tirto.id - Beberapa waktu, media-media di Inggris ramai membahas buku berjudul Courtiers: The Hidden Power Behind the Crown yang ditulis oleh mantan reporter kerajaan, Valentine Low. Salah satu bagian dalam buku tersebut bercerita tentang para mantan staf yang bekerja untuk Pangeran Harry dan Meghan Markle, yang menyebut diri mereka Sussex Survivors Club. Istilah ini muncul karena para staf kerajaan kesulitan untuk bekerja dan mengerti kemauan bos mereka. Menurut buku tersebut, banyak staf merasa seperti dipermainkan oleh Meghan dan akhirnya banyak yang mengundurkan diri karena Meghan dianggap sebagai bos yang galak.
Meghan Markle bukan profil pertama yang dicap sebagai bos yang “keras”. Steve Jobs, pendiri Apple, sempat lekat dengan citra ini karena cara kerjanya yang memerhatikan detail.
Menjadi seorang atasan atau bos yang ramah dan baik hati bukanlah hal yang mudah. Karena di satu sisi, bos adalah orang pertama yang bertanggungjawab atas kinerja dan pendapatan perusahaan. Untuk itu ia harus memiliki wawasan sekaligus keterampilan yang mumpuni. Ia membuat rencana, strategi, program, juga mencari solusi jika ada problem perusahaan.
Beberapa bos memutuskan untuk memilih bersikap galak dan otoriter pada karyawannya, dalam upaya mencapai tujuan perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, siapa nyana, menjadi bos baik ternyata terbukti lebih efisien dalam lingkungan kerja. Penelitian lain juga menyebutkan, bahwa tindakan altruism seseorang akan meningkatkan status atau citra seseorang dalam sebuah grup. Citra ini tidak terkecuali pada hubungan antara bos dan stafnya.
Memilih menjadi bos yang baik yang hangat, menurut artikel di Harvard Business Review, meningkatkan kepercayaan staf yang akhirnya meningkatkan loyalitas dan juga produktivitas. Para staf menjadi terinspirasi dengan kebaikan yang dipraktikkan, dan kemudian menciptakan perilaku kerja yang efisien dan efektif, yang akhirnya menguntungkan bagi perusahaan (dan staf).
Namun bersikap baik tidak hanya sekedar memiliki kepribadian yang hangat. Dalam kepemimpinan, seorang bos perlu percaya diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, termasuk bersikap tegas pada karyawannya. “Tegas bisa jadi inspiratif, walk the talk, sehingga mempunyai kharisma dan wibawa di depan staf. Staf paham seorang bos lebih pintar dan lebih solutif,” jelas Patricia Yuanila, M.Psi, psikolog dan Human Resource Coach.
“Saat pertama kali memulai sebagai bos, Anda pasti akan fokus pada jumlah dan apa yang dapat Anda lakukan untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan margin,” kata Jeff Neal, manajer operasi di The Critter Depot. “Anda mungkin mahir dalam hal ini, tetapi Anda akan mendapat penolakan dari staf dan vendor jika mereka menyadari bahwa Anda juga melihatnya sebagai angka.”
Neal mengatakan penting untuk menyadari bahwa pekerjaan bukan hanya tentang angka tetapi juga orang-orangnya. “Begitu Anda menyadari betapa pentingnya faktor manusia, Anda tidak terlalu khawatir tentang peningkatan margin atau berbagi margin sehingga Anda dapat mempertahankan hubungan positif jangka panjang dengan staf dan vendor Anda. Dan ini pada akhirnya menghasilkan bisnis yang lebih lama dan lebih kuat.”
Pendapat yang sama juga diutarakan olehPatricia, “Bagaimanapun juga, karyawan adalah manusia. Dengan menyentuh sisi emosional mereka, mereka akan terlibat dengan pekerjaannya, lebih bersemangat bekerja dan produktif.” Membangun hubungan kerja bos-karyawan ternyata sama saja dengan hubungan antar-manusia pada umumnya. Beberapa elemen dasar yang diperlukan adalah, saling percaya, empati, mendukung, dan komunikasi yang baik.
Seorang bos yang peduli pada karyawan, seperti menanyakan “bagaimana kabarmu hari ini?” akan menciptakan kesempatan bagi karyawan untuk berkomunikasi secara aman dan nyaman dengan bos mereka.
Kemampuan mengucapkan terima kasih secara tulus pada karyawan juga keterampilan penting yang perlu dimiliki seorang bos. Tujuannya agar karyawan merasa dihargai. Merayakan pencapaian kecil membantu tim ketika menghadapi tantangan yang lebih besar dan membentuk dinamika positif di kantor.
Hal penting lain adalah mendelegasikan pekerjaan untuk memberdayakan karyawan sekaligus membangun kepercayaan pada mereka. “Pendelegasian tugas di antara tim Anda tidak hanya menunjukkan kepercayaan dan rasa hormat Anda kepada mereka, tetapi juga membantu mengatasi stres, membuat waktu Anda tersedia untuk fokus pada pekerjaan tingkat yang lebih tinggi.” kata Grace Baena, direktur branding Kaiyo, platform pembelian dan penjualan furnitur bekas.
Kenali Batasan pada Karyawan
Sebagai bos, seseorang perlu mengenali diri dan batasan yang jelas untuk diri sendiri dan karyawan. “Ini berarti mengetahui kapan harus mengatakan tidak, bagaimana mengatakan tidak, dan berapa banyak pekerjaan yang masuk akal pada hari atau minggu tertentu,” kata Marty Ford, presiden BulletpRoof Roof Systems.
Menurut Patricia, seorang bos perlu memisahkan hubungan profesional dan personal dengan karyawannya. Setiap karyawan mempunyai lingkup kerjamasing-masing dan wajib memenuhi Key Performance Indicator (KPI) yang sudah ditetapkan perusahaan. Indikator yang dinilai antara lain kompetensi (hardskill) dan softskill seperti kreativitas, komunikasi, kerja tim, dan lain sebagainya. “Jadi jangan sampai hubungan personal baik tapi orang tersebut tidak memenuhi tanggungjawab dalam pekerjaannya,” jelas Patricia.
Steve Wilson, pendiri Bankdash beranggapan, ketika seorang bos memiliki hubungan kerja yang positif dengan staf mereka, mereka jauh lebih sedikit stres. Wilson menawarkan beberapa saran untuk membangun hubungan ini. “Hindari menggurui, luangkan waktu untuk mengenal karyawan, menyemangati karyawan di saat-saat baik dan buruk, dan tetapkan tujuan dan akuntabilitas yang jelas untuk kinerja pekerjaan,” kata Wilson.
Meski menggunakan empati, namun bukan berarti seorang bos harus berteman baik dengan orang-orang yang ia pimpin. “Anda dapat belajar tentang mereka, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana cara terbaik untuk bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang optimal dari setiap karyawan.”
Korelasi Bos Toksikdan Penyakit Jantung
Menurut penelitian McKinsey pada September 2021, salah satu faktor utama karyawan untuk berhenti kerja di tengah fenomena Great Attrition adalah karena mereka tidak merasa dihargai oleh manajer mereka.
Sebaliknya, karyawan yang memiliki hubungan baik dengan manajer melaporkan kepuasan kerja yang lebih tinggi secara signifikan dengan pekerjaan mereka. Di antara mereka yang mengatakan bahwa hubungan manajemen sangat baik, 74% menyatakan sepenuhnya puas dalam pekerjaan. Studi yang tak terhitung jumlahnya juga menunjukkan hubungan empiris antara kepuasan karyawan dan hasil bisnis seperti loyalitas pelanggan dan profitabilitas.
Memiliki bos yang toksik dan galak, hanya akan memicu stres, dan berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental karyawannya. Sebuah penelitian di Karolinksa Institute (2009-2019) dengan responden 3.122 karyawan pria Swedia, menemukan fakta mereka yang bekerja untuk bos toksik 60% lebih mungkin menderita serangan jantung, stroke, atau kondisi jantung yang mengancam jiwa lainnya.
Studi lain di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang dengan bos yang beracun lebih rentan terhadap stres kronis, depresi, dan kecemasan, yang semuanya meningkatkan risiko penurunan sistem kekebalan tubuh, pilek, stroke, dan bahkan serangan jantung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin diperlukan waktu hingga 22 bulan untuk pulih secara fisik dan emosional dari bos toksik.
Hasil yang serupa juga dipublikasikan oleh British Medical Journal. Mereka mengungkapkan bahwa karyawan yang tidak puas dengan kompensasi, pengakuan, dan peluang karir mereka memiliki BMI 0,6 lebih tinggi daripada mereka yang puas dengan penghargaan mereka. Ini setara dengan sekitar lima pon ekstra pada orang dengan tinggi rata-rata. Temuan yang lebih signifikan adalah pekerja yang mengalami ketidakpuasan kerja 2,4 kali lebih mungkin meninggal karena penyakit jantung.
Menjadi bos baik namun juga dihormati, menjadi pilihan terbaik, yang tidak hanya menyelamatkan karir atau bisnis, namun juga kesehatan.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi