tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin beserta rumah dinasnya pada Rabu (28/4/2021) kemarin. Penggeledahan terkait dugaan perkara suap antara Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial dengan penyidik KPK dari Polri AKP Stepanus Robin Pattuju.
Lembaga antirasuah itu juga menggeledah dua apartemen pada hari yang sama. Namun tidak dijelaskan pemilik apartemen tersebut.
"Dalam proses penggeledahan, ditemukan dan diamankan bukti-bukti di antaranya berbagai dokumen dan barang yang terkait dengan perkara," ujar Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (29/4/2021).
Semua barang bukti akan dianalisa dan diverifikasi untuk dilakukan penyitaan sebagai berkas perkara.
Azis, politikus dari Partai Golkar, berperan mempertemukan Robin dan Syahrial pada Oktober 2020 di rumah dinasnya. Ketika itu Azis tahu Syahrial sedang bermasalah dengan KPK. Komisi antirasuah sedang menyelidiki dugaan lelang jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai. Robin diminta untuk menghambat kerja KPK.
Usai pertemuan di rumah Azis, Robin melibatkan seorang pengacara bernama Maskur Husain untuk mengurus kerja kotor ini. Mereka meminta Rp1,5 miliar kepada Syahrial. Sebelum Robin menjadi tersangka pada Kamis (22/4/2021) lalu, ia sudah menerima Rp1,3 miliar dari Syahrial.
Ketua KPK Firli Bahuri berjanji akan mengusut dugaan kasus suap ini secara tuntas. Tim KPK masih berupaya mengumpulkan kecukupan alat bukti untuk menetapkan tersangka. Dalam perkara ini, KPK sudah menetapkan tiga tersangka: Stepanus Robin Pattuju, Maskur Husain, dan M. Syahrial.
"Semua tindakan untuk menduga seseorang sebagai tersangka beralaskan kecukupan bukti. KPK tidak akan pandang bulu dalam bertindak," ujar Firli dalam keterangan tertulis.
Peneliti dari Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola mendesak KPK untuk mengungkap keterlibatan Azis Syamduddin dalam perkara suap tersebut. Kepercayaan publik terhadap komisi antirasuah menjadi taruhannya.
"Sangat penting bagi KPK untuk membuktikan potensi pelanggaran Aziz, baik secara pidana maupun etik. Secara pidana bisa dikenakan pasal 21 dan atau pasal 15 tentang obstruction of justice dan pemufakatan jahat," ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis.
Namun persoalannya, kata Alvin, KPK seolah tak bertaji dalam meringkus politikus; semisal dalam perkara yang menjerat kader PDIP Harun Masiku, Ihsan Yunus, dan Herman Hery. Bahkan sampai saat ini Masiku masih menjadi buronan.
Buruknya upaya penindakan KPK tak lepas dari revisi UU KPK. Proses penindakan menjadi lebih rumit, birokratik, dan pengawasan internal lemah.
"Proses penindakan pun juga cenderung semakin tertutup sehingga publik sulit mengakses perkembangannya," tandas Alvin.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mendesak agar KPK berani menangkap dan periksa Azis Syamsuddin. "Kalau buktinya memang sudah cukup, KPK jangan sampai pandang bulu [tetapkan Azis sebagai tersangka]," kata Egi kepada reporter Tirto, Jumat (30/4/2021).
Dirinya juga meminta kepada pihak KPK yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, "tidak selayaknya terlibat dalam kasus ini."
Kenapa DPR Koruptif?
Azis Syamsuddin menambah tebal daftar pimpinan DPR yang disebut-sebut dalam kasus korupsi. Sebelumnya ada beberapa yang bahkan telah divonis bersalah. Misalnya Wakil Ketua DPR periode 2010-2014 Taufik Kurniawan yang divonis 6 tahun penjara karena korupsi Dana Alokasi Khusus Kabupaten Kebumen tahun 2016. Lalu yang paling kolosal ialah kasus Ketua DPR 2014-2014 Setya Novanto yang melakukan korupsi KTP-elektronik tahun 2017.
Belum lagi para anggota dewan. Berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), terdapat 23 operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang melibatkan DPR. Pada 2015 sebanyak 4; 2016 ada 6; 2017 6; dan 2018 4.
Peneliti Formappi Lucius Karus menilai penyebab para politikus di DPR terlibat dalam praktik korupsi karena integritas yang rendah. Selain itu, kekuasaan sebagai pimpinan DPR membuat mereka juga punya jangkauan dan pengaruh terhadap KPK sebagai pengontrol, mulai dari pimpinan hingga penyidik.
"Jadi lebih pada jual pengaruh sebagai pimpinan yang membuatnya bisa punya kekuasaan untuk memengaruhi atau mengintervensi penegak hukum," kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis.
Menurutnya terlibatnya pimpinan DPR dalam OTT KPK bukan saja menunjukkan rusaknya integritas pribadi maupun citra lembaga, tetapi sekaligus menginjak-injak hukum. Menurutnya menjual pengaruh apalagi untuk melakukan kejahatan pidana tentu saja merupakan pelanggaran etika jabatan yang serius.
"Kewenangan besar parlemen dirusak oleh nafsu untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri," ucapnya.
Oleh karena itu Formappi meminta kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) segera bertindak melakukan penyelidikan atas Azis. Kata Lucius, hukuman bagi tindakan pelanggaran etik ini mestinya adalah pemberhentian sebagai pimpinan.
"Hanya dengan kecepatan dan keterbukaan proses MKD atas Azis, kita berharap ada pelajaran penting bagi DPR dan publik bahwa integritas itu penting bagi pejabat yang memimpin negeri ini," pungkasnya.
Tirto telah mencoba menghubungi Azis Syamsuddin beberapa waktu lalu, juga untuk kasus ini, tapi belum merespons. Sejauh ini dia juga belum berkomentar di media mana pun.
Penulis: Riyan Setiawan & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino