tirto.id - Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Dalam kurun waktu itu, ia ciptakan buah-buahan pada hari kedua dan kemudian Adam di hari keenam, hari terakhir.
Selepas beristirahan di hari Sabat, melalui salah satu tulang rusuk milik Adam, Tuhan menciptakan Hawa. Tak perlu menggunakan Tinder, keduanya, Adam dan Hawa, lantas menjadi sepasang kekasih. Tuhan, Yang Maha Pemurah dan Pengasih, kemudian mengizinkan sepasang kekasih itu tinggal di taman miliknya, surga. Namun, dengan satu syarat: Adam dan Hawa boleh memakan semua buah-buahan di surga, kecuali buah yang dihasilkan ‘Pohon Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat,’ atau dalam teologi Islam, Pohon Khuldi (Syajarati al-Khulud).
Di sisi lain, Iblis, yang cemburu atas penciptaan manusia, bersiasat menyingkirkan Adam dan Hawa dari surga. Iblis mendekati sepasang kekasih itu dan membisik bahwa buah yang dihasilkan pohon terlarang itu tidak apa-apa untuk dimakan. Adam dan Hawa terlena. Mereka memakan buah yang dihasilkan pohon terlarang. Tuhan, sang Maha Mengetahui, marah pada Adam dan Hawa dan seketika juga mengusir mereka dari surga.
Tidak ada yang tahu pasti apa sebenarnya buah yang dihasilkan pohon keramat itu yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir dari surga. Pendapat paling umum, buah yang dimakan Adam dan Hawa itu ialah apel. Asumsi ini berawal dari Jerome atau Hieronimus, seorang pastor sekaligus arkeolog yang menerjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani ke bahasa Latin (Vulgata) sekitar tahun 400 Masehi di bawah pengawasan Paus Damasus I. Beberapa abad kemudian, karya terjemahan Hieronimus dijadikan rujukan Alkitab berbahasa Inggris, yang dicetak secara masif melalui mesin ciptaan Johannes Gutenberg.
Menurut Carolus Linnaeus, bapak taksonomi modern yang namanya akrab di telinga pelajar-pelajar Indonesia (dan dunia), buah yang menyebabkan terusirnya Adam dan Hawa bukanlah apel, melainkan pisang.
Pisang: Buah Surga yang Menginvasi Dunia
Dan Koeppel, kolumnis The New York Times Magazine dan Popular Science, melalui bukunya berjudul “Banana: The Fate of The Fruit That Changed The World,” menyebut bahwa bahasa Latin, dalam beberapa kasus, mirip seperti bahasa Inggris juga bahasa Indonesia. Bahasa Latin mengandung homonim, suatu kata yang memiliki bunyi sama dengan kata lain, tetapi memiliki makna berbeda. “Bisa” misalnya. Ia dapat berarti “mampu” atau “racun”.
Dalam Vulgata, Jerome memilih kata malum untuk menerjemahkan buah “baik dan buruk” Suatu kata yang, jika diterjemahkan langsung, berarti apel, sebagai satu dari cukup banyak makna terjemahannya. Koeppel, yang mengutip pendapat Schneir Levin, seorang arkeolog alkitab, menyatakan bahwa seharusnya maksud paling tepat yang terkandung dalam kata “malum” untuk mendeskripsikan buah yang dimakan Adam dan Hawa adalah malicious--jahat, bukan apel.
Sayangnya, ketika seniman-seniman di zaman Renaisans hendak melukis tentang surga, mereka menggunakan Alkitab cetakan Gutenberg sebagai rujukan. Jadilah apel buah yang menyebabkan Adam dan Hawa terusir.
Carolus Linnaeus kukuh pada pendiriannya. Ia sangat percaya bahwa pisang adalah buah surga dan buah yang menjadi sebab Adam dan Hawa terusir dari surga. Nama saintifik untuk pisang manis berwarna kuning, Linnaeus memilihkannya sebagai Musa sapentium yang berakar dari bahasa Latin yang berarti (bijaksana). Sementara untuk pisang berwarna hijau, Linnaeus memilihkan kata Musa paradisiaca aliaspisang dari surga. Kata “Musa” sendiri ia ambil dari mauz, kata Arab untuk buah.
Pemilihan nama yang tepat, menurut Koeppel. Dalam bukunya itu, Koeppel berpendapat bahwa dalam Al-Quran--sebagaimana tersemat dalam Surat Al-Waqi’ah--pisang memang buah surga. Sementara itu, nama yang disematkan untuk pohon sakral yang buahnya dimakan Adam dan Hawa adalah talh, kata yang oleh sarjana-sarjana Muslim sering diartikan sebagai “pohon surga”.
Dalam teologis Kristen, selepas Adam dan Hawa memakan buah dari pohon terlarang, pakaian mereka berdua tiba-tiba hilang. Agar tidak telanjang, keduanya meraih daun ara (fig leaves). Bagi Koeppel, dalam kasus ini, tidak ada kekeliruan penerjemahan fig leaves, melainkan kesalahpahaman. Klaimnya, dalam catatan sejarah, pisang sering disebut sebagai figs. Ketika Aleksander Agung pulang dari India membawa sampel pisang, ia menyebut buah itu fig of Eve.
Lantas, ke mana pisang selepas Adam dan Hawa diusir ke dunia oleh Tuhan dari surga?
Bagi masyarakat Baduy, selepas Adam dan Hawa terusir dari surga, mereka berdua mendarat di dunia di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Bagi Koeppel, masih dalam bukunya itu, pisang pun akhirnya turun ke dunia, tetapi tidak mendarat di tempat yang sama sebagaimana kepercayaan Baduy tentang Adam, melainkan melebar sekitar 4.500 kilometer ke arah Barat Laut dari Baduy. Tepatnya di India.
Masyarakat Hindu di India menyebut pisang sebagai kalpatharu. Kata itu diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti "pohon kebijaksanaan". Dalam kepercayaan Hindu, pisang merupakan reinkarnasi dari Lakshmi, dewi kemakmuran, kecantikan, dan kebijaksanaan. Di sana, lazim bagi seorang mempelai pria membawakan pisang untuk mempelai wanita, sebagai tanda kesuburan.
India merupakan negeri penghasil pisang terbesar di dunia. Saban tahun, menurut Koeppel, India memproduksi sekitar 17 juta ton pisang, merepresentasikan 20 persen total produksi pisang di seluruh dunia. Secara biodiversiti, India juga merupakan negeri yang paling banyak memiliki variasi pisang. Lebih dari 670 jenis pisang muncul di India, dengan Thella Chakkarakeli sebagai yang paling populer. India mendeskripsikan pisang sebagai “hadiah terindah dari Ibu Pertiwi”.
Dari India, pisang menyebar searah jarum jam. Menuju Asia Selatan. Menuju Asia Tenggara. Menuju Pasifik. Menuju Australia. Menuju Afrika. Menuju Eropa. Menuju Amerika.
Meskipun India adalah tempat pertama kali pisang muncul, Kuk Swamp, daerah yang berada tepat di jantung Papua Nugini, menjadi yang pertama membudidayakan pisang. Kuk Swamp merupakan rawa di Lembah Wahgi. Menurut Koeppel, daerah ini termasuk 'baru' dalam catatan sejarah geografi. Sebelum manusia sampai di rawa ini, Kuk Swamp tak ubahnya belantara rerumputan. Namun, tatkala pemanasan global menyelimuti Bumi di penghujung zaman es, yang menyebabkan muka air laut meningkat, tetumbuhan yang kaya variasinya muncul di Kuk Swamp.
Di awal dekade 1970-an, tatkala ilmuwan ingin mencari lokasi yang tepat untuk membangun perkebunan, mereka menemukan phytolith di Kuk Swamp. Phytolith adalah jasad tumbuhan yang berukuran sebesar butir pasir dari pisang yang tersebar rapi. Yang jelas, menurut Koeppel, pisang yang dibudidayakan orang-orang di Kuk Swamp berbeda dengan pisang yang dimakan manusia saat ini. Alasannya, mengutip pernyataan Edmond De Langhe, ahli botani dari Belgia, orang-orang Kuk Swamp tidak memakan buahnya, melainkan batang pohonnya, yang dikenal sebagian masyarakat Indonesia dengan sebutan “gedebog pisang”.
Dari India, pisang menyebar terutama terjadi kala pelayaran antar samudera sedang jaya-jayanya.
Menurut Koeppel, salah satu cara terbaik melihat persebaran pisang di dunia dapat dilihat dari nama lokal yang diberikan untuk buah dari surga ini. Di wilayah Pasifik, orang-orang Samoa menyebut pisang mei’a. Di Selandia Baru, orang-orang menamainya maika. Di Hawaii nama mai’a dipilih untuk menyebut pisang.
Di Asia Tenggara, memanjang dari Malaysia, Filipina, Indonesia, dan sebagian Papua “pisang” adalah namanya. Tentu, Papua tidak hanya menamai pisang dengan kata “pisang” Sebagian masyarakatnya menyebut pudi dan fud, nama yang memiliki kemiripan bunyi dengan huti untuk menyebut pisang bagi masyarakat Kepulauan Solomon dan vud, sebutan pisang bagi masyarakat Fiji.
Di Tahiti, pisang disebut sebagai fe’i, mirip dengan apa yang diucap masyarakat Hawaii untuk pisang. Jauh ke Afrika, tepatnya di Tanzania, pisang disebut masyarakat sana dengan nama huti. Menjejak tanah Amerika, tepatnya di wilayah Amerika Selatan, salah satu jenis pisang di sana dinamai rapa nui yang memiliki nama lainnya yakni maika. Diyakini, pisang sampai ke tanah Amerika melalui tangan pelaut-pelaut Polinesia, dengan Bahia de Caraquez di Ekuador sebagai tempat berlabuhnya.
Sumber Kekayaan
Bagai minyak bagi Standard Oil Company atau emas bagi Freeport McMoran atau data bagi Google, pisang merupakan sumber kekayaan bagi kapitalis Amerika Serikat selepas Perang Sipil berakhir. Pisang memang tidak dibudidayakan di AS, tetapi di wilayah benua Amerika lain, Jamaika misalnya. Pisang dibawa untuk diperjualbelikan secara masif di tanah AS kali pertama dilakukan oleh Lorenzo Dow Baker, kapten kapal Telegraph pada abad ke-19.
Awalnya, Baker tidak menggunakan peralatan khusus untuk membawa pisang dari Jamaika ke AS. Baker hanya meletakkan pisang di dek kapal, memungkinkan pisang terhempas angin laut, cara yang menurutnya terbaik untuk tetap menjaga pisang tetap segar. Secara umum, perjalanan kapal dari Jamaika menuju AS membutuhkan waktu lebih dari dua minggu. Baker beruntung. Dengan cuaca yang tepat, ia membawa pisang dari Jamaika ke AS hanya dalam tempo 11 hari sehingga membuatnya untung $6.400--dalam kurs dollar saat itu--dalam perjalanan perdana tersebut.
Waktu berlalu. Untuk membuat pisang lebih segar ke pasar AS, Baker menggunakan berton-ton es untuk menjaga kesegaran pisang-pisangnya saat melintasi lautan. Pada 1885, bekerjasama dengan Andrew Preston, orang kaya asal Inggris, Baker berkongsi mendirikan eksportir pisang terbesar, Boston Fruit yang kini dikenal dengan nama Chiquita Brands International.
Sebagai buah yang popularitasnya meningkat pesat di AS, pisang tidak hanya dibawa Boston Fruit. Pada pertengahan abad ke-19, Minor C. Keith juga melakukannya. Namun, pisang yang dibawa Keith ke AS bukan berasal dari Jamaika, melainkan Kosta Rika.
Masuknya Keith ke bisnis pisang terjadi berkat keberuntungan pamannya, Henry Meiggs. Di abad ke-19 itu Meiggs adalah sosok terpandang. Jalur kereta api di hampir seluruh wilayah Amerika Latin, seperti Chile dan Peru lahir dari tangannya. Pada suatu ketika, Meiggs diminta Pemerintah Kosta Rika melanjutkan pembangunan jalur kereta api di sana yang tak kunjung beres. Meiggs setuju. Ia lantas mengajak keponakannya untuk ikut serta.
Pada 1877 Meiggs meninggal dunia. Ia mewariskan pembangunan jalur kereta api yang belum tuntas dan hutang yang menumpuk kepada keponakannya. Di sisi lain Pemerintah Kosta Rika tidak memiliki uang lagi untuk membiayai pembangunan jalur kereta. Tak ingin mengecewakan mendiang pamannya dan Pemerintah Kosta Rika, Keith tak mau menyerah. Ia lantas meminjam uang senilai 1,2 juta poundsterling--setara dengan $175 juta saat ini--kepada teman-temannya di Inggris. Singkat kata, Keith kemudian mendatangi Presiden Kosta Rika kala itu, Prospero Fernandez Oreamuno, untuk menyelesaikan jalur kereta api. Tahu bahwa pemerintah tidak punya uang mengganti hutangnya, Keith mengajukan tiga syarat: kendali jalur kereta api Kosta Rika secara penuh selama 99 tahun, diberi kuasa untuk menggunakan pelabuhan Limon, dan diberi hak bercocok tanam pada tanah seluas lebih dari 30.000 hektar di negeri itu. Presiden setuju. Keith merampungkan jalur kereta.
Melalui jalur kereta api, pelabuhan, dan berhektar-hektar tanah, Keith mengadu nasibnya melalui pisang. Keith menanam pisang di Kosta Rika dan melalui kereta api serta pelabuhan, ia mengirimkan pisang-pisangnya ke AS.
Keith, sebut Koeppel, sukses membangun “monarki kerajaan pisang di Amerika Latin.”
Editor: Windu Jusuf