tirto.id - Jika Anda berkunjung ke pesantren, cobalah untuk sejenak melihat pakaian apa yang dominan dikenakan oleh para santri. Apa yang dikenakan? Celana panjang? Sarung? Begitu juga dengan kebiasaan menghadap atau berpapasan dengan pengurus pondok. Apakah bersalaman sampai mencium tangan? Atau hanya menyapa saja?
Secara sekilas, membedakan antara pesantren modern dan pesantren salaf itu sangat mudah. Bahkan sekalipun bagi orang awam. Kata salafi dalam istilah pesantren salaf tentu berbeda dengan makna salafi sebagai sebuah aliran. Sebab, ada beberapa makna dari kata "salaf." Secara etimologi, salaf artinya kelompok pendahulu atau generasi yang pernah hidup di era sebelum kita.
Secara terminologi sosial, istilah salaf berasal dari “Salaf as-Shalih” yang dimaksudkan pada tiga golongan generasi Muslim di periode awal kedatangan Islam. Pertama, Sahabat, atau orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad. Kedua, Tabi’in, yang berarti “pengikut”. Merupakan golongan generasi yang mengikuti sahabat Nabi tapi tidak mengalami masa kehidupan Nabi. Terakhir, Tabi’ut Tabi’in, generasi yang tidak mengalami masa kehidupan orang-orang yang pernah satu masa dengan Nabi, sehingga mereka mengikuti orang yang pernah semasa dengan dengan para Sahabat.
Legitimasi ini berdasarkan pada hadis Nabi dari riwayat Bukhari Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku (Sahabat), kemudian sesudahnya (Tabi’in), kemudian sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”
Istilah ini kemudian berkembang menjadi sebuah metode yang mengajarkan Islam tanpa tambahan maupun pengurangan. Sebagai metode atau ajaran kemudian dinamakan “salafiyyah”, pengikutnya dinamakan “salafi”.
Itulah kenapa aliran “Salafi” memiliki kencenderungan untuk punya semangat yang diklaim sebagai ajaran memurnikan Islam. Sebuah ajaran yang menghilangkan pendekatan-pendekatan pengetahuan yang berkembang, baik dari perkembangan umum maupun teologis. Bagi aliran ini, perkembangan harus diuji secara ketat (bahkan cenderung kolot) karena berpotensi menjadi bid’ah yang mengotori agama.
Istilah ini memang menjadi polemik karena golongan dengan istilah salafi kerap merasa sebagai satu-satunya penerus “Salaf as-Shalih”. Padahal, beberapa “Imam Mujtahid”—yang secara jelas diakui oleh ulama di seluruh dunia—seperti Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik, sampai Imam Abu Hanifah tidak pernah menyebut diri mereka maupun pengikutnya sebagai “salafi”.
Istilah ini baru populer ketika Hasan Al-Banna atau Imam Taqiyyudin mengklaim bahwa dia adalah kelompok salafi. Definisi baru pun lahir, bahwa salafi merupakan sekelompok orang yang mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami Islam. Pada akhirnya, kelompok ini kemudian mengeksklusifkan alirannya dan menganggap bahwa aliran lain sebagai golongan yang tidak murni. Inilah yang membuat adanya tegangan antara aliran yang menganggap dirinya “salafi” dengan golongan yang tidak.
Dari penjelasan tersebut, paling tidak, kategorisasi istilah pesantren salaf dengan modern bisa dilihat. Pesantren salaf cenderung masih mengedepankan pola pendidikan Islam tradisional dan pesantren modern yang lebih terbuka.
Dua kategori ini kemudian (juga) menggunakan istilah “salaf” dan menyebut “santri salafi” bagi santri yang belajar kitab-kitab Islam klasik, karena dianggap pengarang kitab-kitab yang dipelajari secara sanad terkoneksi dengan para golongan Tabiut Tabi’in.
Pesantren salaf hanya menyediakan pendidikan agama tanpa pendidikan formal. Contoh paling mudah adalah pesantren tersebut tidak memiliki sekolah formal sendiri, baik itu SMP maupun Madrasah Tsanawiyah atau SMA maupun Madrasah Aliyah. Yang ada hanya jadwal mengaji bagi santri-santrinya, entah mengaji kitab kuning maupun Alquran. Jika santri ingin pendidikan formal, biasanya dipersilakan untuk sekolah di luar lingkungan pesantren.
Pola pendidikan dalam pesanten salaf biasa digunakan adalah dengan sorogan atau bandongan. Dua istilah yang sangat akrab dengan santri salafi. Sorogan adalah pola pendidikan di mana seorang santri akan menghadap kepada gurunya satu per satu. Pada titik ini, guru menguji sejauh mana pemahaman para santri dalam pembacaan kitab kuning. Selain itu, cara ajar pembacaan Alquran juga menggunakan metode ini.
Metode berikutnya adalah bandongan, yang kurang lebih hampir mirip dengan pola pendidikan formal. Guru akan membacakan sebuah kitab lalu memberitahu terjemahannya. Santri akan menuliskan di kitab masing-masing dengan menulis “pegon”, sebuah tulisan arab dengan pelafalan bahasa Jawa. Istilah yang biasa dipakai adalah “jrendeli”, atau menulis huruf pegon kecil-kecil di bawah teks kitab kuning secara diagonal. Setelah di-jrendeli, guru akan menjelaskan makna-makna teks dari kitab kuning tersebut.
Pesantren modern biasanya memiliki sekolah formal dalam satu yayasan. Artinya, lulusan dari pesantren modern akan setara tingkatannya dengan seorang murid dari sekolah formal. Hanya saja, pengetahuan agama juga tetap jadi poin utama dalam pendidikan pesantren modern. Hal yang jamak ditemui di pesantren modern adalah pengutamaan kemampuan bahasa asing (Arab dan Inggris).
Di samping pesantren salaf dan modern, ada juga pesantren yang mengkombinasi keduanya: memiliki sekolah formal namun pola pendidikan agama masih menggunakan cara-cara pesantren salaf. Misalnya, santri akan belajar sekolah formal di pagi hari, di sore hari dan malam akan belajar pelajaran agama. Jadwal sudah dibikin sedemikian rupa oleh pesantren yang bersangkutan. Tidak seperti pesantren salaf tradisional yang hanya berkegiatan di waktu bakda subuh, kemudian dilanjutkan lagi bakda magrib.
Selain itu, ada juga identifikasi penyebutan nama pesantren salaf dengan modern. Pesantren salaf—atau pesantren yang dalam sejarah berdirinya sebagai pesantren salaf lebih dahulu kemudian berkembang jadi pesantren salaf-modern—cenderung disebut sesuai dengan nama daerah pesantren tersebut. Misalnya, Pesantren Tebuireng yang diambil dari nama dusun kecil di Jombang Jawa Timur.
Ada juga Pesantren Krapyak yang diambil dari nama kelurahan di Yogyakarta. Pesantren Lirboyo yang diambil dari nama dusun kecil di Kediri, atau Pesantren Kalibeber dari nama dusun di Wonosobo. Pesantren modern biasanya menggunakan nama sendiri, misalnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor di Ponorogo atau Pondok Pesantren Assalam di Surakarta.
Hubungan antara santri dengan guru juga punya pola berbeda antara santri modern dan salaf. Jika Anda berkunjung di pesantren salaf, sikap tawadu para santri di mata awam akan terasa berlebihan. Mereka misalnya, biasa berebut membenarkan letak sandal kiai, berebut menyalami kiai, atau bahkan berjalan menggunakan lutut ketika masuk ke kediaman kiai. Titah kiai, sama seperti titah raja, tidak bisa dibantah dan harus dipatuhi—bahkan sekalipun terdengar mustahil.
Bagi golongan santri salafi, guru atau kiai adalah sosok yang sangat dihormati karena dianggap mewarisi ilmu dari sanad Tabiut Tabi’in. Pada akhirnya, diharapkan ilmu tersebut akan turun juga kepada para santri dari sanad yang jelas. Hal tersebut akan jarang ditemui di pesantren modern yang tetap menghormati sosok kiai, tapi dilakukan dengan batas-batas sewajarnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani