Menuju konten utama

Jalur-jalur Mati Kereta Api

Bertambahnya jumlah mobil dan memanjangnya jalan raya beraspal, merupakan salah satu penyebab matinya jalur kereta api beserta stasiun-stasiunnya di wilayah tertentu.

Jalur-jalur Mati Kereta Api
Pekerja menjemur kain rayon untuk sarung pantai di sekitar jalur rel kereta api di Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Maulana Surya

tirto.id - Dengan banyaknya komoditas hasil bumi yang harus diperdagangkan, pemerintah kolonial di Hindia Belanda harus membangun rel kereta api. Setelah selesainya Perang Jawa (1825-1830) kendaraan darat tercepat dan bisa muat banyak barang tak ada lain kereta api. Kereta yang ditarik hewan tidak efisien untuk jarak jauh. Semakin cepat barang diangkut semakin cepat pula barang terjual. Sudah pasti dari penjualannya, pemerintah kolonial juga dapat banyak bagian.

Sebelum Tanam Paksa selesai pada 1870, jalur rel kereta api sudah mulai dibangun di Sumatera dan Jawa. Jalur-jalur itu mampu menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa di awal-awal abad XX.

Jalur rel kereta api di Jawa biasanya dibangun tak jauh dari jalur jalan tanah yang lebih dulu ada. Termasuk mengikuti juga Jalan Raya Pos yang merupakan mega proyek gila Deandels. Jalur kereta api juga melintasi kota-kota yang dilewati Jalan Raya Pos tersebut. Kota-kota di Pantai Utara Jawa (Pantura) seperti Cirebon, Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang, Cepu, Bojonegoro, Lamongan merupakan kota-kota yang dilewati jalur kereta api jurusan Jakarta-Surabaya.

Kota-kota di pesisir selatan Jawa juga dilewati jalur rel kereta api. Kereta api yang menghubungkan Jakarta-Yogyakarta, juga Yogyakarta-Jember dan Yogyakarta Bandung melewati kota-kota di selatan Pulau Jawa itu. Jalur-jalur kereta api yang tergolong panjang itu masih aktif. Sementara untuk jalur pendek cenderung sepi dan banyak yang ditutup. Stasiun-stasiun yang dilewati akhirnya juga ikut mati.

Jalur-jalur Mati

Rel-rel kereta api yang sudah dibangun itu tidak semuanya selalu aktif. Popularitasnya masih kalah dari bus angkutan umum kecil dan bus, yang setiap waktu selalu ada. Berbeda dengan kereta api yang datangnya hanya secara berkala. Sejumlah jalur akhirnya mati. Apalagi kemudian ada gempa yang membuat jalur-jalur kereta api itu rusak dan tidak bisa dilewati.

Menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ada sekitar 3.343 km jalur kereta yang sudah lama tidak dipergunakan di Jawa dan Sumatera, dari total 8.159 km. Jadi sekitar 40 persen dari jalur yang ada saat ini tak beroperasi. Sementara untuk Jawa dan Madura, menurut pakar transportasi Djoko Setijowarno, terdapat sekitar 2.140 km jalur kereta non aktif yang tersebar mulai Banten hingga Pulau Madura.

Di Pulau Jawa, setidaknya terdapat 91 jalur kereta api yang sudah mati. Di Sumatera terdapat 13 jalur yang tidak aktif lagi. Salah satu jalur panjang, yang dibangun Belanda, tetapi tak aktif lagi adalah Yogyakarta ke Secang di Pulau Jawa.

Saat ini, akses perjalanan melintasi Yogyakarta-Semarang sangatlah mudah. Di siang bolong angkutan umum seperti bis selalu melintasi jalan poros Yogyakarta-Semarang. Dulunya, kereta-kereta api dari Stasiun Tugu atau Lempuyangan di Yogyakarta lalu melewati halte-halte dan stasiun di kota kecamatan seperti Mlati, Beran, Medari, Tempel, Muntilan, Pabelan, Mertoyudan, Magelang kota, Payaman, Secang, Candi Umbul, Grabag, stasiun Bedono, Jambu, Ambarawa, Tuntang, Kedungjati lalu berakhir di stasiun Semarang. Sebelum jalur ini ditutup di tahun 1976, kereta api yang diaktifkan adalah Taruna Ekspres dan Borobudur Ekspres.

Jalur panjang kereta api yang tidak aktif selain yang melintasi kota-kota di antara Semarang dengan Yogyakarta adalah jalur Panjang-Prabumulih di Sumatera sepanjang 324 km melintasi Sumatera Selatan dan Lampung. Dari Prabumulih, kereta ini melintasi stasiun Peninjawan, Tigagajah, Baturaja, Martapura, Blambanganumpu, Negeri Agung, Negara Ratu, Kotabumi, Rengas, Branti, Tanjungkarang, Pidada dan berakhir Panjang. Di jalur ini biasanya kereta api pengangkut batubara dari Sumatra Selatan sering melintas untuk ke Pelabuhan Panjang.

Jalur-jalur pendek yang jumlahnya banyak kebanyakan telah mati. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dulu pernah ada kereta api dari hingga ke Palbapang, Kabupaten Bantul. Bekas-bekas jalur-jalurnya nyaris tak bersisa. Tidak aktifnya jalur, tentu berpengaruh pada aset vital KAI, yakni rel-rel yang mudah sekali untuk dicuri sebagai besi-besi tua kiloan. Di masa pendudukan Jepang, beberapa jalur rel kereta api yang dibangun orang-orang Belanda dengan keringat orang-orang Indonesia, dengan paksa dibongkar atas kehendak saudara Dai Nippon Jepang. Rel-rel tersebut lalu dipindahkan ke Birma.

Stasiun-stasiunnya Pun Hilang

Jalur kereta api yang tidak aktif tentu membuat stasiun-stasiunnya tidak aktif. Di jalur yang masih aktif pun, karena perjalanan rute jarak dekat sepi, beberapa stasiun yang di bangun lebih dari seabad silam itu mulai tidak terawat.

Stasiun tertua di Indonesia, Kemijen, termasuk yang sudah tidak aktif lagi. Stasiun di Semarang Timur itu dibuka sejak 1868, tetapi sudah ditutup pada 1914. Menurut bagian Pelestarian dan Aset PT KAI, terdapat 560 stasiun di Indonesia. Menurut data dari KAI juga, dari jumlah total stasiun tersebut 187 diantara non aktif. Umumnya adalah stasiun-stasiun kecil.

Di antara stasiun yang tidak aktif itu sudah rusak, hilang dan menjadi bangunan. Sejauh ini pihak KAI memang berusaha memugar puluhan museum. Dengan harapan bisa menjadi tempat wisata.

Di bekas jalur antara Semarang ke Yogyakarta, Stasiun Bedono jauh lebih beruntung nasibnya ketimbang Stasiun Beran, yang sudah jadi areal koramil. Di bekas areal stasiun Mertoyudan, di kiri di jalan poros antara Yogyakarta ke Magelang, saat ini hanya bisa ditemukan rumah-rumah penduduk. Tak jelas di mana bekas jalur relnya dulu terpancang. Sementara Stasiun Magelang Kota kini sudah menjadi areal terminal Kebon Polo.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) berusaha menghidupkan kembali jalur-jalur kereta api yang hilang. Ini tentu saja bukan hal mudah karena banyak jalur rel dan stasiun yang rusak bahkan hilang.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Indepth
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti