.
Ghifari mengaku saat ini badannya sudah membaik, dan hari ini, Jumat (4/10/2019), dia berencana kembali ke polda “untuk menanyakan barang dan kendaraan yang hilang.”
Reporter Tirto juga bertemu Debul, mahasiswa dari sebuah kampus yang terletak di Jakarta Selatan. Ceritanya serupa: dia ikut demonstrasi tanggal 30, lalu setelah pecah kericuhan, dia jadi korban.
“Di situ (Polda Metro Jaya) gue habis ditendangin. Setiap ketemu polisi menuju polda [juga] ditendang. Rusuk, muka, hampir semua badan gue kena hajar," kata Debul, bukan nama sebenarnya, dengan suara agak serak dan mata lebam seperti bekas ditinju.
Saat kericuhan pecah, Debul melihat seorang demonstran yang kakinya kram. Debul lantas menolongnya, membawanya ke tempat yang lebih aman menggunakan ojek online. Motor yang ia tumpangi diberhentikan polisi di depan Plaza Semanggi.
"Ojol sama mahasiswa yang sakit dilepasin, gue ditahan dan enggak boleh melawan.”
Di polda, Debul bersama puluhan demonstran lain dikumpulkan ke dalam pos berukuran kecil. Saking sempitnya, mereka harus berdesak-desakan. Ponsel dan barang-barang mereka diambil. Kemudian mereka dipindahkan ke ruang yang lebih besar.
“Ngapain lo ikut demo? Siapa yang bayar? Dibayar berapa?” kata polisi yang menginterogasi.
“Kalau gue bilang enggak dibayar, mereka (polisi) ngotot. Kalau enggak ngaku, tangan mereka main [pukul].”
“Muka, bibir, rahang, badan gue penuh ceplakan sepatu.”
Debul tak mampu lagi menghitung berapa kali tinju dan tendangan yang mendarat di kaki hingga kepalanya.
“Pas kawan gue ke kamar mandi, dia melihat orang kayak habis dipukulin. Mukanya berdarah-darah. Makanya pas malam pada takut ke kamar mandi. Subuh baru berani,” tambahnya.
Para tahanan baru diperbolehkan istirahat pukul 04.30 keesokan harinya. Mereka dibangunkan pukul 10.00 untuk makan.
Seperti Ghifari, Debul bebas setelah orangtuanya datang dan dia membuat surat pernyataan tak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dan seperti Ghifari pula, barang-barangnya belum kembali kecuali tas. Padahal setelah bebas dia sudah menanyakan itu. Namun jawaban polisi tidak pernah tegas.
“Selain HP, sebenarnya yang paling penting flashdisk gue. Karena ada data dan bahan kuliah sampai sekarang,” ucapnya.
Seorang demonstran lain yang kami tanya soal kekerasan polisi adalah Zul, mahasiswa asal kampus Tangerang. Zul ditangkap saat hendak pulang. Lokasi ditangkap, menurut Zul, jauh dari titik kericuhan.
"Ternyata banyak aparat yang sudah menunggu sehingga gue dan satu teman gue akhirnya diamankan," katanya, Kamis (3/10/2019).
Dia juga digebuki polisi dan diinterogasi dengan pertanyaan serupa. “Gue jalan bareng teman gue tanpa ada yang bayar dan nunggangin," tegasnya.
Dia bebas setelah hampir 18 jam ditahan di Polda Metro Jaya. Dia juga menandatangani surat perjanjian. Isinya: “kalau kedapatan sekali lagi ketangkap, bisa langsung diproses secara hukum.”
Ghifari, Debul, dan Zul hanya sebagian kecil dari mahasiswa yang ditangkap polisi. Dalam demonstrasi tanggal 30 itu, polisi menangkap 1.365 orang, 126 di antaranya mahasiswa dan sipil.
Polisi tidak pernah menyanggah atau membenarkan informasi soal kekerasan yang dialami demonstran setelah demonstrasi pada 30 September, pun kekerasan saat mereka ditangkap. Penjelasan biasanya normatif dan kasuistik. Misalnya terkait yang dialami Ghifari.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, Kamis (3/10/2019), mengatakan kalau Ghifari dirugikan, “silakan buat laporan.” Dia juga mengatakan akan “memeriksa dulu kebenaran video tersebut.”
Terkait barang-barang demonstran yang tidak dikembalikan, Argo menegaskan: “kalau misalnya ditinggal, ya diambil dong.”
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto sebetulnya pernah mengatakan “semua proses pemeriksaan dilakukan secara profesional dan proporsional.” Dengan kata lain, bertolak belakang dengan kesaksian para mahasiswa yang reporter Tirto wawancara.
Suyudi menyatakan demikian untuk membantah kesaksian Ananda Badudu, penggalang dana demo yang pernah diperiksa sebagai saksi, Jumat (27/9/2019). Setelah diperiksa, Ananda sempat mengatakan: “saya lihat banyak mahasiswa yang diproses dengan cara-cara tidak etis.” Mahasiswa-mahasiswa ini ditangkap dalam demonstrasi beberapa hari sebelumnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino