tirto.id - Akun media sosial milik Front Pembela Islam (FPI) mulai hilang dari peredaran sejak diblokir pengelola jaringan media sosial Facebook. Pemblokiran sudah berjalan sejak Selasa, 19 Desember 2017. Situasi inilah yang membuat FPI berencana berdemonstrasi ke Kantor Facebook Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informasi pada Senin, 25 Desember 2017.
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia Alissa Wahid menilai akun media sosial milik FPI sebenarnya tidak perlu diblokir. Selama tidak ditemukan pernyataan yang menghasut orang melakukan tindak kekerasan, pemblokiran harusnya bisa dihindari.
Alisa mengatakan, Facebook atau Twitter punya aturan global terhadap konten-konten yang berisi ekstremisme dan terorisme. Alisa menyebut dirinya tak tahu apakah konten milik FPI terkualifikasi mengandung unsur ekstremisme sehingga diblokir.
“Saya tidak tahu apa yang sebetulnya dilakukan akun-akun milik FPI tersebut. Jangan-jangan memenuhi syarat tersebut,” ujar Alissa kepada Tirto, saat ditemui selepas peluncuran buku Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2017).
Putri kedua presiden Indonesia keempat, Abdurrachman Wahid itu memberi contoh apa yang dia maksud sebagai tindakan menghasut orang melakukan kekerasan. Seperti ajakan berkumpul pada jam dan lokasi tertentu guna meminta pertanggungjawaban seseorang mengenai ucapannya tentang Ketua FPI Rizieq Shihab.
Hasutan ini menimbulkan orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam hal ini, kata Alisa, administrator akun yang menghasutlah yang perlu ditindak lantaran hasutannya membuat orang berbuat kekerasan.
“Karena hasutan untuk melakukan kekerasan itu adalah bentuk kekerasan,” imbuh dia.
Alisa juga menjelaskan jika hasutan berbeda dengan kritik terhadap pemerintah. Dua hal ini harus dibedakan lantaran punya dua tujuan berbeda. Hasutan punya syarat khusus yakni bertujuan menghilangkan penghidupan atas dasar ras dan identitas. Ia kembali memberi contoh jika orang mengkritisi almarhum Gus Dur dalam bentuk apa pun tak boleh dipenjara.
“Kalau [akun] itu mengkritik pemerintah atau pihak lain, menurut saya tidak apa-apa. Kita harus membedakan hasutan untuk melakukan kekerasan dengan hasutan kebencian,” ujar Alissa.
Oleh karena itu, Alisa menganggap pernyataan yang dilontarkan Sekjen DPD FPI DKI Jakarta, Novel Bamukmin, yang ingin memboikot Facebook, WhatsApp, dan media sosial lainnya pada 25 Desember 2017, sebagai hal biasa saja. Ia menilai, boikot itu sebagai bentuk ekspresi dari gerakan sosial.
“Ya, enggak apa-apa. Itu, kan, gerakan sosial. Asal tidak melanggar hukum, menurut saya boleh saja,” kata Alissa.
Kontesk Pemblokiran FPI
Berdasarkan penelusuran Tirto, akun Facebook FPI sudah hilang dari platform tersebut. Pencarian “Front Pembela Islam” menghasilkan page atau halaman “Anti Front Pembela Islam” pada daftar pencarian pertama.
Twitter pun serupa. Kata kunci sama yang digunakan untuk pencarian hanya menghasilkan akun-akun kloningan dengan pengikut yang sedikit. Berbanding terbalik dengan nama besar yang dimiliki FPI.
Kabar diblokirnya akun-akun media sosial ini termuat kali pertama atas poster yang diunggah simpatisan FPI ke Twitter. Dalam poster tersebut, mereka mempertanyakan mengapa akun-akun yang berasosiasi dengan FPI diblokir. Lengkap dengan tangkapan layar yang menyatakan akun diblokir dan tak bisa login.
Dalam poster itu juga simpatisan FPI mengajak untuk mendatangi kantor perwakilan Facebook di Indonesia. Tepatnya di Capital Place, di daerah Gatot Subroto. Selain ajakan memprotes, simpatisan FPI itu mengajak “saintis muslim” membuat media sosialnya sendiri.
Pemblokiran akun-akun yang terkait dengan FPI di media sosial bukan kali pertama terjadi. Pada pertengahan Januari 2017 lalu, tiga akun resmi yang berasosiasi dengan FPI yakni @DPP_FPI, @HumasFPI, dan @syihabrizieq, diblokir oleh Twitter.
Pada saat itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika membantah bahwa merekalah yang melakukan pemblokiran. Protes pengguna media sosial ditengarai merupakan sebab pemblokiran yang menimpa 3 akun resmi itu.
Aturan Main FB dan Twitter
Soal pemblokiran ini, Twitter memiliki ketentuan mengenai ujaran kekerasan. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Twitter (Twitter Rules) yang menyatakan pengguna Twitter tidak boleh membuat ancaman kekerasan atau keinginan khusus untuk menyakiti fisik, kematian, atau penyakit seseorang atau sekelompok orang.
“Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, mengancam atau mempromosikan terorisme. Anda juga mungkin tidak berafiliasi dengan organisasi yang - baik dengan pernyataan atau aktivitas mereka sendiri baik di dalam maupun di luar platform - menggunakan atau mempromosikan kekerasan terhadap warga sipil untuk melanjutkan penyebabnya,” sebut Peraturan Twitter.
Secara khusus Twitter menyebut akan memberlakukan aturan tersebut terhadap akun-akun yang terafiliasi dengan organisasi yang tergolong melakukan tindakan di atas pada 18 Desember 2017.
Bersama dengan Kebijakan Privasi (privacy policy) dan Persyaratan Layanan (Terms of Service), Peraturan Twitter mengikat para penggunanya dalam "Perjanjian Pengguna Twitter" yang mengatur akses pengguna terhadap dan penggunaan layanan Twitter.
Bagi mereka yang tidak melakukannya, Twitter bakal memberi sanksi mulai dari mengharuskan penggunanya menghapus konten, membatasi kemampuan pengguna untuk mencuit atau berinteraksi dengan pengguna Twitter lainnya secara sementara, memverifikasi kepemilikan akun dengan nomor telepon atau alamat email, hingga memblokir akun secara permanen.
Sedangkan Standar Komunitas Facebook menyebut akan menghapus ungkapan kebencian yang mencakup konten yang secara langsung menyerang seseorang berdasarkan ras, suku, asal-usul, kebangsaan, keyakinan beragama, orientasi seksual, jenis kelamin, gender, atau identitas gender, atau cacat atau penyakit serius.
“Organisasi dan orang yang khusus mempromosikan kebencian terhadap grup yang dilindungi ini tidak diperbolehkan berada di Facebook,” sebut Facebook.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Mufti Sholih