tirto.id - Langit mendung tak menghentikan Takao Asai dan belasan rekannya untuk berangkat ke pantai di dekat Tokyo pada suatu pagi di pertengahan September lalu. Berbekal kantong sampah dan sarung tangan, mereka turun ke jalan untuk memunguti gumpalan tisu, robekan kertas, bungkus plastik, dan botol minuman ringan yang luput dibuang oleh pemiliknya ke tempat sampah.
Aksi bersih-bersih yang dilakukan Asai dan kawan-kawan adalah wujud partisipasi mereka dalam memperingati World Cleanup Day (WCD) atau hari bersih-bersih sedunia, yang jatuh setiap tanggal 17 September. Situs resmi WCD mencatat ada sekitar 60 juta relawan dari 191 negara yang melakukan aksi bersih-bersih selama bulan September tahun ini sebagai bentuk kontribusi mereka untuk membantu mengurai ruwetnya masalah sampah dunia.
Di luar peringatan World Cleanup Day, apa yang dilakukan Asai dan kawan-kawan sebenarnya bukanlah pemandangan langka di Negeri Matahari Terbit ini. Sudah sejak lama warga Jepang terkenal akan kecintaannya pada kebersihan. Aksi bersih-bersih rutin yang dikenal dengan sebutan ‘7-minute miracle’ di stasiun perhentian kereta ‘peluru’ Shinkansen bahkan menjadi semacam atraksi yang populer di kalangan turis.
Budaya bersih di Jepang yang sudah melekat lama tidak hanya sebatas membersihkan diri dari kondisi kotor menjadi bersih. Budaya bersih yang diaplikasikan oleh warga Jepang juga terkait dengan higienitas dan kesehatan, dan terhindar dari penyakit.
Bila pemakaian masker baru dilakukan oleh berbagai penduduk di seluruh dunia saat pandemi Covid-19 terjadi, Jepang sudah memiliki kebiasaan ini jauh sebelumnya. Masker digunakan oleh penduduk Jepang untuk menghindari penyebaran kuman, terutama pada musim dingin. Penduduk Jepang yang merasa demam, atau flu, tanpa perlu diperingatkan, secara mandiri menggunakan masker agar tidak menularkan penyakit ke orang lain. Masker juga biasa digunakan sebagai penghalang terhirupnya polusi udara dan menghindari terjadinya flu bagi warga yang sehat.
Sebagai bagian dari budaya bersih, restoran atau pub Izakaya di Jepang menyediakan handuk hangat atau oshibori, yang digunakan untuk mengelap tangan dan lengan sebelum pelanggan mulai makan. Handuk ini tidak jarang digunakan pelanggan untuk mengelap muka dan leher, walau bukan sebuah keharusan.
Sudah bukan rahasia umum, bahwa bukan hal yang normal untuk menggunakan sepatu di dalam ruangan bila berada di Jepang. Yang menarik, bertelanjang kaki ternyata juga dilarang. Masih dengan alasan higienis, seseorang wajib menggunakan kaos kaki bila berada dalam ruangan.
Menyambut tahun baru, penduduk Jepang memiliki kebiasaan bersih-bersih yang disebut Osoji. Penduduk Jepang tidak hanya melakukan bersih-bersih yang biasanya dilakukan sebelum Januari ini di rumah, namun juga melakukannya di kantor.
Sebagai bagian dari kebersihan pribadi, kebiasaan mandi Jepang terdiri dari 2 proses yaitu membersihkan diri dengan shower, baru kemudian bisa berendam di dalam bathtub. Pemandian bersama atau sento menjadi terjamin dengan kebiasaan mandi 2 proses yang sudah dilakukan di rumah masing-masing.Penduduk Jepang juga terbiasa berkumur atau Ugai, tidak hanya bagian dari ritual mandi, namun juga dilakukan setelah sampai di rumah setelah bepergian atau setiap habis mencuci tangan.
Laki-laki di Jepang dikatakan cenderung menggunakan toilet duduk untuk menghindari tetesan air kencing yang menimbulkan bau. Sedangkan kebiasaan menggunakan fitting room di Jepang, adalah wajib melepas sepatu dan mengenakan masker yang disediakan untuk menghindari kotoran pada baju yang dicoba.
Ritual Pemurnian Diri
Asal muasal tradisi bersih-bersih di Jepang, menurut artikel New Yorker “The Long History of Japan’s Tidying Up”, bisa dilacak keberadaannya hingga seribu tahun silam, sebagaimana tercantum dalam buku Engishiki yang dicetak pada 927 M. Ini adalah semacam buku panduan yang memuat sejumlah peraturan dan tata cara terkait birokrasi pemerintahan di Jepang. Salah satu peraturan yang dimuat dalam Engishiki adalah instruksi untuk melakukan pembersihan tahunan di Istana Kekaisaran Kyoto.
Lebih dari sekadar kegiatan bebenah untuk membuat lingkungan istana bersih dan rapi, ritual bersih-bersih tahunan yang disebut susu-harai (artinya: penghapusan jelaga) ini juga dimaksudkan untuk menyingkirkan nasib buruk dan roh jahat, sebagai persiapan untuk memasuki tahun baru. Susu-harai biasanya dilakukan selama beberapa minggu terakhir menjelang momen pergantian tahun.
Berawal dari istana, ritual susu-harai—yangkini dikenal dengan nama osoji (artinya: pembersihan besar-besaran), diadopsi secara luas oleh kuil Shinto dan kuil Buddha di Jepang mulai abad ke-13. Lama-kelamaan, ritual pembersihan tahunan tersebut dilakukan pula oleh para penduduk di rumah mereka masing-masing.
Hingga saat ini warga Jepang terbiasa mendedikasikan bulan Desember sebagai waktu untuk melakukan ritual bersih-bersih rumah menjelang tahun baru, sebagai persembahan kepada Toshigami, Dewa Tahun Baru.
Baik ditinjau dari sudut pandang ajaran Shinto maupun Buddha—dua kepercayaan yang dipeluk oleh mayoritas warga Jepang, kebersihan merupakan bagian penting dari laku spiritual yang mendatangkan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.
Shokei Matsumoto—pendeta Buddha dari kuil Komyoji di Tokyo, menjelaskan bahwa dalam Buddhisme Jepang, manusia tidak terpisahkan dari lingkungannya. Menurut Matsumoto seperti dikutip Guardian, bersih-bersih adalah cara untuk mengekspresikan rasa hormat pada lingkungan dan kesediaan kita untuk merawatnya. Praktik pembersihan juga merupakan cermin perwujudan persatuan antara manusia dengan dunia yang mengelilinginya.
Sejalan dengan Buddhisme, ajaran Shinto yang sudah terlebih dahulu dianut oleh warga Jepang menekankan bahwa kebersihan merupakan manifestasi dari ketuhanan. Konsep kunci ajaran Shinto adalah kegare (ketidakmurnian), yang bisa ditemukan dalam bentuk kematian, penyakit, dan kemalangan atau peristiwa apa pun yang sifatnya tidak menyenangkan. Dengan tujuan mengembalikan kemurnian jiwa dan menghindari kegare inilah ritual pembersihan perlu dilakukan.
Terkait hal ini, Noriaki Ikeda—asisten pendeta Shinto di Kuil Kanda Hiroshima, menyatakan bahwa seseorang yang terpapar kegare bisa mendatangkan bahaya pada orang-orang yang berada di sekitarnya, bukan hanya pada dirinya. “Makanya, penting sekali untuk mempraktikkan kebersihan. Ritual bersih-bersih berguna memurnikan diri kita dan membantu menolak bala ke masyarakat. Itulah mengapa Jepang menjadi negara yang sangat bersih,”jelas Noriaki seperti dikutip BBC.
Kebersihan dan Kaitannya dengan Kesehatan Mental
Bukan hanya memenuhi kebutuhan spiritual, praktik bersih-bersih juga bisa mendatangkan banyak manfaat dari segi kesehatan. Lingkungan tempat tinggal yang higienitasnya terpelihara dengan baik sudah barang tentu memiliki risiko penularan penyakit lebih rendah bila dibandingkan dengan lingkungan rumah yang kotor dan terbengkalai. Di masa pandemi seperti sekarang ini, hal tersebut tentunya merupakan sebuah nilai plus yang banyak dicari orang.
Selain manfaatnya bagi kesehatan fisik, selama satu dekade belakangan juga sudah semakin banyak penelitian yang menemukan hubungan antara kegiatan bersih-bersih dengan kesehatan mental. Salah satunya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari University of Los Angeles dan diterbitkan dalam Personality and Social Psychology Bulletin tahun 2010.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, orang yang hidup di dalam rumah yang jarang dibersihkan dan dirapikan terbukti memiliki kadar hormon kortisol (hormon stress) yang jauh lebih tinggi serta lebih berisiko mengalami masalah kelelahan dan depresi bila dibandingkan dengan mereka yang lebih rajin bersih-bersih rumah.
Marni Amsellem, Ph.D, psikolog klinis dari Smart Health Psychology yang berbasis di New York City, juga mengatakan bahwa kegiatan membersihkan rumah bisa menghadirkan perasaan puas, meningkatkan rasa percaya diri, dan pada akhirnya membuat kita merasa memegang kendali atas kehidupan sendiri. Itu sebabnya, saat ini cukup banyak terapis yang ‘meresepkan’ kegiatan bersih-bersih rumah sebagai salah satu bentuk terapi untuk mengatasi gangguan kecemasan (anxiety).
Pernyataan ini didukung oleh penelitian di Princeton University yang menemukan bahwa lingkungan yang kotor dan berantakan bisa menghambat fungsi otak dalam memproses tugas tertentu serta menjadikan kerja otak lebih tidak efisien akibat sulit memusatkan pikiran. Karena penyebab inilah, lingkungan yang kotor dan berantakan juga bisa memicu munculnya emosi negatif seperti perasaan bingung, tertekan, dan marah.
Sebaliknya, lingkungan yang bersih dan tertata dengan baik bisa menghadirkan emosi positif seperti perasaan tenang, santai, dan gembira—alias ‘spark joy’, seperti istilah yang sering diucapkan oleh Marie Kondo—konsultan pengaturan rumah asal Jepang dan pencipta metode KonMari.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi