tirto.id - Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (juga biasa ditulis Ratu Langie atau Ratulangie) muda pergi jauh-jauh ke negeri Belanda dengan niat menunut ilmu. Tujuannya sederhana saja: bisa diterima dan mendapat gelar dari jurusan matematika di Vrije Universiteit Amsterdam.
Bekal pendidikan yang Ratulangi punya dari Hindia Belanda cukup mumpuni: sebuah ijazah Lager Onderwijs (setingkat SMA) dan Middlebare Acte (setingkat diploma). Namun, sesampainya di sana, tujuan Ratulangi hampir tidak terwujud. Vrije Universiteit Amsterdam menolak memberikan gelar kepada Ratulangi. Alasannya, Ratulangi tidak mengantongi ijazah Hogere Burgerschool (HBS) atau Algemene Middlebare School (AMS).
Ditolak Amsterdam tidak membuat Ratulangi patah arang. J.H. Abendanon, seorang sosialis Belanda yang juga kawan pena R.A. Kartini, membantu Ratulangi pindah ke Zurich University. Di Zurich, Ratulangi lulus sebagai doktor filsafat alam bidang matematika dan menjadi orang Indonesia, jika boleh disebut demikian, pertama bergelar doktor matematika.
Dari Landstreek van Manado ke Minahasa
Ratulangi lahir dari keluarga bangsawan Tondano, sebuah daerah di ujung utara pulau Sulawesi yang sejak abad ke-18 masuk dalam wilayah Minahasa.
Sebelum dikenal dengan nama Minahasa, wilayah itu disebut landstreek van Manado. Pada 1679, para tokoh di Sulawesi bagian utara mengadakan perjanjian dengan raja setempat dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menyingkirkan Spanyol. Setelah Spanyol tersingkir, guna mencegah dualisme kepemimpinan, traktat tapal batas pada 1756 membagi wilayah kekuasaan para raja hanya di Bolaang dan Mangondow, sementara VOC mendapat Minahasa.
Minahasa sendiri, secara harfiah, berarti "persatuan, menjadi satu". Semasa VOC, wilayah ini berisi 27 unit-unit politik terpisah yang disebut walak. Disebut terpisah karena VOC tidak pernah sanggup mengangkat seorang pemimpin yang berkuasa penuh di Minahasa karena peperangan antar-walak.
Ini baru berubah sejak VOC, kompeni yang disebut nilai perusahaannya setara 20 perusahaan modern semisal Facebook, Amazon, dan Apple itu, mengalihkan kekuasaannya atas Nusantara ke pemerintah Belanda.
Pada 1809, Belanda memberantas pemberontakan sejumlah walak di Tondano. Kemudian, ia membuka perkebunan kopi luas-luas di Minahasa sejak 1822. Hal tersebut membuat administrasi kolonial semakin menancap di Minahasa: para walak kini dilatih, ditugaskan, dan dibayar sebagai pegawai kolonial Belanda.
Apabila Ratulangi bukan keturunan bangsawan, mungkin dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di Eropa atau boleh jadi dia berakhir sebagai pekerja di kebun-kebun kopi yang dibuka Belanda itu.
“De wedergeboorte een volk”
Benedict Anderson menyampaikan dalam Imagined Communities (1983) bahwa asumsi yang menyatakan negara kolonial, secara menyeluruh, menentukan batas-batas nasionalisme anti-kolonial tidak berlaku secara umum. Salah satu fenomena yang membantah asumsi tersebut ialah Indocina. Di wilayah jajahan Perancis tersebut, lahir tiga nasion yang berdiri sebagai negara terpisah dan kerap saling tempur: Vietnam, Kamboja, dan Laos.
Nasionalisme regional seperti itu sejatinya juga muncul di Hindia Belanda, tak terkecuali di Minahasa. Namun, di wilayah ini, sebagaimana dituliskan secara rinci dalam "Nationalism and Regionalism in Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies" (1992) oleh David Henley, nasionalisme modern dengan akar historis otonom muncul bersamaan, ketimbang sebagai komponen atau reaksi, atas nasionalisme Indonesia.
Menurut Henley, kristenisasi dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda menjadi dua hal penting bagi kemunculan Minahasa sebagai sebuah nasion. Henley sendiri mencirikan nasion sebagai perceived community yang dibatasi sebuah wilayah tanah air dan dijiwai dengan suatu rangkaian gagasan politik dan sosial yang kuat.
“Gagasan tersebut boleh jadi diekspresikan dalam istilah-istilah keagamaan, namun ia hampir selalu berisi tujuan-tujuan sekuler mengenai persatuan sosial, kemajuan pemikiran dan material, serta kemerdekaan bersama dalam ruang politik dan budaya,” sebut Henley.
Datang dan dianutnya Kristen oleh orang-orang Minahasa mulai terjadi sejak era Spanyol dan VOC. Namun, orang Minahasa secara masif hijrah memeluk Kristen pada periode 1831-1891. Ini terwujud berkat peran lembaga misionaris Belanda Nederlandsch Zendeling Genootschaap (NZG).
Rupanya, iman Kristen yang diajarkan NZG berdampak besar bagi Minahasa. Ajaran NZG menyerukan bahwa orang-orang Minahasa bersaudara. Ia juga secara perlahan memberi landasan moral untuk menghentikan tradisi terdahulu, seperti berburu kepala musuh. Ini kemudian disebarkan melalui institusi pendidikan gereja dan koran Tjahaja Sijang (terbit pertama kali pada 1868) yang dikelola NZG.
"NZG meyakini mereka tidak sedang menciptakan Minahasa, namun menciptakannya kembali dalam nafas Kristen. De wedergeboorte een volk—kelahiran kembali masyarakat—adalah cara seorang misionaris menggambar proses tersebut," sebut Henley.
Sedangkan kebijakan pemerintah kolonial Belanda berperan dalam menciptakan elite-elite baru keluarga bangsawan di Minahasa. Guna mempertahankan status sosial mereka, para keluarga elit tersebut, bahkan yang berbeda walak, saling mengawinkan anggota keluarga. Komunikasi antar-walak pun berkembang lebih jauh dengan dipakainya bahasa Melayu dalam birokrasi dan dibangunnya jalan aspal.
Setengah Hati untuk “Eurasia di Hindia”
Gereja dan pemerintah kolonial boleh jadi membuat Minahasa maju. Pada 1930, Ratulangi adalah satu dari separuh warga Minahasa yang bisa membaca. Sementara itu, satu dari delapan di antaranya hidup di luar Minahasa. Di sana, mereka berkesempatan menjadi juru tulis pemerintah, pengawas perkebunan, polisi, dan asisten misionaris.
Kesempatan tersebut membuat orang-orang Minahasa dirasa lebih maju dan terkenal dibanding pribumi lain di Hindia Belanda, sampai-sampai mereka disebut "Eurasia di Hindia".
Di satu sisi, kesempatan tersebut memunculkan narasi ekspansionis dalam nasionalisme Minahasa. Sepanjang tahun 1914-1920, Sam Ratulangi menyerukan pénétration pacifique alias penetrasi damai Sulawesi oleh orang-orang Minahasa. Tujuan utamanya ialah asimilasi menyeluruh Sulawesi bagian tengah dan utara ke dalam Minahasa.
Beberapa tahun sebelumnya, rasa ekslusif orang-orang Minahasa pun sudah terlihat. Pada 1909, orang-orang Minahasa yang bergabung di tentara Hindia Belanda mendirikan organisasi nasionalis Minahasa pertama bernama Perserikatan Minahasa. Kemunculan organisasi ini dilandasi status tentara Minahasa yang lebih tinggi dari tentara pribumi lainnya dan keinginan untuk turut setara dengan tentara Eropa.
Perserikatan itu semakin lama kian berkembang. Orang-orang sipil dari Minahasa pun kemudian ramai-ramai menjadi anggota sekadar mendukung Perserikatan Minahasa, tak terkecuali Sam Ratulangi.
"Ada perasaan kebangsaan, suatu kebangsaan Minahasa. Semua hal terkait Minahasa, semua yang melibatkan suatu gagasan kebangsaan, dipusatkan di Perserikatan Minahasa," sebut Sam Ratulangi.
Namun, di sisi lain, orang-orang Minahasa sebenarnya tetap dianggap warga kelas dua di tanah airnya sendiri. Ini dapat dilihat dari pernyataan para misionaris dan pegawai asal Minahasa.
Lambertus Mangindaan adalah pegawai NZG yang berambisi menjadi seorang misionaris. Namun, atasannya yang seorang Eropa membuatnya frustrasi. Pada 1873, Mangindaan menulis artikel sejarah pemberontakan Tondano 1809. Dia bilang pemberontakan tersebut sebagai hasrat rakyat untuk merdeka.
Sedangkan A.L. Woworuntu, seorang pensiunan pegawai di Minahasa, pada 1891 membuat petisi berisi tuntutan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia untuk menginvestigasi Residen Manado M.C.E. Stakman yang kebijakan pajak dan sistem kerja korvenya ditentang banyak petani dan pimpinan walak. Dalam petisi tersebut, Woworuntu menyebut, "atas nama rakyat Minahasa yang saya bangga menjadi bagian darinya."