Menuju konten utama

Kasus Rizal Djalil dan Korupsi-Korupsi Lain di BPK RI

Korupsi di BPK sudah berkali-kali. Aktivis antikorupsi menilai ini karena pengawasan mereka minim.

Kasus Rizal Djalil dan Korupsi-Korupsi Lain di BPK RI
Anggota BPK Rizal Djalil. ANTARA/Dhoni Setiawan

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil sebagai tersangka kasus suap air minum, Rabu (25/9/2019).

Kasus ini berawal ketika Rizal memberi surat perintah audit untuk pengelolaan infrastruktur air minum dan sanitasi limbah di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR dan kementerian terkait tahun 2014-2016 di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi.

Rizal yang menandatangani langsung surat perintah tersebut.

Dari sana ditemukan laporan keuangan tidak wajar sebesar Rp18 miliar. Namun, jumlah itu berkurang menjadi Rp4,2 miliar.

Sebelum perubahan itulah diduga ada permintaan uang dari BPK sebesar Rp2,3 miliar.

Rizal juga diduga meminta proyek Jaringan Distribusi Utama Hungaria yang bernilai Rp79,27 miliar. Proyek itu kemudian diberikan untuk PT Minarta Dutahutama (MD).

KPK mengatakan sekitar 2015/2016, Komisaris PT MD Leonardo Jusminarta Prasetyo menjanjikan uang Rp1,3 miliar dalam bentuk dolar Singapura kepada Rizal.

Leonardo diduga memberikan 100 ribu dolar Singapura kepada Rizal melalui pihak keluarga begitu proyek didapat. Status Leo kini sudah jadi tersangka.

Kasus itu menambah panjang daftar korupsi yang melibatkan auditor negara.

"Memang masih ada praktik-praktik penyalahgunaan wewenang atau posisi terkait kewenangan melakukan audit dan memberikan pendapat," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Pada 26 Mei 2017, komisi antirasuah mengungkap praktik jual beli opini yang melibatkan Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri sebagai auditor BPK. Keduanya diciduk dalam operasi tangkap tangan.

Keduanya menerima suap agar memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.

Ali Sadli divonis enam tahun penjara dan Rohmadi dihukum tujuh tahun penjara pada Maret 2018.

Ada pula auditor madya BPK RI Sigit Yugoharto yang terbukti menerima suap berbentuk motor Harley Davidson seharga Rp115 juta serta fasilitas hiburan malam.

Dengan imbalan itu, Sigit diminta mengubah temuannya terkait Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) kepada PT Jasa Marga.

Ia mengubah temuan keuangan Jasa Marga yang tadinya sekitar Rp13 miliar menjadi Rp842,9 juta, dengan rincian pengubahan temuan keuangan pada 2015 Rp526,4 juta dan pada 2016 Rp316,4 juta.

Pada awal Juni tahun lalu, majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Sigit enam tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan hal yang memberatkan hukuman Sigit ialah karena dia tidak mendukung pemberantasan korupsi. Sementara untuk hal meringankan, hakim menilai Sigit bersikap sopan, tidak pernah dipidana, dan masih muda.

Febri berharap kasus Rizal jadi yang terakhir. Dia juga ingin BPK membuat mitigasi "agar ke depan tidak terjadi lagi."

Ini jelas pekerjaan rumah yang harus diselesaikan anggota BPK periode 2019-2024 yang baru saja dipilih oleh DPR RI.

Minim Pengawasan

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan BPK sebenarnya sudah punya instrumen pengawasan internal, hanya saja pelaksanaannya kerap bermasalah.

Satu contoh kecil: ICW beberapa kali mengadukan etik anggota BPK ke internal BPK, tapi tidak jelas bagaimana penyelesaiannya. Empat tahun lalu, ICW melaporkan Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta Efdinal atas pelanggaran etik. Tahun 2017, ICW mendapat informasi Efdinal bersalah, tapi putusannya tidak disampaikan ke ICW.

"Tidak ada mekanisme punishment yang bekerja walaupun kode etiknya ada," kata Firdaus di Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Lebih bermasalah karena faktanya anggota Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK juga diisi oleh anggota BPK itu sendiri. MKKE 2017-2023, misalnya, selain diisi orang luar seperti Zaki Baridwan dan I Gde Pantja Astawa, juga terdiri dari Anggota II BPK Agus Joko dan Anggota V BPK Isma Yatun.

"Nah bagaimana kalau itu [pelanggarannya] di level pimpinan?" ujar Firdaus.

Dia juga menilai rencana pemeriksaan oleh BPK tidak jelas prosedurnya. Dari mulai jenis pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, dan lokasi penugasan. Ini rentan membikin pemegang keputusan di sana menyelewengkan kekuasaan.

"Tidak hanya yang pusat, tapi juga anggota-anggota BPK di daerah yang notabene lebih sulit [diawasi]," kata Firdaus.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara meminta orang-orang tidak menggeneralisasi kasus. Menurutnya penyalahgunaan kekuasaan adalah "tindakan oknum, bukan BPK secara lembaga."

"Keputusan-keputusan enggak dibawa ke sidang badan, prosesnya di masing-masing anggota," kata dia lewat keterangan tertulis.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP SPAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri