tirto.id - Peran dokter dalam menangani kesehatan sejumlah pihak yang terlibat kasus dugaan korupsi kembali mendapat sorotan. Perhatian ini diberikan setelah Bimanesh Sutarjo menjadi tersangka karena diduga menghalangi proses hukum Setya Novanto dalam pengusutan perkara dugaan korupsi e-KTP.
Bimanesh adalah dokter yang menangani Novanto saat dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau usai mobil yang dikendarainya menabrak tiang listrik, pada 16 November 2017. Saat itu, Novanto dirawat karena didiagnosis mengalami luka di bagian kepala dan tangan.
Perawatan mantan Ketua DPR di RS Medika Permata Hijau itu mendapat sorotan publik karena saat itu Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kecelakaan dan perawatan Novanto ini membuat upaya komisi antirasuah membawa paksa politikus Golkar untuk menjalani pemeriksaan terhambat.
Atas tindakan itu, Bimanesh disangka melanggar Pasal 21 UU Tipikor.
Beleid itu berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Adanya bukti kesengajaan Bimanesh menghalang-halangi proses hukum Novanto mendapat respons dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), organisasi yang menaungi seluruh dokter.
Organisasi itu menggelar pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik profesi terhadap Bimanesh. Pemeriksaan IDI masih dilakukan hingga saat ini. Menurut sekretaris IDI, Adib Khumaidi berkata, hasil pengusutan IDI akan saling mengisi dengan proses yang dilakukan KPK terhadap Bismanesh.
"Kami mesti melihat apakah KPK menetapkan tersangka karena ada pelanggaran hukum di dalam aturan pidana umum, atau ada kaitannya dalam keprofesian dia [Bimanesh] sebagai dokter," ujar Adib kepada Tirto, Kamis (11/1/2018).
Jika Bimanesh ditetapkan sebagai tersangka karena murni pelanggaran atas hukum pidana, maka pemberian sanksi terhadap Bimanesh masuk ranah penegak hukum. Namun, jika pelanggaran etik juga terbukti dilakukan Bimanesh, maka IDI akan turun tangan memberi sanksi baginya.
Dugaan Pelanggaran Bimanesh
Saat Novanto masuk RS Medika Permata Hijau pertengahan November 2017, Bimanesh bertugas di luar jadwal praktiknya. Ia tercatat memiliki jadwal praktik setiap Rabu dan Kamis pukul 08.30-11.00.
Namun, saat itu, Bimanesh bertugas menangani Novanto dengan alasan jadwal praktiknya hanya terkait profesi sebagai dokter ginjal. Selebihnya, Bimanesh mengaku on call selama 24 jam, 7 hari seminggu.
Bimanesh juga irit bicara ketika dimintai keterangan oleh wartawan saat awal pemeriksaan Novanto di RS Medika Permata Hijau. “Data medik itu rahasia RS yang dilindungi sumpah jabatan. UU Kedokteran. Jadi saya enggak bisa menyatakan sakitnya ini-ini, enggak boleh, Pak. Coba deh, dokter mana pun di Indonesia begitu jawabannya. Jadi kami jaga ini,” ujar Bimanesh saat itu.
Bimanesh bersama mantan kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, oleh KPK disebut sengaja memanipulasi rekam medis Novanto agar dirawat di RS Medika Permata Hijau. Mereka disebut telah bekerjasama sebelum kejadian tabrakan terjadi.
Saat hendak dikonfirmasi ihwal keterlibatan Bimanesh dan RS Medika Permata Hijau di kasus Novanto, belum ada tanggapan yang diberikan pengelola rumah sakit. Tirto telah mencoba menghubungi nomor telepon RS Medika Permata Hijau, tetapi tak ada jawaban.
Menanggapi dugaan pelanggaran tersebut, Adib berkata bahwa setiap dokter harusnya bekerja dengan mengedepankan etika dan independensi. IDI disebutnya tetap berkomitmen membantu penanganan kasus dugaan korupsi.
"Dalam kode etik kedokteran [disebutkan] bahwa setiap dokter harus menjunjung tinggi independensinya dalam menjalankan profesinya tanpa intervensi siapapun. Itu jadi dasar bagi kami dan teman sejawat untuk bekerja sesuai ilmu profesi kedokterannya, bukan karena hal-hal seperti ini," katanya.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, beberapa waktu lalu pihaknya telah melakukan koordinasi dengan IDI. Hal ini dilakukan agar antara IDI dan KPK memiliki konsep bersama dalam pemberantasan korupsi.
“Jadi, kami saling kerja sama. Prinsip paling dasar adalah agar ke depannya alasan-alasan medis yang direkayasa atau dibuat-buat kemudian tak menjadi penghambat,” kata Febri kepada Tirto, Kamis (11/1/2017).
Febri mencontohkan, ketika ada saksi atau terdakwa mengaku sakit, KPK berkoordinasi dengan IDI untuk bisa meminta second opinion. Dari sana, review hasil pemeriksaan pertama dilakukan.
“Contoh, ketika kami proses SN [Setya Novanto] saat itu kami juga libatkan IDI dan sebelumnya ada pemeriksaan dari RSCM dan hasilnya bagus, meskipun di persidangan Setya Novanto terlihat sakit,” kata Febri.
Saat ini, kata Febri, pihaknya sedang memproses adanya dugaan kerja sama antara seorang advokat dengan dokter dalam menangani pasien yang terlibat kasus korupsi e-KTP. Pernyataan Febri ini merujuk pada kasus kecelakaan Novanto yang dirawat di RS Medika Permata Hijau.
“Ke depan ini [proses hukum Bimanesh], harapannya bisa menjadi pesan pada pihak lain, bahwa Anda tak bisa lagi menggunakan alasan seolah-olah sakit untuk menghindar dari proses hukum,” kata Febri mengingatkan.
Tradisi Sakit Para Pesakitan
Dalih sakit ini memang kerap digunakan sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam perkara kasus korupsi. Sakit, misalnya, juga hal yang menghindarkan Presiden RI ke-2 Soeharto dari lanjutan proses hukum.
Pada pertengahan 2000, Soeharto beralasan sakit ketika hendak menjalani sidang kasus dugaan penyalahgunaan dana yayasan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sakitnya Soeharto saat itu hingga membuat sidang harus dihentikan, dan Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SP3).
Alasan sakit juga digunakan Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono saat menjadi terdakwa perkara korupsi dan TPPU proyek pengadaan TransJakarta 2012-2013. Selain Udar, ada juga Ratu Atut Chosiyah dan Anas Urbaningrum yang sempat beralasan sakit sehingga absen menjalani proses hukum perkaranya di pengadilan.
Saat menjalani proses hukumnya di pengadilan, Novanto juga sempat kembali beralasan sakit. Alasan itu disampaikan pada sidang perdana kasusnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Desember 2017.
Saat itu, Novanto hampir tak berbicara di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Pemeriksaan kesehatan pun dilakukan terhadapnya di gedung pengadilan. Karena terbukti tak menderita sakit, pembacaan dakwaan untuk Novanto tetap dilakukan meski ia tak berbicara banyak di sidang perdana.
Bungkamnya Novanto
Saat dimintai komentar perihal terjeratnya Fredrich dan Bimanesh sebagai tersangka karena dugaan menghalangi penyidikan kasusnya, Novanto tak berbicara sama sekali.
Mantan Ketua Umum Golkar itu hanya mengangkat sebelah tangannya menanggapi pertanyaan ihwal status tersangka Fredrich dan Bimanesh. Tanggapan itu ia tunjukkan saat menghadiri lanjutan sidang perkaranya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.
Kuasa hukum Novanto, Firman Wijaya juga enggan berkomentar banyak menanggapi pertanyaan serupa. Namun, ia mengatakan seharusnya KPK memperjelas batasan antara dugaan pelanggaran dengan hak dan kewajiban Fredrich atau Bimanesh selaku pengacara dan dokter.
"Kalau soal itu, saya sebagai orang seprofesi [berpendapat] semestinya [Yunadi dikenai] imunitas profesi. Seharusnya KPK menganggap advokat mitra, karena [penersangkaan] itu akan menimbulkan gejolak penegakan hukum," kata Firman.
Firman berkata, keputusan KPK terhadap Bimanesh dan Fredrich harus diuji lebih jauh. Ia juga menyatakan bahwa berdasarkan rekam medis yang dimiliki Novanto memang benar sakit.
"Antara tugas profesi dan [dugaan] menghalangi harusnya jelas. Saya kan menangani kasus baru di sini. Toh nyatanya Pak Novanto memang sakit, ada rekam medisnya," tuturnya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani