tirto.id - Tahun 2024, Indonesia akan diramaikan oleh pesta demokrasi terbesar dengan penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum). Saat ini, pergerakan para tokoh menuju Pemilu 2024 juga sudah banyak terlihat. Tidak hanya sibuk mencari koalisi, pemimpin politik juga berusaha tampil berkarisma di publik, guna menarik simpati rakyat.
Kita dapat melihat perubahan pembawaan diri yang sangat besar pada banyak calon pemimpin. Pada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), misalnya. Di awal penampilan pertamanya sebagai salah satu calon presiden, ia terlihat sangat muda dibandingkan calon lainnya, dan terlihat kaku saat tampil di depan umum. Namun, AHY belajar banyak untuk meningkatkan pesona dan karismanya sebagai pemimpin.
Karisma adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Tidak heran bila AHY kini pembawaannya terlihat lebih baik dibandingkan kemunculan pertamanya di dunia politik. Menurut Olivia Fox seperti dikutip The Guardian, ada alat verbal dan nonverbal yang dapat dipraktikkan yang akan memberi dorongan karisma yang signifikan. Misalnya, dengan memperbaiki postur tubuh, mengubah intonasi suara, dan berlatih mengambil tempat.
Asumsi postur fisik yang kuat dan percaya diri membuat seseorang merasa lebih percaya diri dan lebih bertenaga. Saat kepercayaan diri meningkat, bahasa tubuh akan menyesuaikan diri. Hal ini memberi dorongan biokimia lain, dan siklus itu berkembang dengan sendirinya.
Yang menarik, seorang introvert, menurut Fox, juga bisa menjadi orang yang memiliki karisma. Menjadi introvert dikatakan dapat menjadi aset utama untuk bentuk karisma tertentu, karena mereka merasa tidak ada paksaan untuk menjadi sorotan, yang memungkinkan mereka untuk menerapkan banyak teknik disukai secara efektif.
Yang kerap luput dari perhatian, karisma tak selalu dimiliki oleh sosok protagonis melainkan juga antagonis. Pembunuh serial Ted Bundy — yang membantai setidaknya 30 perempuan muda, contohnya. Sedemikian karismatiknya Bundy, sampai-sampai ia mampu tampil dengan percaya diri sebagai pembela dalam persidangannya sendiri. Bundy yang sempat mengenyam pendidikan di bidang hukum dan psikologi itu bahkan memiliki kelompok penggemar yang terdiri dari sejumlah perempuan muda. Salah satu penggemar fanatiknya adalah Carole Ann Boone yang resmi dinikahi Bundy dari balik jeruji penjara.
John Antonakis — profesor di bidang perilaku organisasi dari Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Universitas Lausanne, Swiss, juga berpendapat bahwa karisma bukanlah sebuah bakat bawaan yang dimiliki sejak lahir dan hanya bisa ditemukan pada golongan orang terpilih.
Mengacu pada hasil sejumlah penelitian yang dilakukannya selama rentang periode 2011 hingga 2018, Antonakis menyatakan seperti dilansir Psychology Today bahwa karisma merupakan satu set keterampilan yang diperoleh seseorang sebagai kombinasi antara nature (bawaan lahir) dan nurture (pembinaan). Maka itu, karisma bisa dipelajari oleh siapa saja yang menghendakinya.
“Karisma bisa dipelajari dan diajarkan kepada siapa saja. Ada sejumlah teknik yang bisa dilakukan untuk meningkatkan level karisma, yang bisa diterapkan ketika kita berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Sama seperti atlet yang harus berlatih keras agar bisa tampil maksimal dalam sebuah perlombaan, seorang pemimpin yang ingin tampil lebih karismatik juga perlu sering-sering berlatih untuk meningkatkan level karismanya,” jelas Antonakis.
Antonakis dan rekan-rekannya sesama peneliti merangkum sejumlah teknik untuk meningkatkan level karisma yang dinamakan taktik kepemimpinan karismatik atau CLTs (charismatic leadership tactics). Intisari dari kumpulan teknik ini adalah memperbaiki kemampuan bercerita atau menyampaikan ide di depan publik dengan cara menggunakan metafora, perumpamaan, pertanyaan retoris, intonasi suara, dan gestur tubuh yang mendukung.
“Mengapa kemampuan bercerita amat penting untuk diperbaiki? Karena karisma itu sebagian besar adalah tentang bagaimana caranya agar kita bisa berhasil menginspirasi dan menanamkan sebuah ide di dalam benak orang lain. Kemampuan bercerita secara memikat akan membuat orang lain mampu mengidentifikasi dirinya dengan apa yang kita sampaikan dan mempengaruhinya untuk melakukan suatu tindakan,” jelas Antonakis dalam video TedxTalk 20.
Bahwa karisma merupakan sebuah keterampilan yang dapat dipelajari, Elizabeth Jean Zechmeister — peneliti dan profesor di bidang Ilmu Politik dari Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat, sependapat dengan Antonakis. Menurutnya, karisma bukanlah sebuah kualitas pribadi yang bisa dinilai secara independen tanpa memerlukan keterlibatan orang lain. Sebaliknya, karisma merupakan citra diri seseorang yang nilainya amat tergantung pada persepsi orang lain terhadap dirinya.
“Level karisma kita ditentukan oleh persepsi orang lain terhadap diri kita. Berhubung persepsi merupakan suatu hal yang bisa berubah seiring waktu dan mengikuti keadaan, maka level karisma kita di mata orang lain juga bisa ikut diubah dan diperbaiki. Caranya adalah dengan berlatih menerapkan hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang tokoh karismatik, misalnya bersikap hangat dan antusias, berkomunikasi secara lancar, dan memperlakukan orang lain sedemikian rupa agar kadar rasa percaya diri mereka meningkat,” ujar Zechmeister.
Transformasi Makna Karisma
Karisma—mengacu pada kamus Merriam-Webster, memiliki akar kata dalam bahasa Yunani yaitu charizesthai (bantuan/hadiah) dan charis (kasih karunia/rahmat). Dalam bahasa Inggris, kata charisma atau charism pada mulanya digunakan dalam konteks teologi Kristen untuk merujuk pada ‘karunia spiritual dari ilahi yang digunakan untuk kebaikan’.
Sejak periode Yunani kuno, Romawi, hingga masa Kekristenan awal, istilah karisma identik dengan hal-hal bernuansa spiritual. Masyarakat di era tersebut percaya bahwa karisma merupakan anugerah dari Tuhan dan sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki orang-orang terpilih seperti para pemuka agama dan kaum bangsawan. Masyarakat Yunani kuno bahkan menempatkan karisma sebagai sifat yang dimiliki para dewa dan dewi, seperti memesona, rupawan, berwibawa, dan sebagainya.
Seiring waktu, menurut hasil riset yang terbit di Journal of Classical Sociology tahun 2014, istilah karisma mengalami perluasan makna mengikuti perkembangan zaman dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap fenomena sosial. Kata karisma dimaknai dalam dua pengertian yang berbeda, yaitu karisma dari sudut pandang spiritual (sebagai karunia ilahi) dan karisma dari sudut pandang individual (sebagai kepribadian atau kemampuan khusus yang dimiliki seseorang).
Istilah karismatik digunakan untuk menjelaskan karakter individu yang tampil ‘bersinar’ di tengah orang banyak. Pakar ilmu sosial menyatakan bahwa individu yang karismatik dikenal sebagai orang yang mampu membangkitkan perasaan tertarik, kekaguman, rasa sayang, loyalitas, dan antusiasme pada diri orang yang ditemuinya.
Pemahaman tentang karisma dari sudut pandang nonspiritual diawali oleh sosiolog asal Jerman yaitu Max Weber, yang pendapatnya kerap dikutip sebagai referensi dalam penelitian tentang karisma. Salah satu pendapat Weber yang populer di kalangan pakar ilmu sosial adalah bahwa karisma dapat diteruskan dari satu orang ke orang lainnya melalui tiga prosedur, yaitu melalui keturunan (misalnya dari raja ke penerus tahta selanjutnya), ‘warisan’ jabatan (misalnya dari pemimpin sebuah lembaga ke pemimpin berikutnya), atau penguasaan teknis dalam bidang tertentu (virtuoso).
Sisi Kelam Karisma
Di sisi lain, sebagai seorang peneliti di bidang ilmu politik, Zechmeister juga menyoroti sejumlah kondisi tidak ideal yang justru bisa meningkatkan kekuatan karisma seseorang, terutama yang berstatus sebagai pemimpin. Satu yang dianggapnya penting diketahui adalah kecenderungan bahwa karisma seorang pemimpin justru akan meningkat di tengah situasi sulit.
Hal ini terungkap lewat penelitian yang dilakukan beberapa tahun lalu untuk menilai persepsi mahasiswa terhadap level karisma mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Dalam penelitian tersebut, Zechmeister membagi responden mahasiswa menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi tayangan video tentang aksi teroris 11 September 2001, kerusuhan massa, dan aksi-aksi kejahatan yang terjadi di Amerika. Sedangkan kelompok kedua tidak diberikan video apa-apa.
Ketika diminta menilai level karisma yang dimiliki Bush, kelompok pertama — baik pada responden yang berafiliasi pada Partai Republik maupun Demokrat, memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan kelompok kedua. Pada saat diminta memberikan kritik terhadap pemerintahan Bush, kelompok pertama juga menunjukkan keengganan untuk bersikap kritis dibandingkan kelompok kedua.
Contoh kasus yang lebih baru adalah yang terjadi di Venezuela. Semasa menjabat sebagai presiden sejak tahun 1999 hingga kematiannya di tahun 2013, Hugo Chavez menerapkan sejumlah kebijakan yang mengakibatkan perekonomian Venezuela terjerumus ke jurang. Meski 9 dari 10 penduduk tenggelam dalam kemiskinan, tetapi rakyat Venezuela tetap menghendaki Chavez menjadi presiden dan tetap memilihnya selama 4 periode pemerintahan.
Apa yang membuat Chavez bisa bertahan sekian lama menjadi presiden? Karisma. Banyak orang menganggap Chavez utusan Tuhan untuk menyelamatkan Venezuela dari ancaman dalam dan luar negeri. Padahal ancaman itu ada yang nyata dan tidak. Sepeninggal Chavez, penggantinya bahkan memerlukan diri mencari legitimasi atas pemerintahannya dengan mengatakan kepada rakyat Venezuela bahwa Chavez masih terus membimbingnya dalam wujud seekor burung kecil!
“Saya berkesimpulan, semakin kita merasa cemas atau rentan karena situasi tertentu, maka akan semakin kuat pula kita memproyeksikan kekuatan karisma pada diri seorang pemimpin. Ketika kita memberikan tampuk kepemimpinan kepada seseorang pada masa kritis, maka kesetiaan kita padanya akan menguat. Bahayanya, kesetiaan tersebut bisa membuat kita mengabaikan informasi negatif tentang dirinya. Dalam hal ini, karisma bertindak sebagai tameng pelindung bagi seorang pemimpin karismatik,” jelas Zechmeister.
Agar terhindar dari sisi kelam karisma ini, menurut Zechmeister, pertama-tama kita harus mengenali karisma sebagaimana adanya, yaitu sebuah keterampilan unik yang kebetulan dikuasai oleh seorang individu. Bukan sebagai keajaiban, mukjizat, dan sejenisnya. Akui bahwa pemimpin karismatik adalah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.
“Karisma adalah sebuah kekuatan besar. Itu sebabnya, kita harus bersikap ekstra berhati-hati, bahkan harus luar biasa pelit dalam memberikan persepsi karisma kepada seseorang. Ini semata-mata agar kekuatan tersebut tidak disalahgunakan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari kesalahan, yang ujung-ujungnya bisa merugikan diri kita sendiri,” ungkap Zechmeister.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi