Menuju konten utama

Kemenkominfo Nyatakan Telegram Akan Dibuka Kembali

Kemenkominfo membuka lebar kesempatan Telegram untuk beroperasi kembali di Indonesia

Kemenkominfo Nyatakan Telegram Akan Dibuka Kembali
Suasana konfrensi pers tentang Perkembangan Penutupan Akses Layanan Telegram di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (17/7). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Staf ahli kementerian komunikasi dan informatika Henry Subiakto mengakui bahwa Kemenkominfo membuka lebar kesempatan Telegram untuk beroperasi kembali di Indonesia. Sempat dicap sebagai saluran penyebaran terorisme, Telegram dikatakan sudah menjalin kesepakatan kerjasama dengan pemerintah. Hal ini dikatakan Henry saat diskusi di Universitas Pertamina pada hari Sabtu (29/7/2017).

Menurut pemaparan Henry, Telegram sudah setuju untuk mengadakan negosiasi dengan pemerintah. Meski tidak merinci kapan Telegram akan kembali aktif di Indonesia, Henry memaparkan bahwa Kemenkominfo siap menyambut kembali. Sebagian besar negosiasi berjalan lancar dan sudah disetujui oleh pemerintah.

"Mereka keberatan ada kantor di sini. Ini masih negosiasi. Kalau negosiasasinya sudah selesai, ya dibuka lagi. Tapi intinya bahwa kemungkinan dibuka itu lebih besar dibandingkan tidak dibuka," terangnya.

Telegram sempat diblokir oleh pemerintah karena dianggap menyebarkan ajaran terorisme. Dalam grup yang ada di Telegram, teroris menyebarkan ajaran untuk merakit bom atau bahkan meledakkan bom. Hal inilah yang ingin diakses pemerintah agar bisa dilakukan pemblokiran secara spesifik. Atas hal ini, Henry mengakui bahwa pihaknya sudah setuju untuk membuat mekanisme keterbukaan informasi.

"Walaupun privasi tetap dilindungi, kalau terkait dengan pelaku kejahatan, mereka bisa berkomunikasi untuk membukanya. Dia (Pavel) mau, sepakat. Kalau penegak hukum yang minta, dia mau," jelas Henry.

Henry kemudian menceritakan bahwa paska pemblokiran Telegram, sempat ada ancaman yang dilayangkan kepada pihak Kemenkominfo.

"Pak Menteri, Rudiantara dan Noor Iza, humas kemenkominfo juga," tutur Henry.

Padahal, menurut Henry, Kemenkominfo hanya melakukan perintah atas hasil penyelidikan dari BNPT. Kemenkominfo diakui Henry tidak akan menutup situs tanpa adanya aduan dari ahli yang spesifik. Lagipula, penutupan Telegram adalah suatu hal yang sementara sampai ada perjanjian keterbukaan data antar kedua belah pihak.

Henry mencontohkan bahwa pada dasarnya Facebook dan Youtube pun mempunyai konten yang bersifat menyebarkan radikalisme. Namun, selain karena pengguna yang banyak, kedua situs tersebut telah bersedia memberikan akses informasi kepada pemerintah.

"Intinya adalah pengelola facebook berkomitmen kepada kita untuk terbuka andai kita meminta keterbukaan data dari mereka. Perkara ada (konten radikal) ya pasti, tapi kita ingatkan. Yang penting kita minta mereka memberi informasi," pungkasnya.

"Mereka juga sudah sepakat menghormati hukum kita atau kewenangan kita, kan begitu. Tapi kalau sama sekali gak mau dengerin, gak mau berkomunikasi, gak mau menjawab ya block dulu aja (seperti Telegram)."

Dengan setujunya Telegram untuk membuat perjanjian dengan pemerintah, Telegram diakui Henry tidak akan mendapat pemblokiran dari pemerintah secara sepihak. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang belum mengadakan perjanjian dengan pemerintah.

"Kita lihat dipantau oleh teman-teman dari stakeholder-stakeholder lain oleh kepolisian atau yang lain. Kalau memang dipantau ada masalah, ya bisa saja di block langsung," katanya.

Menurut pengakuan Henry, paska penutupan Telegram, teroris masih belum berhenti untuk menyebarkan radikalisme di Indonesia. Sekarang ini mereka mulai beralih pada situs-situs lain yang masih memberikan keleluasaan.

"Untuk rekrutmen masih di media sosial. Dia ganti-ganti akun, tapi sudah privasi. Saya ga tahu perkembangan terakhir. Ada yang mengatakan BAAZ. Tapi mungkin yang lain-lain saya ndak tau," jelasnya.

Baca juga artikel terkait TELEGRAM atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani