tirto.id - Tim kuasa hukum jurnalis Narasi yang menjadi korban peretasan mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penggugat ialah Akbar Wijaya.
Salah satu kuasa hukum, Muhammad Al Ayyubi, berkata pengaduan ini terkait dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel).
"Independensi dan kerja wartawan harus tetap dijaga dan tidak boleh diganggu oleh pihak manapun," kata Ayyubi, Jumat, 10 Februari 2023. "Peretasan yang dialami Akbar Wijaya adalah bentuk ancaman terhadap kerja-kerja wartawan."
Pada 24 September 2022, Akbar Wijaya alias Jay, tiba-tiba keluar dari akun aplikasi Whatsapp-nya. Setiap kali ia berusaha masuk ke akunnya, ia tak memperoleh kode sandi sekali pakai (OTP/one time password) yang biasanya dikirimkan penyedia layanan nomor seluler melalui pesan singkat.
Jay pun tidak mendapatkan verifikasi melalui telepon. Ayyubi berujar hanya ada satu orang yang memiliki akses atas nomor telepon selulernya, yakni si pengguna. Syarat pendaftaran nomor telepon yakni menyertakan nomor KTP dan Kartu Keluarga.
"Artinya hanya satu orang yang boleh memiliki nomor itu, tapi kenapa ada pihak lain yang masuk ke nomor tersebut?" ujar Ayyubi. Penggugat mengklaim Telkomsel gagal menjaga nomor Jay sebagai pengguna kartu seluler.
Bahkan nomor Jay digunakan oleh orang lain di perangkat lain, pada waktu tertentu. Jay pun buka suara atas alasannya mengajukan gugatan perdata.
"Saya sangat ingin tahu penjelasan dari Telkomsel, apa yang sebetulnya terjadi. Kenapa saya sebagai konsumen bisa keluar akses begitu saja dan nomor saya dikuasai pihak lain?" ucap dia.
Jay menegaskan gugatan ini sebagai bukti bahwa siapapun di Republik Indonesia tak berhak merasa memiliki impunitas untuk melawan hukum. Peretasan terhadapnya adalah teror terang-terangan terhadap jurnalis.
Hingga berita ini diturunkan belum ada keterangan resmi dari pihak Telkomsel terkait gugatan yang dilayangkan jurnalis Narasi.
Berdasar Laporan Lembaga Bantuan Hukum Pers Tahun 2022, ada pergeseran upaya pembungkaman pers. "Biasanya" pembungkaman jurnalis berupa penghalangan wartawan dalam melaksanakan profesinya, tapi kini penyerangan dalam bentuk digital.
"Upaya tersebut bisa dikategorikan terorganisasi. Sebab pola serangan yang dilakukan ini terstruktur dan sistematis," kata Mulya Sarmono, pengacara LBH Pers, dalam acara peluncuran laporan tahunan, Rabu, 11 Januari 2023.
Hal itu bisa diketahui dari cara penyerang menggempur pers dari segala sisi. Mulai dari produk jurnalistik, para wartawan, hingga peretasan pada sistem medis siber. "Sehingga 'kill the messenger' kini menjadi populer untuk menggambarkan situasi itu," terang Mulya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky