Menuju konten utama

Kans Ekonomi Indonesia yang Bukan Republik Pisang

Pernyataan Luhut tentang daya tahan Indonesia di tengah guncangan perekonomian global layak dicermati lebih dalam. Benarkah kita bikan "republik pisang"?

Kans Ekonomi Indonesia yang Bukan Republik Pisang
Pekerja menyelesaikan pembangunan sebuah jembatan pada proyek jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (3/11/2022).ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menghadiri beberapa pertemuan bilateral di Australia baru-baru ini. Selain bersua pengusaha dan pejabat, pria yang pernah berkarier di Kopassus ini juga bertatap muka dengan sejumlah profesor dan peneliti. Di sana dia membicarakan tentang peluang investasi bagi asing dan mengingatkan bahwa Indonesia bukan “banana republic”.

“Kami bertujuan untuk mendapatkan kepercayaan bukan hanya melalui kata-kata, tapi juga melalui tindakan,” ujar Luhut menggunakan bahasa Inggris, lalu menambahkan bahwa “Indonesia bukan banana republic, saya beri tahu Anda.”

Luhut ingin mereka tahu bahwa Indonesia yang sekarang bukan Indonesia puluhan tahun lalu. Negara ini telah melakukan transformasi di berbagai aspek sehingga bagus jadi tempat investasi. Buktinya, kata Luhut, saat banyak negara Eropa dan Amerika perekonomiannya masih terombang-ambing, Indonesia sudah bangkit dengan tingkat resiliensi tinggi. Hal ini menurutnya berkat pengembangan industri hilir yang berperan meningkatkan nilai tambah.

Bukan hanya di Australia, Luhut juga pernah memakai istilah “banana republic” untuk meluapkan kejengkelannya terhadap bos Tesla, Elon Musk. Ia menganggap Elon terlalu mendikte dan terkesan menyepelekan mimpi besar Indonesia menjadi raja baterai kendaraan listrik dunia. “Saya bilang, 'Kamu enggak bisa begitu lagi. This country is not banana republic! This country is a great country!" ujar Luhut, dikutip dari Antara.

Menurut Alison Acker dalam buku berjudul Honduras: The Making of a Banana Republic (1988), istilah “banana republic” bermula dari pengenalan pisang di pasar Amerika Serikat (AS) pada 1870 silam. Buah itu dibawa dari Jamaika dan dijual ke Boston dengan keuntungan 1.000%. Dalam buku The Morass: United States Intervention in Central America (1984), Richard Alan White mengatakan “banana republic” mulai diperkenalkan secara luas oleh penulis O’Henry. Ia menggunakan istilah itu untuk menggambarkan suatu negara fiktif bernama Anchuria dalam buku Cabbages and Kings (1904).

Tak lama sejak diperkenalkan, menurut Dan Koeppel dalam buku berjudul Banana: The Fate of the Fruit that Changed the World (2008), harga pisang diobral jauh lebih murah ketimbang buah lokal. Tren ini membuat Jamaika serta beberapa negara Karibia mengubah total perekonomian mereka. Sampai akhir abad ke-19, pemasukan negara-negara itu nyaris sepenuhnya bergantung pada produksi pisang.

Permintaan global yang tinggi terhadap pisang menyebabkan sejumlah perusahaan buah internasional anteng menguasai fasilitas umum di Honduras. Mulai dari infrastruktur jalan, kereta api, hingga pelabuhan.

Namun, saking bergantungnya pada ekspor komoditas tunggal, perekonomian negara menjadi rapuh, rentan, tidak stabil, dan gampang dipengaruhi asing.

Seiring perkembangan zaman, makna “banana republic” atau “banana state” mengalami pergeseran. Dalam terminologi politik, “banana republic” kini diartikan sebagai negara dengan politik yang tidak stabil serta ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor sumber daya terbatas.

Situasi Global

Kemampuan Indonesia bangkit cepat dari krisis memang diakui banyak lembaga termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Namun pernyataan Luhut tentang daya tahan Indonesia di tengah guncangan perekonomian global layak dicermati lebih dalam. Untuk itu kita perlu tahu dulu apa yang tengah terjadi pada ekonomi dunia saat ini.

Pada 2022 lalu, ekonomi AS hanya tumbuh 2,1% secara tahunan (year on year/yoy). Mereka juga sempat mengalami inflasi 9,1% pada Juni 2022, tertinggi selama 40 tahun terakhir. Perekonomian Jerman, yang konon tertangguh di Eropa, turut kalang kabut dan hanya tumbuh 1,9% (yoy) dengan tingkat inflasi menyentuh 7,9% (yoy). Ini adalah inflasi tertinggi setelah reunifikasi pada 1990. Kondisi Inggris juga tak kalah memprihatinkan. Perekonomian mereka akhirnya keluar secara dramatis dari jurang resesi setelah tumbuh 0,5% pada kuartal IV 2022. Dengan begitu, perekonomian negara yang telah berpisah dari Uni Eropa secara politik ini diperkirakan mentok 4,1% (yoy) pada tahun lalu.

Persentase pertumbuhan ekonomi tiga negara maju itu memang di bawah Indonesia. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 5,31% (yoy) pada 2022. Tapi ingat bahwa ini soal persentase pertumbuhan ekonomi, bukan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Kembali mengacu BPS, PDB per kapita Indonesia adalah Rp71,0 juta atau US$4.783,9, jauh di bawah tiga negara di atas.

Selain itu krisis juga belum berlalu. Untuk memahami betapa genting nasib perekonomian global tahun ini, mari ingat kembali pertemuan para petinggi lima organisasi keuangan dan politik multilateral global di Berlin, Jerman, pada 29 November 2022 lalu. Selain IMF dan World Bank, tiga lain adalah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz, mereka mengatur strategi untuk menghadapi ancaman decoupling dan proteksionisme di tengah tren deglobalisasi.

Dalam pertemuan itu, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva memperkiraan ekonomi global akan merosot menjadi 2,9% (yoy) pada 2023. Sepertiga negara di dunia dan setengah Eropa juga diprediksi mengalami resesi.

Menurut Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, perang dagang AS-Cina yang menghasilkan dua arus perdagangan internasional berpotensi mereduksi pertumbuhan PDB global hingga 5% dalam jangka panjang.

Sementara yang paling terdampak deglobalisasi dan fragmentasi adalah negara-negara berkembang beserta pasarnya. Bahkan, penyusutan PDB bisa tembus dua digit. Indonesia tentu masuk hitungan. Meski sudah dicoret oleh AS dari daftar Developing and Least-Developed Countries di WTO sejak 2020 lalu, namun PDB negara ini masih tergolong berkembang.

Tren Masa Depan

Menurut Alex Isakov dan Adriana Dupita dari Bloomberg, ada empat tren yang akan membentuk dunia dalam beberapa dekade ke depan, yaitu perbedaan biaya energi, kenaikan upah di Cina, rantai pasokan yang mendekati pantai, dan pekerjaan jarak jauh. Bagi negara berkembang dengan sumber daya alam dan institusi yang tepat, itu berarti peluang mempercepat tangga pendapatan.

“Salah langkah kebijakan dapat menyia-nyiakan potensi suatu negara,” tulis mereka.

Negara yang dianggap berpeluang adalah Argentina, Kolombia, Meksiko, Malaysia, dan Filipina. Mereka dianggap mampu menggabungkan sebagian besar unsur kesuksesan; akses ke energi murah, tenaga kerja berlimpah, perdagangan bebas dengan sebagian besar ekonomi global, dan kemampuan untuk menarik bakat.

Dari 22 negara yang dipindai, Indonesia terpantau duduk di peringkat ke-13. Negara kita berada jauh di bawah tetangga Malaysia dan Vietnam–yang sempat diramalkan menjadi pemenang era deglobalisasi–namun masih lebih potensial ketimbang Cile, padahal negara di kawasan Amerika Selatan ini juga sempat dinilai berpeluang besar.

Indonesia memeroleh skor 3.3 dari segi cost advantage potential sekaligus satu-satunya keunggulan yang menonjol. Sedangkan labor cost potential, lalu near-shoring potential, dan skilled migration potential masing-masing hanya mencatat skor 0.7, 2.8, dan 4.2. Secara keseluruhan, Bloomberg memasukkan Indonesia ke dalam golongan negara yang kurang potensial.

Tapi jangan pesimistis dulu. Negara kita justru dipandang berbeda dalam pemikiran lain.

Menurut Wakil Presiden dan Manajer Portofolio AGF Investments Inc. Regina Chi, globalisasi telah berperan signifikan bagi perjalanan ekonomi makro selama 75 tahun terakhir, baik itu di negara maju maupun di berkembang. Ia melesat menjadi hiperglobalisasi selaras dengan kemajuan teknologi abad ke-21. Arus barang dan jasa internasional meningkat ke titik yang belum pernah dicapai sebelumnya. Namun dunia kini berbeda. Hiperglobalisasi meredup ke dalam eskalasi proteksionisme. Tren deglobalisasi menjadi sangat mungkin akibat kombinasi dari tiga faktor; perang dagang AS-Cina, pandemi Covid-19, dan geopolitik Rusia-Ukraina. Semua ini menyadarkan dunia bahwa rantai pasokan global begitu rentan.

Cina–mata rantai paling vital dalam jaringan hiperglobalisasi modern–menjadi lebih asertif dan kurang akomodatif terhadap prioritas Barat. Perang dagang yang dideklarasikan AS sejak 2018 lalu membuat Cina semakin agresif menjauhkan diri dari multilateralisme perdagangan yang didominasi kompetitor.

Situasi yang berlangsung mendorong pembuat kebijakan memutar otak demi menyusun ulang rantai pasokan global yang ramping dan tepat waktu. Reorientasi ke arah reshoring atau friend-shoring diyakini akan menggelembungkan biaya produksi. Bagaimanapun, upah pekerja Barat jauh lebih mahal ketimbang Cina.

Setelah 2022 berakhir suram, investor global bakal mati-matian berjuang untuk kembali “normal” pada tahun ini. Mereka berharap lonjakan inflasi turun sehingga merayu bank sentral beralih ke kebijakan yang lebih akomodatif.

Di sinilah peluang emerging market. Perusahaan multinasional akan melindungi bisnis mereka dengan mendiversifikasi rantai pasokan ke pasar berkembang. Indonesia menjadi satu di antara yang berpotensi kecipratan untung.

Berbeda dengan perhitungan Bloomberg, Regina justru menganggap Indonesia punya kelebihan dari sisi near-shoring. Bersama Meksiko, India, dan Vietnam, Indonesia diperkirakan menikmati masa-masa awal peralihan arus investasi AS dari Cina. “Negara-negara berkembang tertentu akan lebih diuntungkan dari tren deglobalisasi baru ini,” ujar Regina.

Situasi yang berkembang juga memaksa perusahaan multinasional untuk merelokasi manufaktur agar lebih dekat dengan permintaan konsumen. Menurut Chairman and CEO BlackRock Inc. Laurence D. Fink, Meksiko akan menjadi penerima manfaat utama dari konfigurasi ulang rantai pasokan AS berkat potensi tenaga kerja terdidik, upah rendah, transportasi kereta api, dan iklim politik pro-bisnis. Hal ini diungkapkan Fink dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2023 di Davos, Swiss, pada 17 Januari 2023 lalu.

“Tetapi Meksiko tidak akan menjadi satu-satunya penerima manfaat dari perubahan itu,” ujar Fink seraya menambahkan Turki, Indonesia, dan juga beberapa negara di Eropa Timur dan Asia Tenggara lainnya.

Infografik Potensi Ekonomi Indonesia

Infografik Potensi Ekonomi Indonesia di Mata Asing. tirto.id/Fuad

Seperti yang sudah dituliskan di atas, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,31% (yoy) pada 2022. Dari sisi produksi, menurut BPS, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 19,87%. Sedangkan dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi ada di Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 16,28%. Masuk ke awal tahun, kinerja ekspor Indonesia sudah tercatat US$22,31 miliar pada Januari 2023, turun 6,36% dari Desember 2022 namun meningkat 16,37% dibanding Januari 2022. Sementara impor tercatat US$18,44 miliar atau turun 7,15% dibandingkan Desember 2022 tapi naik 1,27% dari Januari 2022.

Cina masih menjadi pangsa ekspor non minyak bumi dan gas (nonmigas) terbesar bagi Indonesia, nilainya mencapai US$5,25 miliar pada Januari 2023. Di urutan kedua ada AS dengan nilai ekspor US$1,95 miliar. Dari sisi impor, Cina juga menjadi yang paling banyak mengirim barang dan jasa ke Indonesia pada Januari 2023. Nilainya tercatat US$5,32 miliar atau berkontribusi sebesar 34,24% dari total impor bulan lalu. Tak seperti ekspor, impor dari AS pada periode tersebut berada di urutan kelima, yakni senilai US$0,78 miliar atau hanya berkontribusi 4,97%. Nilai impor dari AS bahkan masih di bawah Korea Selatan.

Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$3,87 miliar pada Januari 2023. Satu di antaranya dihasilkan berkat perdagangan dengan AS. Tak tanggung-tanggung, nilai surplus dari negeri Paman Sam mencapai US$1,17 miliar. Di sisi lain, laju inflasi Indonesia tercatat 5,28% (yoy) pada Januari 2023.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat setidaknya 20 negara investor yang menanamkan modal besar di Indonesia sepanjang 2022. Singapura menjadi yang paling banyak dengan nilai investasi mencapai lebih dari US$13,2 miliar dari 7.960 proyek. Di urutan kedua ada Cina dengan nilai investasi US$8,2 miliar dari 2.117 proyek, kemudian Hong Kong senilai US$5,5 miliar dari 1.616 proyek, selanjutnya Jepang senilai US$3,5 miliar dari 4.220 proyek, lalu Malaysia senilai US$3,3 miliar dari 1.551 proyek.

Sementara AS menjadi negara keenam terbanyak investasi dengan nilai mencapai US$3,0 miliar dari 1.036 proyek. AS berada setingkat di atas Korea Selatan yang memiliki nilai investasi US$2,2 miliar dari 2.907 proyek dan juga Belanda dengan nilai US$1,2 miliar dari 1.451 proyek.

Begitulah gambaran performa Indonesia sejauh ini. Semoga saja negara kita benar-benar bukan “republik pisang” seperti yang dinyatakan Lord Luhut.

Baca juga artikel terkait EKONOMI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Rio Apinino