Menuju konten utama

Alasan MK Tolak Legalisasi Ganja Medis: Kewenangan Pembuat UU

MK menilai penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan belum dikaji secara ilmiah dan mendalam. Hal ini juga menjadi kewenangan pembentuk UU.

Alasan MK Tolak Legalisasi Ganja Medis: Kewenangan Pembuat UU
Suasana sidang putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 dengan pemohon Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/3/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf a beserta penjelasan dan Pasal 8 ayat (1). Pasal itu terkait penggunaan narkotika golongan I seperti ganja untuk keperluan medis.

Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengatakan bahwa pemanfaatan narkotika golongan I sebagai obat memerlukan persiapan sarana prasarana serta budaya hukum masyarakat yang memadai.

"Walau diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan narkotika golonga tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan apabila tidak ada persiapan terkait struktur dan budaya hukum masyarakat termasuk sarana prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia," kata Daniel dalam amar putusan perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Rabu (20/7/2022).

Dalam pertimbangannya, Daniel tak menampik bahwa sejumlah negara telah berhasil memanfaatkan jenis narkotika golongan 1 untuk pelayanan kesehatan. Namun hal tersebut tidak cukup untuk dijadikan landasan hukum pemanfaatan narkotika golongan I di Indonesia untuk keperluan pengobatan.

"Fakta hukum tersebut tidak serta merta dapat dijadikan parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara. Hal ini disebabkan karena adanya karakter yang berbeda baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya masyarakat dari negara yang bersangkutan," jelasnya.

Hakim MK lainnya, Suhartoyo menyatakan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima akibat belum ada kajian ilmiah yang valid. Sehingga permohonan tersebut dinilai tidak rasional.

"Keinginan para pemohon untuk diperbolehkannya narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan atau terapi belum terdapat bukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah. Dengan belum adanya bukti pengkajian tersebut maka keinginan pemohon sulit untuk dipertimbangkan dan dibenarkan oleh mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya," tutur Suhartoyo.

Ia menyebut fenomena penyembuhan penyakit dengan memanfaatkan narkotika golongan I belum cukup untuk dijadikan bukti.

"Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertinggi yang secara fenomenal dapat disembuhkan dengan terapi yang memanfaatkan narkotika golongan I namun mengingat hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah," ucap Suhartoyo.

MK kemudian mengatakan bahwa kepastian hukum akan penggunaan narkotika golongan I tersebut merupakan kewenangan pembuat undang-undang. Pasalnya hal tersebut dinilai MK merupakan pembahasan substansi yang sensitif dan memuat pemidanaan.

"Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, open legal policy," pungkas Suhartoyo.

Baca juga artikel terkait LEGALISASI GANJA MEDIS atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky