tirto.id - Meski hari pencoblosan masih tiga bulan lebih lagi, tapi empat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Barat sudah aktif melakukan pendekatan kepada sejumlah pihak, salah satunya ke pesantren. Sebagai institusi pendidikan keagamaan yang posisinya kuat secara sosial, pesantren bukan hanya menjadi target kampanye tapi kadang juga alat kampanye dari masa ke masa.
Hari ini, pesantren di Jawa Barat, umumnya di Indonesia, terbagi menjadi dua jenis: tradisional dan modern. Secara jumlah, pesantren tradisional jauh lebih banyak daripada pesantren modern. Tokoh sentral di pesantren tradisional yang dihormati secara agama dan sosial adalah kiai.
Zaini Tamim AR dalam "Pesantren dan Politik: Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari" (Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 3 No. 2, November 2015) menjelaskan bahwa kepemimpinan kiai di pesantren terbilang unik, sebab memakai sistem kepemimpinan pra modern yang dibangun atas dasar kepercayaan.
“Relasi sosial antara kiai-ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Bukan karena patron-klien sebagaimana dilakukan masyarakat pada umumnya. Ketaatan santri kepada kiai-ulama lebih dikarenakan mengharap barokah,” tulisnya.
Berlomba Mendekati Pesantren
Ridwan Kamil pada Jumat, 16 Februari 2018, menulis caption di akun instagramnya yang berisi tentang dukungan ribuan santri terhadapnya dalam Pilkada Jabar 2018:
“Walaupun kakek saya, Alm. KH. Muhyiddin, pendiri Pesantren Pagelaran 1-8 sudah berpulang, namun almarhum ternyata masih menolong cucunya di urusan dunia ini. Ribuan murid-murid dan alumninya mulai turun gunung se-Jawa Barat memperjuangan pasangan #RINDU. Jazakallah. *kirim alfatihah,” tulisnya.
Sehari sebelumnya, masih di akun media sosial yang sama, Ridwan Kamil juga mengunggah beberapa foto dan video kunjungan ke Pesantren Cipulus di Purwakarta. Jangan heran jika konten-konten mengenai dunia pesantren masih akan muncul dalam kampanye Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum.
Sementara pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan pada 18 Februari 2018 mengunjungi Pesantren Ma’baul Ulum di Purwakarta. Pimpinan Pondok Pesantren tersebut, KH. Anhar—seperti dilansir elshinta.com, menyambutnya dengan sebuah pidato pendek yang disisipi metafora.
“Pemimpin harus menjadi penerang seperti matahari yang mempunyai ketegasan dan keadilan serta seperti rembulan yang menerangi kegelapan yang lembut hatinya dan InsyaAllah itu ada di Kang Hasan,” ujarnya.
Dalam usaha meraih simpati dari kalangan pesantren, pasangan ini pun sempat berjanji akan mengalokasikan anggaran khusus. Mereka menjanjikan dana sebesar Rp 1 triliun per tahun untuk masjid, pesantren, ustaz, ulama, marbot dan beasiswa untuk pasa santri jika mereka berhasil memenangkan Pilgub Jabar 2018.
“Ada beberapa suara yang disampaikan ke saya, dari ulama dan kiai atau dari kalangan pesantren. Mereka ingin adanya peningkatan kesejahteraan nasib pesantren dan masukan itu haru skami tindak lanjuti lewat program nyata yakni dengan mengalokasikan dana Rp 1 triliun per tahun untuk pembangunan kehidupan beragama di Jawa Barat,” kata Anton.
Ahmad Syaikhu yang merupakan Calon Wakil Gubernur dari pasangan nomor urut 3, pada Senin, 6 Februari 2018, mengunjungi Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Sukabumi. Kedatangannya disambut pimpinan pesantren, Abuya KH. Royanuddin A.S.
“Buya berpesan pada Pak Sudrajat dan Kang Syaikhu. Jika Allah menakdirkan menjadi pemimpin di Jawa Barat, pimpinlah Jawa Barat menuju kesejahteraan lahir batin dan selamat dunia juga akhirat,” kaya Buya seperti dilansir rmoljabar.com
Sementara Sudrajat, pasangan Ahmad Syaikhu, malah lebih dulu melakukan pendekatan kepada pesantren sebelum ada keputusan koalisi dan pasangan tersebut dideklarasikan. Pada 24 Desember 2017, Sudrajat melakukan safari politik dengan berkunjung ke Pesantren Al-Hikmah di Talun Kabupaten Cirebon dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kesepuhan di Kota Cirebon.
Dedi Mulyadi yang akhirnya dipasangkan dengan Deddy Mizwar, sudah lebih awal mengunjungi pesantren pada 4 Juni 2017. Di tengah konstelasi politik Jawa Barat yang waktu itu mulai menghangat, ia menghadiri undangan buka puasa bersama dari keluarga besar pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.
Dekati Pesantren: Raih Simpati dan Raup Suara?
Pendekatan ke pesantren yang dilakukan oleh para politikus jelang pemilu adalah pola yang berulang dan sama sekali bukan hal yang istimewa. Kunjungan tersebut jelas sebagai bagian dari usaha memperoleh dukungan suara.
“Mlebu pesantren kok nek ono butuhe (masuk pesantren hanya kalau ada perlu)," kata Mulyono Cebolek dalam Etnisitas dan Agama sebagai Isu Politik: Kampanye JK-Wiranto pada Pemilu 2009 (2014) karya Nina Widyawati (hlm. 179).
Nina menambahkan, bagi pendukung JK-Wiranto saat itu, pendekatan ke pesantren adalah proximity atau kesamaan sebagai sesama muslim yang akan menimbulkan symbolic sentiment untuk mendukung pasangan ini. Namun bagi para penentangnya malah menimbulkan resistensi.
Tokoh penting yang menjadi salah satu pendorong para politikus mendekati pesantren dan berusaha meraih simpati masyarakat adalah kiai. Pemilik dan pengelola pesantren ini bukan hanya mempunyai pengaruh yang besar di lingkungan lembaga pendidikannya, namun juga di masyarakat. Hal itu yang kemudian melahirkan pengaruh.
“Pesantren […] mewakili lembaga keislaman yang berpengaruh dalam pembangunan sosial umat Islam dan juga karena ia adalah lembaga penting tempat kiai menjalankan kekuasaannya. Memang tidak semua kiai memiliki pesantren, namun yang jelas adalah bahwa kiai yang memiliki pesantren mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada kiai yang tidak memilikinya,” kata Dr. Endang Turmudi dalam Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004; hlm. 28-29).
Endang menambahkan, pengaruh kiai jauh melebihi pengaruh ustaz. Jika seorang ustaz biasanya memiliki pengaruh lokal yang terbatas, kiai sebaliknya. Lewat pesantren yang dipimpinnya, seorang kiai membangun pola patronase yang menghubungkannya dengan santri dan juga masyarakat yang berada di luar desa atau kotanya sendiri.
“Lebih dari itu, pengaruh yang lebih luas dan pola kepemimpinan kiai yang lintas desa memudahkannya berhubungan dengan pihak-pihak pemerintah dan swasta. Kiai kadang-kadang juga memainkan peran perantara dalam mentransmisikan pesan-pesan pemerintah tentang pembangunan kepada masyarakat, dan masyarakat dapat lebih mudah menerima program pemerintah bila itu dikemukakan oleh seorang kiai,” tulis Endang (hlm. 31-32)
Namun, apakah benar para calon pemilih Islam dapat diraih simpatinya dengan cara melakukan kunjungan ke pesantren?
B.J. Bolland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971) yang dikutip Saidin Ernas dalam "Dampak Keterlibatan Pesantren dalam Politik: Studi Kasus Pesantren di Yogyakarta" (Jurnal Kontekstualita Vol. 25, No. 2, 2010) menyebutkan setidaknya ada tiga tipologi dalam berpolitik ketika dihadapkan dengan Islam: (1) ideologis, (2) kharismatik, (3) rasional.
“Dalam tipologi ideologis, umat Islam memosisikan berpolitik sama dengan beragam Islam, sehingga semangat pembelaan politik sama dengan semangat membela dan memiliki Islam. Memilih sebuah partai politik sama dengan memilih agama Islam, dan seterusnya ketaatan dalam politik sama dengan ketaatan menjalankan ajaran Islam,” tulis Bolland.
Sementara tipologi kharismatik adalah mengasumsikan pilihan umat Islam dengan berdasarkan sikap dan perilaku seseorang yang dikagumi di sekitarnya. Kiai berada di posisi ini, karena sebagai figur yang dihormati, apa yang dikatakan dan dilakukannya kerap menjadi rujukan masyarakat. Namun, kekaguman yang berlebihan seringkali membuat umat tidak mampu bersikap dan berpikir rasional.
Poin terakhir adalah kelompok masyarakat (pemilih) yang benar-benar didasarkan pada pandangan rasional. Dalam kelompok ini program calon pemimpin dan atau partai politik yang menjadi kunci.
“Memilih atau tidak memilih partai politik tertentu, dilihat dari kemampuan partai politik menawarkan program yang dapat memperbaiki atau memperjuangkan nasib rakyat,” tulis Bolland.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS