tirto.id - Pada mulanya adalah jalur kereta api. Tahun 1873, perkebunan-perkebunan pisang dibuka di Costa Rica sebagai sumber pangan buruh rel oleh Henry Meiggs, taipan asal Amerika Serikat yang menangani proyek jalur kereta penghubung Amerika Utara dan Amerika Tengah, bersama keponakannya yang bernama Minor C. Keith. Hasil panen berlimpah. Meiggs dan Keith melihat peluang dan mulai mengekspor pisang ke Amerika Serikat.
Dua puluh enam tahun kemudian, perusahaan pisang yang didirikan Keith, Tropical Trading and Transport Company, bergabung dengan Boston Fruit Company milik Andrew Preston. Hasilnya adalah salah satu korporasi terbesar di awal abad ke-20: United Fruit Company (UFC).
Dari 103 juta tandan pisang yang diekspor negara-negara Amerika Latin pada tahun 1930, sebesar 63 persennya adalah milik UFC. Menurut Alison Acker dalam buku Honduras: The Making of a Banana Republic, pada masa itu UFC menguasai 80 hingga 90 persen perdagangan pisang di Amerika Serikat.
Berjualan pisang, meski tidak terdengar megah, sama sekali tak patut disepelekan. Menurut Spendmatters, lebih dari 100 miliar buah pisang dikonsumsi setiap tahun. Jumlah itu menjadikan pisang sebagai hasil bumi terpenting nomor empat, setelah gandum, beras, dan jagung.
Rebbeca Cohen, dalam The Science Creative Quarterly edisi Desember 2009, bahkan menyatakan perdagangan pisang sebagai representasi pelbagai masalah ekonomi, sosial, politik, serta lingkungan di planet ini.
Pablo Neruda tidak berlebihan dalam sajaknya. UFC, lewat kongkalikong dan manipulasi atas hukum pemakaian tanah, membeli lahan yang amat luas di sejumlah negara Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan dengan harga sangat murah, lalu mempekerjakan para pribumi yang tak mempunyai lahan sebagai buruh berupah rendah. Sebagian negara itu kehilangan potensi pemanfaatan sumber daya lain dan berubah menjadi republik-republik yang dikendalikan oleh perusahaan pisang.
Sebanyak 10 ribu buruh tani UFC di pesisir utara Kolombia melakukan mogok kerja pada 1928. Mereka tidak lagi rela dibayar kupon yang hanya berlaku di toko-toko milik perusahaan. Mereka ingin berserikat, dan menuntut tempat tinggal yang lebih baik ketimbang asrama-asrama teruk yang disiapkan perusahaan.
UFC membisikkan jawaban ke kuping militer Kolombia. Lembaga itu meneruskannya kepada para serdadu dan juru bicara yang terpilih adalah senapan-senapan mesin.
Menyusul Masacre de las bananeras atau pembantaian pisang itu, kedutaan Amerika Serikat di Bogota mengirim sebuah komunike kepada Sekretaris Negara Amerika Serikat: “Saya mendapat kehormatan untuk melaporkan: perwakilan United Fruit mengabarkan bahwa pemogok yang mati dibedil tentara Kolombia berjumlah lebih dari seribu orang.”
Pada 1952, Presiden Guatemala Jacobo Arbenz mengusulkan pembagian lahan yang belum dikelola kepada para buruh tani. Bagi UFC, pemilik sekitar setengah dari keseluruhan lahan produktif Guatemala (85 persennya belum digarap), reforma agraria tersebut adalah ancaman besar. Dua kepentingan itu berbenturan dan pada 1954 Arbenz terjungkal dari kursinya dan Guatemala dilanda perang sipil selama 42 tahun.
Terlepas dari pelbagai masalah yang ia ciptakan dan kadang berbalik menghantamnya, UFC yang berganti nama menjadi United Brands (1970) dan kemudian Chiquita Brands International (1984) sanggup bertahan sebagai perusahaan pisang terbesar di dunia hingga 1990an.
Ia nyaris bangkrut pada 2000, tetapi bangkit kembali sebagai satu dari lima perusahaan multinasional yang mengendalikan perdagangan pisang dunia masa kini. Empat lainnya adalah Dole/Standard Fruit, Del Monte, Fyffes, dan Noboa. Pada 2014, Chiquita Brands International (CBI) bergabung dengan Fyffes dan kembali menjadi yang terbesar. Kongsi baru itu menghasilkan 16 miliar pisang dan memperoleh 4,6 miliar dolar Amerika Serikat per tahun.
Perusahaan-perusahaan pisang banyak berbenah di abad ke-21. Pencanggihan terjadi di segala bidang. CBI tidak lagi bisa dengan enak membunuh para pekerjanya, lalu menumpuk dan membuang mayat mereka ke laut seperti buah-buahan busuk.
Gantinya, sebagaimana terbongkar dalam pengadilan federal Amerika Serikat pada Maret 2007, perusahaan itu membayar dan mempersenjatai kelompok teroris Autodefensas Unidas de Colombia (AUC) untuk membisukan serikat-serikat pekerja dan mengintimidasi para petani supaya menjual hasil panen mereka hanya kepada CBI.
Dole, pesaing utama CBI, mempunyai sertifikat ISO 14001 sebagai tanda pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, meski sebenarnya menyumbang polusi berat kepada sungai dan air tanah di wilayah-wilayah operasinya. Dole bahkan menggunakan pestisida Nemagon yang terlarang karena mengandung unsur yang dapat menyebabkan kemandulan dan sejumlah penyakit bagi mamalia.
Dalam dongeng, gergasi atau raksasa sering kali menimbulkan kerusakan sonder maksud. Raksasa lewat dan tanah terguncang dan bangunan roboh dan pohon tumbang dan orang tersungkur. Tetapi perusahaan-perusahaan pisang tak demikian. Gergasi-gergasi dunia nyata itu menggilas manusia dan alam dan apa saja yang merintangi jalan menuju keuntungan maksimum. Demi tujuan itu pulalah mereka menerapkan monokultur, yaitu budidaya kultivar tunggal.
Monokultur menjamin kesangkilan atau efisiensi. Ukuran dan bentuk buah yang seragam, misalnya, membuat pengolahan dan pengiriman senantiasa baku. Namun, industri pertanian yang bergantung pada satu jenis kultivar adalah sekam yang menyimpan bara: bila sampai waktunya, semua akan terbakar habis.
Tanaman monokultur—yang umumnya dibiakkan secara aseksual—tidak dapat beradaptasi. Kesamaan genetik berarti kesamaan daya tahan dan kerawanan. Apabila satu unit tanaman mengidap penyakit tertentu, bisa dipastikan bahwa unit-unit lain dari kultivar yang sama dapat terkena pula.
Itu terbukti pada Gros Michel atau pisang ambon. Hingga awal 1960an, pisang yang harum, manis, dan pulen itu adalah pilihan utama industri pisang dunia. Lalu Fusarium oxysporum berulah. Jamur itu menyebarkan wabah Panama—disebut demikian karena di sanalah ia diidentifikasi pertama kali—ke seluruh dunia.
Wabah gagal ditangkal dan Gros Michel di seluruh dunia beramai-ramai mati kering. Situs Panamadiseases.org memperkirakan kerugian akibat wabah tersebut sedikitnya senilai 2,3 miliar dolar Amerika Serikat. Yang lebih menyedihkan, kecuali di Asia Tenggara dan sedikit wilayah lain, varietas itu telah punah.
Alih-alih mencegah bencana itu terulang lewat pemberagaman atau diversifikasi, industri pisang dunia malah mencari kultivar monokultur pengganti. Hasilnya adalah jenis yang kini menguasai 95 persen perdagangan pisang dunia: Cavendish.
Pisang Cavendish yang terlihat seperti mainan berbahan karet itu hampir tidak beraroma, rasanya hambar-cenderung-asam, dan teksturnya kering. Pendeknya, tidak enak. Dibandingkan dengan Gros Michel atau pisang ambon, keunggulan Cavendish adalah daya tahan yang lebih baik dalam proses pengiriman dan, terutama, ia pernah kebal dari wabah Panama.
Pada 1992, wabah Panama generasi baru yang dibawa oleh Tropical Race 4 (TR4), sebuah subtipe jamur Fusarium, merundung perkebunan-perkebunan Cavendish di Taiwan, lalu perlahan menyebar ke Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Australia Utara, Taiwan, dan Cina.
Lebih dari sepuluh ribu hektare perkebunan Cavendish di Asia-Pasifik tumpas dan kerugian diperkirakan melebihi 400 juta dolar Amerika Serikat. Kini TR4 menyebar seperti kebakaran. Pada April 2016, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) mendesak para pelaku industri pisang agar segera menghentikan wabah tersebut.
Beberapa tahun lagi Cavendish mungkin akan mengalami nasib yang sama dengan Gros Michel. Industri pisang akan melemah untuk sementara dan varietas monokultur baru akan diperkenalkan, perusahaan-perusahaan pisang akan kembali menumpuk keuntungan.
Dengan demikian, segalanya baik-baik saja. Suara Don Pablo: Jehovah menyerahkan dunia kepada para pemilik modal, adalah sebuah sindiran. Namun, sebagian di antara mereka barangkali memang menganggap diri ahli waris planet ini. Mereka kerap bicara tentang pengorbanan kecil demi kebaikan besar. Si kecil itu bisa berarti apa saja: sebuah negara, satu spesies makhluk hidup, atau seribu orang buruh tani.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti