Menuju konten utama

Kenapa MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen?

MK akhirnya menghapus ambang batas parlemen sebesar 4 persen dan menyarankan segera dilakukan perubahan. Simak penjelasan lengkap.

Kenapa MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen?
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo memimpin jalannya sidang perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Keputusan itu dibacakan pada Sidang Pengucapan Putusan, hari Kamis, 29 Februari 2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian gugatan materi yang diajukan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023.

MK menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan," ujar Ketua MK Suhartoyo, dikutip situs web resmi MK.

Sebelumnya, pihak Perludem menggugat norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu pada frasa "paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional".

Perludem meminta agar norma pasal tersebut diganti menjadi "partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan:

a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan.

b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan.

Adapun isi Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah sebagai berikut:

"Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,".

Alasan MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen

Menurut pertimbangan hukum dalam amar putusan yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra, mereka tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.

Termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional sesuai Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.

Berdasarkan keterangan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi juga tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka paling sedikit empat persen dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Ambang batas parlemen memang memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR. Apabila memakai argumentasi sistem pemilihan proporsional, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional.

Selain itu, masih kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah menjelaskan keterpenuhan prinsip proporsionalitas. Misalnya hasil Pemilu 2004. Suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah 19.047.481 suara sah atau 18 persen suara sah secara nasional.

Pada Pemilu 2019, 13.595.842 suara atau 9,7 persen suara sah secara nasional tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR. Sedangkan Pemilu 2014 terdiri dari 2.964.975 suara atau 2,4 persen suara sah secara nasional tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

Data tersebut menunjukkan terjadi disproporsional (tidak sesuai dengan proporsi) antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR apabila diterapkan ambang batas parlemen. Hak konstitusional pemilih yang sudah digunakan pemilih dalam pemilu akhirnya menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik.

Penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional menjadi tidak proporsional.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu segera dilakukan perubahan berkenaan dengan ambang batas parlemen sesuai norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 dengan memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

  • Didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.
  • Perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
  • Perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
  • Perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.
  • Perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH KONSTITUSI atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Politik
Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Dipna Videlia Putsanra