tirto.id - Mulanya adalah dugaan: ada rumah prostitusi di Desa Ponteh, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura. Laskar Pembela Islam (LPI), selaku organisasi di bawah otoritas Front Pembela Islam (FPI), kemudian melakukan aksi penyisiran atau yang akrab diistilahkan sweeping pada hari Jumat (19/1/2018).
Dalih yang diungkap Panglima LPI Madura, Abd Aziz Muhammad Syahid, adalah keinginan agar Kabupaten Pamekasan tak berubah menjadi menjadi tempat maksiat. Pamekasan, katanya sebagaimana dikutip Antara, merupakan kabupaten di Pulau Madura yang telah memiliki kebijakan politik dalam menerapkan syariat Islam melalui program gerakan pembangunan masyarakat Islami (gerbang salam).
Aksi penyisiran berubah menjadi menegangkan sebab LPI dinilai warga salah sasaran, kemudian timbullah bentrok sebagai buntut dari aksi perlawanan warga. Hasilnya, enam mobil LPI yang dirusak warga saat masuk tanpa izin ke rumah yang ditengarai sebagai tempat prostitusi. Warga Ponteh tak terima anggota-anggota LPI melakukan penggeledahan tanpa izin, dan lebih lanjut lagi, bukan sebagai pihak yang berwenang.
Kapolres Pamekasan AKBP Teguh Wibowo pada Sabtu (20/1/2018) menyatakan telah mengantongi barang bukti dan mengindentifikasi koordinator pihak-pihak yang bentrok. Selain kerusakan properti, sejumlah anggota LPI juga dilaporkan mengalami luka-luka. Abd Aziz mengklaim lima anak buahnya dibawa ke rumah sakit dengan kondisi ada yang patah tulang, bocor kepala, dan gigi rontok.
Sosiolog UNY Amika Wardhana melihat situasi di Pamekasan berangkat dari tindakan pelanggaran hukum LPI yang kemudian melahirkan pelanggaran hukum lanjutan sebagai sebuah reaksi. Pemerhati multikulturalisme dan gerakan Islamis di Indonesia ini kemudian mempertanyakan ketegasan negara, apakah akan mengusutnya dengan tuntas atau tidak. Ketegasan diperlukan agar kasus yang serupa tak terjadi lagi ke depannya.
“Kadang kan ujung-ujungnya damai, itu kemudian membuat masalah yang sebenarnya tak terselesaikan,” katanya saat dihubungi Tirto, Selasa (23/1/2018).
Amika menyebut istilah dalam disiplin Sosiologi, “anomie”, untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Kondisi tersebut merujuk pada ketidakjelasan aturan hukum yang seharusnya ditegakkan. Aksi LPI, FPI, atau ormas serupa ia khawatirkan akan menjadikan Indonesia sebagai “masyarakat tanpa hukum” sehingga pelaku selalu merasa punya celah untuk menegakkan kebenaran versinya—meski hanya berdasarkan tuduhan semata dan harus melawan otoritas.
“Menurut saya, usai reformasi, pemerintah gamang untuk menindak sesuatu yang salah, dan yang salah punya pendukung yang banyak, akhirnya menjadi masalah kita semua,” jelasnya.
“Kelompok seperti FPI dan yang lain-lain itu punya misi politik untuk mengubah tatanan masyarakat yang cenderung sekuler dan plural menjadi lebih konservatif yang diatur oleh satu tatanan agama. Usaha ini sah-sah saja, namun harusnya sejalan dengan tataran hukum yang ada. Sah-sah saja berkampanye, tapi kalo menggunakan kekerasan atas dasar ingin mengatur kelompok lain, nah itu istilahnya off-side.”
FPI kerap dipandang sebagai ancaman bagi warga yang memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Dalam isu pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, misalnya, FPI menjadi aktor bagi 16 kasus sepanjang tahun 2016 menurut catatan Setara Institute. Sementara jaringan pendukung kebebasan berekspresi Asia Tenggara, SAFENet, menyatakan aksi persekusi yang dilakukan organisasi masyarakat (ormas) serupa FPI cukup mengkhawatirkan sepanjang tahun 2017.
FPI adalah salah satu organisasi muslim yang hadir dengan memanfaatkan ruang gerak politik yang lebih luas setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Studi Institute Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik (2000) menyebut Kerusuhan Ketapang pada November 1998 merupakan debut FPI di Indonesia. Setelah pada pertengahan Desember 1999 menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menuntut ditutupnya tempat-tempat maksiat pada bulan puasa, daya tawar mereka makin naik.
Sayangnya aksi kekerasan atas “amar ma'ruf nahi mungkar” versi FPI berlaku bak bumerang. Pemimpin FPI Rizieq Shihab sampai pernah dipenjara dua kali. Pada 2003 ia divonis 7 bulan karena menghasut dan melawan aparat keamanan dalam perusakan sejumlah tempat hiburan di Jakarta. Kedua, pada tahun 2008, Rizieq dibui 1 tahun 6 bulan karena terbukti bersalah dalam kasus penyerangan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas.
Rekam jejak FPI bercirikan vigilante. Tak ayal mereka kerap mendapat penolakan untuk mendirikan cabang maupun mengadakan pengajian di daerah-daerah. Merujuk arsip Tempo, misalnya, pada Sabtu pagi tanggal 11 Februari 2012 rombongan pimpinan FPI berangkat ke Palangkaraya untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus membuka cabang organisasi di Kalimantan Tengah.
Baru sampai Bandara Tjilik Riwut, rombongan yang menaiki pesawat Sriwijaya itu dihadang oleh ratusan warga suku Dayak yang mengenakan ikat kepala dan membawa senjata tradisional tombak dan mandau. Mereka ingin mengusir rombongan dan tak ingin FPI mendirikan cabang organisasi atau mengadakan acara di Kalimantan Tengah.
Bandara kerap dijadikan tempat massa anti-FPI untuk melancarkan aksinya. Pada Selasa, 26 November 2013, Forum Anak Nagari (Forkan) Padang menolak kedatangan Rizieq Shihab di Bandara Internasional Minangkabau. Dalam arsip Sindonews, Forkan menolak Rizieq karena menyebarkan isu 'Kristenisasi' tak jelas melalui penolakan investasi. Mereka amat ingin daerahnya damai tanpa ada provokasi, sampai perlu mengecek kendaraan-kendaraan yang keluar dari bandara.
Rizieq pernah ditolak di Demak dengan alasan Demak adalah basis ahlussunnah wal jama’ah, yakni pada Mei 2014, di mana penolakan disampaikan oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU. Pada Desember 2015 kedatangan FPI ke Purwakarta ditentang banyak warga termasuk ormas Forum Bersama Masyarakat Sunda dan Aliansi Masyarakat Sunda. Penolakan yang sama diungkapkan 15 ormas di Banyumas pada pertengahan bulan Februari 2016.
Di Bali ada dua aksi anti-FPI yang terjadi pada awal tahun 2017. Pada awal Januari ormas lintas agama di Bali menggelar apel Kebhinekaan NKRI di Lapangan Niti Praja Lumintang, Denpasar, untuk menolak FPI. Mereka tak ingin keharmonisan antarumat beragama di Pulau Dewata diganggu. Bulan berikutnya ormas lintas agama lain atas nama Komponen Masyarakat Bali bersikap lebih tegas dalam aksi di Lapangan Puputan, Niti Mandala, Renon, Denpasar: bubarkan FPI.
Amika Wardhana punya sikap khusus soal tuntutan pembubaran FPI. Menurutnya harus dikembalikan ke supremasi hukum yang menilai apakah memang FPI melanggar aturan yang disepakati bersama? Hal ini menurutnya penting agar meski massa punya tuntutan tetapi negara harus tetap berpegang pada konstitusi, bukannya ramalan, perkiraan, atau perasaan.
"Penegakan kebenaran" yang dilakukan FPI, LPI, atau ormas-ormas konservatif Islam lainnya juga perlu diubah jika ingin mendapat hasil maksimal tanpa harus mengorbankan kelompok lain. Tawaran Amika yakni berjuang melalui jalur politik dan legal formal agar peraturan daerah hingga undang-undang yang diloloskan bisa memenuhi aspirasi organisasi.
Kekerasan, dengan demikian, haram dilakukan oleh FPI/LPI atau kelompok anti-FPI/LPI. Kekerasan, baginya, hanya akan menimbulkan rangkaian kekerasan lain—yang tentu saja akan menyeret banyak korban tak bersalah sebagaimana yang terjadi di Pamekasan.
Selain jalan legal, perlawanan oleh pihak-pihak yang anti-FPI juga bisa bersifat kultural. Antara lain dengan mengintensifkan pendidikan tentang perdamaian hingga toleransi di akar rumput, melalui media-media yang menjangkau publik secara luas.
“Jadi ada persaingan ide secara terbuka. Tapi tetap tidak boleh ada kekerasan atas dasar sikap paling berhak mengatur.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf