tirto.id - Tarlim muda ingin sekali bisa menghafal Alquran. Bukan untuk kelihatan keren tentu saja. Pada era itu (sekitar akhir abad ke-19), hal pertama yang biasanya menjadi cita-cita seorang anak yang lahir dari keluarga religius adalah bisa menghafal Alquran, tidak ada lagi yang lain.
Tentu saja cita-cita Tarlim ini ada kaitannya dengan reputasi sang ayah, Kiai Chasan Adi, yang menjadi Demang di Wonogiri. Sadar bahwa suatu saat Tarlim akan punya tanggung jawab yang tak jauh beda, yakni mengajarkan ajaran ilmu agama ke masyarakat, cita-cita menghafal Alquran pun jadi target.
Usia Tarlim masih 8 tahun kala itu. Dari rumah keluarganya di Baturetno, Wonogiri, Tarlim berjalan kaki ke Pesantren Kadirejo, Karanganom, Klaten, yang berjarak sekitar ratusan kilometer. Perjalanan ini dipicu informasi bahwa di sana, di Kadirejo, ada seorang kiai yang pandai dan fasih mengajari ilmu Alquran. Namanya Kiai Ahmad.
Perlu beberapa hari kaki-kaki kecil itu untuk tiba di tujuan. Sesampainya di Pesantren Kadirejo, Tarlim langsung disambut Kiai Ahmad di depan pagar pesantren. Tanpa ditanya keperluannya apa, Tarlim muda langsung diperintah untuk menuju kamarnya.
Ke kamar santri seperti yang lain? Bukan. Kamar yang dimaksud Kiai Ahmad adalah bangunan reyot yang dulunya merupakan bekas kandang ayam. Sendirian, tanpa teman.
Tanpa bertanya apa-apa, Tarlim mengiyakan saja perintah Kiai Ahmad tanpa sempat menjelaskan apa maksud dan tujuan kedatangannya ke Kadirejo. Sekalipun belum diangkat sebagai murid, Tarlim muda merasa perlu untuk takzimserta menurut saja apapun yang dikatakan calon gurunya. Masih calon, belum benar-benar menjadi guru.
Roda waktu kemudian berjalan hampir satu abad kemudian. Di sebuah kelas, di sebuah pesantren di Surakarta, teman sekelas saya, mendadak dihajar habis-habisan oleh gurunya. Dengan menggunakan peci beludru hitam, muka teman saya ini dipukuli beberapa kali. Tidak terlalu sakit sebenarnya, tapi mukanya memerah. Wajar, sebab pasti malu betul rasanya.
Teman saya ini mencoba mengritisi beberapa kebijakan pondok pesantren tempat saya mengaji. Bukan karena kritiknya yang kemudian membuatnya dihajar habis-habisan, melainkan karena ia baru saja menyebut putra pengasuh pesantren saya ini tanpa embel-embel “Gus” atau “Kang” atau “Mas”. Ia langsung menyebut nama. Dalam istilah Jawa, ini namanya “njangkar”. Tidak sopan.
Tak pelak, begitu mendengarnya, guru saya yang sehari-harinya sangat santun, ramah, dan tidak pernah marah ini langsung naik pitam. Perubahan sifat ini benar-benar mengejutkan saya dan beberapa teman yang lain. Kami diam. Terkejut bukan main. Baru setelahnya, guru saya menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
“Sekalipun, misalnya, saya sama-sama tidak suka dengan beliau, tapi beliau adalah putra dari guru saya. Saya tidak akan biarkan murid saya memanggil namanya dengan ungkapan dan ekspresi tidak sopan begitu. Bapaknya itu guru saya. Guru ngaji saya. Hormat saya untuk guru, juga turun kepada anak-anaknya,” kata guru saya menjelaskan sembari mengatur nafas.
Mendengar itu, kami satu kelas langsung paham. Sebab kami semua tahu, betapa sakral hubungan guru-murid di pesantren. Ini tidak sama dengan hubungan guru-murid di sekolah-sekolah umum. Kesakralan yang terus akan dijaga sekalipun sang guru sudah tiada dan hanya menyisakan keturunannya.
Akhlak dan Adab Dahulu, Ilmu Kemudian
Di pesantren saya, dan mungkin di pesantren-pesantren lainnya, ada beberapa kitab yang tergolong wajib diajarkan kepada santri generasi pertama. Dua kitab yang paling penting ini di antaranya adalah Akhlaq lil Banin karya Syaikh Umar Baraja dan Ta’lim Muta’alim karya Syaikh Az-Zarnuji.
Dua kitab ini seperti buku kurikulum pendidikan di pesantren. Kitab yang pertama adalah ajaran mengenai bagaimana bersikap dengan baik. Menjaga akhlak dengan siapapun. Juga berisi mengenai anjuran bersikap santun dan memuliakan orang tua.
Sedangkan kitab kedua, secara garis besar merupakan ajaran bagaimana seorang murid harus bersikap kepada guru beserta ilmunya. Sikap hormat dan takzim. Penghormatan yang tidak hanya berhenti pada sosok gurunya, namun juga keturunan dan kerabat. Di sana juga ada ajaran untuk sering-seringlah berdiskusi, yang pada perkembangannya kemudian bisa kita lihat pada sistem Bahtsul Masail di kalangan pesantren.
Di pesantren hubungan guru murid mendapatkan porsi kajian tersendiri. Terutama untuk para santri yang baru mengenal dunia pesantren. Diajarkan secara kultural dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini dimaksudkan agar seorang santri diharuskan menjadi orang baik terlebih dahulu sebelum menjadi orang pandai. Mereka harus baik dulu akhlak dan perilakunya sebelum diisi dengan ilmu-ilmu agama yang lebih rumit. Agar ketika menyampaikan kebenaran ke masyarakat nantinya, si santri bisa melakukan dengan cara-cara yang baik, santun, dan tidak melukai hati orang lain. Jika pun masih sulit, tetap bisa bersabar dan tidak mudah menyerah menyampaikan kebenaran.
Mempelajari kitab Ta’lim muta’alim juga menjadi cerminan bahwa dalam mempelajari ilmu agama, tidak diperkenankan untuk mempelajarinya sendirian. Seseorang harus memutuskan untuk berguru kepada siapa. Ini merupakan upaya untuk menjaga sanad ilmu/guru agar tidak melenceng dari jalurnya. Persis seperti upaya merunut sanad hadis soheh (benar) atau dhoif (lemah).
Menjadi Kuli Bangunan
Setelah tiga hari tiga malam tidur di bangunan bekas kandang ayam, Kiai Ahmad akhirnya memanggil Tarlim ke kediamannya.
“Ada urusan apa kamu datang kemari?” tanya Kiai Ahmad.
“Mau nyantri, Kiai,” kata Tarlim.
“Baik. Kalau mau jadi santri. Aku ada syarat,” kata Kiai Ahmad.
Tarlim menyimak.
“Mulai besok, kamu bangun kamar mandi. Lengkap dengan sumur, bak mandi, sekaligus biliknya. Sendiri. Tidak boleh dibantu oleh siapapun,” perintah Kiai Ahmad.
Jika kita yang mendengar perintah ini, tentu saja kita akan menganggap ini perintah konyol. Bisa apa seorang anak kecil berusia 8 tahun disuruh bangun kamar mandi sendirian tanpa bantuan orang dewasa?
Lalu apa jawaban Tarlim?
“Baik, Kiai. Akan saya bangun kamar mandinya,” kata Tarlim sembari mengundurkan diri.
Tarlim benar-benar membangun kamar mandi itu sendirian. Beberapa peralatan dan bahan baku memang sudah ada, tapi tetap saja, Tarlim sendiri yang melubangi tanah, menatanya menjadi sumur, menyusun batu bata sebagai bak mandi. Tak ada satu pun santri lain yang berani membantu. Sebab ini adalah dhawuh (perintah) khusus dari Kiai Ahmad.
Setelah berjuang sendirian selama satu tahun lebih enam bulan, kamar mandi yang disyaratkan Kiai Ahmad itu akhirnya jadi.
“Baiklah, sekarang kamu diterima jadi santri,” kata Kiai Ahmad sembari mempersilakan Tarlim memulai pelajaran mengajinya. Cita-cita untuk menghafal Alquran pun sepertinya akan tercapai. Tarlim sudah barang tentu senang bukan kepalang.
Selama nyantri, Tarlim selalu mengisi bak mandi yang ia bangun sendiri. Sebab Tarlim tahu, kamar mandi ini selalu digunakan Kiai Ahmad dan keluarganya. Sebelum azan subuh berkumandang, diam-diam Tarlim akan menimba sumur di pagi buta, mengisi bak mandi sampai penuh. Lalu kabur sebelum ada orang lain yang melihatnya.
Sampai pada suatu ketika, setelah beberapa tahun menjadi santri, Kiai Ahmad memanggil Tarlim yang sedang menangis haru menyaksikan salah satu temannya, mampu menjadi penghafal Alquran pada usia 11 tahun. Kiai Ahmad mendekat agar suaranya bisa didengar jelas.
“Tarlim, sepertinya kamu tidak akan bisa menghafal Alquran. Sampai kapanpun kamu tidak bisa menjadi hafidz,” kata Kiai Ahmad.
Kata-kata yang benar-benar menyayat hati Tarlim kecil. Mengubah tangis harunya, menjadi tangis seorang anak yang keinginannya tidak akan terpenuhi. Sebab walau bagaimanapun juga Tarlim memang masih anak-anak. Terlebih kata-kata tersebut didengar dari guru mengajinya sendiri.
“Namun, bisa jadi anak-anakmu nanti yang akan jadi penghafal Alquran. Bukan kamu,” kata Kiai Ahmad mencoba menghibur Tarlim kecil.
Tarlim sebanarnya tidak sepenuhnya percaya akan kata-kata manis gurunya. Meski begitu, Tarlim tidak juga kembali ke rumahnya. Ia tetap mengaji dan tetap mengisi bak mandi Kiai Ahmad diam-diam. Bahkan, kali ini ia lakukan sembari berdoa.
Air yang tumpah membanjiri bak mandi yang sudah penuh, akan terus diisi oleh Tarlim karena larut dalam doanya. Mengharapkan bahwa semoga kelak, ilmunya bisa bermanfaat bagi siapa saja seperti air yang tumpah membanjir bak mandi. Sekalipun ia tahu, ia tidak akan bisa menghafal Alquran.
Bertahun-tahun kemudian Tarlim dewasa mengubah namanya jadi Abdul Mannan. Menetap di Mangkuyudan, Surakarta, Tarlim dewasa akhirnya diminta mengajar ngaji karyawan-karyawan pabrik batik milik Ahmad Shofawi, temannya saat sama-sama mengaji di Pesantren Kiai Ahmad, Kadirejo.
Pada tahun 1930, keduanya lalu mendirikan sebuah pesantren sendiri. Tarlim berkeluarga, mempunyai tiga putra dan tiga putri. Enam anak ini di luar dugaan, benar-benar hafal Alquran di usia mereka yang masih belia. Persis seperti kata-kata yang disampaikan Kiai Ahmad untuk menghibur tangisnya saat kecil. Salah satu putranya, Kiai Umar Abdul Mannan, bahkan menjadi pengasuh pertama saat pesantren ini dibuka untuk publik.
Dari seorang kuli yang membangun kamar mandi, Tarlim berubah menjadi kiai yang mendirikan pesantren. Pesantren yang kemudian dinamai “Al Muayyad”. Di sanalah saya akhirnya mengenal Ta’lim muta’alim dan Akhlaq lil Banin, sekaligus menjadi saksi kisah ini yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi sebagai contoh sempurna dari ajaran dua kitab tersebut.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawi", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS