tirto.id - Kepala BNN RI Petrus Reinhard Golose menyatakan, menolak penggunaan ganja untuk medis. Pernyataan itu disampaikan Petrus dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Rabu (18/1/2023) lalu.
Terkait hal itu, Koalisi masyarakat sipil Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) mengkritik keras pernyataan Petrus. Mereka menilai Petrus mengedepankan kepentingan personal daripada tugas BNN sendiri.
"Anggapan Kepala BNN dalam Raker itu justru menunjukan sikap arogan dan emosional, serta mengedepankan kepentingan personal yang anti science daripada tugas kelembagaan BNN itu sendiri," kata anggota JRKN, Ma'ruf Bajammal melalui keterangan tertulisnya, Senin (23/1/2023).
Ma'ruf Bajammal menilai salah satu tugas BNN berdasarkan Pasal 70 huruf h Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah melakukan pengembangan laboratorium narkotika dan psikotropika. Karena itu, dia menjelaskan BNN bisa memainkan peran sebagai katalisator pemerintah dalam upaya melakukan penelitian pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan sebagaimana dimandatkan oleh MK.
"Akan tetapi, alih-alih melaksanakan putusan MK dengan memainkan peran tersebut, Kepala BNN yang menjabat saat ini justru membawa BNN menjadi lembaga tangan besi yang siap memberangus apapun yang terkait dengan narkotika dengan strategi perang terhadap narkotika atau War on Drugs," ucapnya.
Lebih lanjut, dia pun mengkritisi alasan Petrus yang tidak akan menyetujui ganja untuk medis lantaran diperkuat dengan putusan Mahkamah Konsitusi (MK). Namun, dia menuturkan merujuk putusan MK dalam putusan nomor 106/PUU-XVIII/2020 tanggal 20 Juli 2022, sama sekali tidak melarang narkotika, khususnya ganja, digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
MK justru memerintahkan agar pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I, termasuk ganja didalamnya, untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.
MK mengamini bahwa narkotika golongan I, khususnya ganja, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan. Akan tetapi perlu dibarengi dengan penguatan sistem hukum dan kesehatan Indonesia sehingga infrastruktur yang ada bisa siap, jika hasil penelitian yang dilakukan pemerintah membuktikan jenis narkotika dalam golongan I dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan Kesehatan.
"MK dalam putusannya tidak pernah menyatakan menutup pemanfaatan ganja untuk medis," tegasnya.
Dia pun menilai jika terus mempertahankan kinerja BNN dengan kepemimpinan yang ditunjukan oleh Kepala BNN saat ini, maka tidak ada bedanya keberadaan lembaga tersebut dengan aparat penegak hukum lain. Seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Lebih lanjut, dia berharap BNN perlu berbenah dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan perkembangan zaman. Khususnya terkait kebutuhan masyarakat untuk pemanfaatan ganja medis.
Dia pun menilai jika BNN masih keras kepala dan tidak mau berbenah dan mengedepankan kebijakan yang tidak berbasis ilmu pengetahuan, maka tidak ada lagi pilihan selain membubarkan BNN.
"Karena keberadaan BNN tidak lagi bisa memenuhi harapan masyarakat yang memerlukan pengobatan menggunakan ganja medis," tuturnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, JRKN mendesak agar pemerintah segera menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 106/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan itu memerintahkan agar pemerintah segera melakukan penelitian pemanfaatan narkotika golongan I, khususnya ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Kemudian pemerintah dan DPR dalam melakukan pembahasan revisi UU Narkotika agar mengadopsi putusan MK yang memandatkan peregulasian pemanfaatan narkotika untuk keperluan pelayanan kesehatan atau terapi.
"Kepala BNN dalam melaksanakan tugas agar mengedepankan pendekatan kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta menghormati hak asasi manusia," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Intan Umbari Prihatin