tirto.id - Kementerian Keuangan mencatat kebutuhan pembiayaan APBN 2020 meningkat Rp905,2 triliun. Dari angka terakhir Rp741,8 triliun menjadi Rp1.647,1 triliun. Naiknya kebutuhan pembiayaan ini disebabkan perubahan biaya penanganan COVID-19 yang terakhir meningkat menjadi Rp695,2 triliun.
“Dengan kata lain, terdapat kenaikan kebutuhan pembiayaan yang diperkirakan sebesar Rp905,2 triliun, yaitu dari semula Rp741,8 triliun menjadi Rp1.647,1 triliun,” ucap Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam keterangan tertulis, Jumat (19/6/2020).
Sejalan dengan kenaikan biaya penanganan COVID-19, defisit mengalami peningkatan. Dari awalnya ditargetkan pada batas 1,76 persen dari PDB atau Rp307,2 triliun sesuai APBN 2020 semula menjadi 5,07 persen dari PDB atau Rp852 triliun pada Perpres 54/2020. Lalu menjadi 6,27 persen dari PDB atau setara Rp1.028,5 triliun.
Defisit terakhir yang diumumkan pun sudah naik lagi menjadi 6,34 persen dari PDB atau Rp1.039,2 triliun. Naiknya defisit ini pun berimbas pada melonjaknya kebutuhan pembiayaan.
Sebagai perbandingan, naiknya defisit menjadi 5,07 persen PDB menyebabkan kebutuhan pembiayaan naik menjadi Rp852,9 triliun dari Rp307,2 triliun saat defisit 1,76 persen dari PDB. Saat defisit menjadi 6,27 persen, pembiayaan anggaran juga naik menjadi Rp1.028,5 triliiun.
Setiap peningkatan pembiayaan yang terjadi, sebagian besar dipenuhi dari utang. Sebagai perbandingan, saat pembiayaan mencapai Rp852,9 triliun, pembiayaan utang Rp654,5 triliun naik dari Rp351,9 triliun di postur APBN 2020 sebelumnya. Sisanya diperoleh dari pembiayaan non utang Rp108,9 triliun yang naik hampir dua kali lipat.
Lalu saat defisit naik dari 6,27 persen menjadi 6,34 persen dari PDB, kebutuhan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) juga naik. Dari Rp990 triliun menjadi Rp1.002 triliun.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz