tirto.id - Masih ingat dengan jargon program amnesti pajak? "Ungkap-Tebus-Lega" jadi kampanye yang dipakai pemerintah untuk menarik minat wajib pajak mengikuti program pengampunan dari kelalaian atau ketidakpatuhan dalam mengungkap harta. Wajib pajak juga boleh membawa pulang atau setidaknya melaporkan harta mereka yang selama ini disembunyikan di luar negeri dengan tebusan ringan.
Berkat kampanye yang masif dan langkah persuasif hingga Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani turun tangan, amnesti pajak cukup sukses. Dalam kurun waktu 9 bulan, pemerintah telah mendapatkan tambahan penerimaan dari 965.983 wajib pajak dengan nilai tebusan Rp114 triliun. Adapun, harta yang dideklarasikan wajib pajak mencapai Rp4.866 triliun.
Baca juga:Beda Amnesti Pajak Indonesia dan India
Sri Mulyani secara terang-terangan mengungkapkan rasa bahagianya terhadap capaian amnesti pajak. “Terima kasih untuk seluruh jajaran pajak yang terus menerus melaksanakan tugas penuh dedikasi dan menjaga integritas hingga larut malam. Anda luar biasa..!!" tulis Sri Mulyani dalam catatan pribadi yang kemudian dipublikasi.
Namun, hasil amnesti pajak memang belum sesuai dengan harapan pemerintah, terutama dari dana repatriasi yang masuk. Pemerintah sebelumnya menargetkan pembalikan dana orang Indonesia di luar negeri mencapai Rp1.000 triliun, tapi realisasinya hanya Rp147 triliun.
Baca juga: Capaian Amnesti Pajak yang Dibanggakan Jokowi
Dengan adanya amnesti pajak di era pemerintah Jokowi, maka total amnesti pajak yang telah diselenggarakan Indonesia mencapai empat kali, yakni pada 1964 di era Soekarno, 1984 di era Soeharto dan 2008 di era Susilo Bambang Yudhoyono atau yang dikenal dengan istilah sunset policy.
Amnesti pajak pada 1964 dan 1984 dinilai gagal karena disebabkan adanya kondisi tertentu. Kegagalan amnesti pajak 1964 disebabkan adanya kejadian G30S. Sementara itu, kegagalan amnesti pajak 1984 dikarenakan tujuan pemerintah ingin mengubah sistem perpajakan Indonesia dari official assessment menjadi self assessment, bukan untuk mengembalikan dana revolusi.
Amnesti pajak di era SBY dan Jokowi dinilai cukup berhasil, terutama dari rasio kepatuhan penyampaian SPT tahunan. Setelah amnesti pajak, rasio kepatuhan penyampaian SPT pada 2009 menjadi 54,15 persen dari total 9,99 juta wajib pajak. Capaian ini lebih baik ketimbang 2008 yang mencatatkan rasio kepatuhan 33,08 persen dari total 6,34 juta wajib pajak.
Pada 2017, rasio kepatuhan penyampaian SPT menjadi 70,98 juta persen dari total 16,60 juta wajib SPT. Capaian ini juga lebih baik ketimbang tahun sebelumnya yang mencatatkan rasio kepatuhan sebesar 63,15 persen. Artinya, program pengampunan pajak mendapat respons positif karena mendapatkan kepercayaan publik.
Keresahan Wajib Pajak
Rasa kepercayaan ini mendapat ujian saat ini. Para wajib pajak terutama dari kalangan pengusaha yang mengikuti amnesti pajak justru mengeluhkan langkah Ditjen Pajak melakukan penegakkan hukum atau law enforcement pasca amnesti pajak. Misalnya pemerintah belum lama ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan.
Selain itu, langkah penegakkan hukum Ditjen Pajak kepada wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak malah membuat khawatir wajib pajak. Ada beberapa pengusaha yang terkena bukti permulaan (buper). Buper merupakan keadaan, perbuatan, dan atau bukti berupa keterangan, tulisan atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan.
“Banyak pengusaha yang ikut amnesti pajak menjadi resah dan lapor ke kami. Memang, bukper kali ini agak terlalu kuat,” kata Herman Juwono, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) kepada Tirto.
Baca juga:
- Menyoal PP 36, Episode Baru Memburu Harta Wajib Pajak
- Siap-siap Penegakan Hukum Usai Berakhirnya Amnesti Pajak
Dunia usaha dari wadah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai apa yang dilakukan otoritas pajak belakangan ini berpotensi menimbulkan lunturnya kepercayaan wajib pajak. Apalagi, hal itu dilakukan pasca amnesti pajak.
“Saya kira hal-hal seperti ini justru akan meruntuhkan kepercayaan yang kita bangun cukup bagus ketika amnesti pajak yang lalu. Wajib pajak kini tidak nyaman dan patah semangat,” tutur Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo kepada Tirto.
Namun, otoritas pajak juga tidak bisa disalahkan karena target penerimaan pajak pada tahun ini dipatok terlalu tinggi. Realisasi penerimaan pajak hingga September 2017 baru mencapai 60 persen, atau sebesar Rp770,7 triliun dari target APBNP 2017 sebesar Rp1.284 triliun.
Alhasil, tekanan kepada para petugas pajak kian besar. Bila merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 36/2017, seharusnya fokus otoritas pajak adalah mengejar wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak.
Baca juga: Tren Shortfall Pajak Yang Terus Berulang
Hal itu dikarenakan otoritas pajak hanya memiliki waktu hingga 2019 untuk menemukan data atau informasi mengenai harta yang belum dilaporkan dalam SPT dari para wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak. Apabila telat, maka potensi harta wajib pajak yang belum dilaporkan sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 itu tidak bisa dianggap sebagai tambahan penghasilan lagi oleh otoritas pajak.
Sehingga ini sangat disayangkan. Di lain pihak, sasaran kepada para wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak juga menjadi sinyal baik bagi wajib pajak yang sudah mengikuti amnesti pajak. Menjaga kepercayaan para wajib pajak merupakan hal yang penting. Apalagi, pemerintah tengah melaksanakan reformasi perpajakan. Tanpa kontribusi wajib pajak, tidak menutup kemungkinan reformasi perpajakan sulit berjalan.
Baca juga:Gertak Sambal Kala Target Pajak Harus Ditambal
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemerintah seharusnya menunjukkan hal-hal yang menguntungkan wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, bukan sebaliknya.
“Saya pikir pemerintah harusnya mengalah untuk menang. Enggak usah dipaksakan. Laiknya sepakbola, pemerintah bertahan dulu jangan sampai kebobolan, kalau lawan sudah lelah baru serangan balik,” ujarnya kepada Tirto.
Pemerintah memang sudah seharusnya tak lagi mengandalkan "berburu di kebun binatang" atau menggenjot pajak dari wajib pajak yang sudah membayar pajak dan percaya dengan pemerintah. Bila kondisi ini terus berlanjut justru akan melunturkan kepercayaan. Sri Mulyani pun sudah sadar dan mengerti soal ini, tapi hanya perlu pembuktian di lapangan.
"Jadi pajak bukan menekan kepada mereka yang sudah bayar," ujar Sri Mulyani.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra