tirto.id - “Bu, kenapa sih, aku harus makan obat ini melulu?” Tanti, bukan nama sebenarnya, suatu hari bertanya pada ibunya.
“Ini obat biar bikin cantik.” Melanie (40), juga bukan nama sebenarnya, membalas pertanyaan anaknya dengan sabar.
“Tapi kok aku gak jadi cantik-cantik sih, Bu?”
“Ya, kan nanti. Sabar. Ini obat juga yang bikin kamu jadi sehat. Kamu jadi bisa jalan karena makan obat ini. Enggak enak kan, dulu harus selalu pakai penyangga kaki buat jalan?” kata Melanie lagi.
Dengan berat hati dan wajah cemberut, Tanti pun menelan obat tersebut berikut jawaban dari ibunya. Jawaban yang menurut jalan pikir bocah 9 tahun seperti dirinya masih jauh dari memuaskan.
Bukan sekali dua, pertanyaan itu diajukan Tanti, melainkan sudah berulang kali setidaknya sejak usianya masih 7 tahun. Dan hingga kini, Melanie masih belum memberikan jawaban yang sebenarnya.
Tak hanya merepet dengan pertanyaan yang sama bertahun-tahun, Tanti pun terus mengeluhkan obatnya yang pahit bukan main. Bahkan, ia sempat muntah selepas menelan obat tersebut karena rasa pahit yang menempel di lidahnya.
Obat yang diminum Tanti setiap pukul 7 malam, dan setengah 7 pagi, sebelum berangkat sekolah adalah Antiretroviral (ARV). ARV merupakan jenis obat untuk menjaga imun agar tak terserang virus HIV dan harus dikonsumsi tanpa putus seumur hidup.
Tanti terlahir dengan Human Immunodeficiency Virus atau HIV dalam tubuhnya.
Saat itu, sekitar tahun 2009, Melanie tengah hamil empat bulan. Selepas melahirkan, ia baru mengetahui bahwa bayinya terinfeksi HIV.
Lantaran virus di tubuhnya itu, Tanti sempat tak bisa berjalan untuk beberapa lama. Ia perlu menggunakan alat bantu. Namun, setelah rutin mengonsumsi ARV, kini Tanti sudah bisa berjalan dan bermain kejar-kejaran bersama kawan-kawannya.
Bocah itu belum mengetahui status HIV positif yang dimilikinya. Melanie masih menutupinya dari Tanti, sehingga ia perlu menggunakan sejumlah cara dan argumen agar Tanti tetap meminum ARV.
“Belum (dikasih tahu status HIV) soalnya masih labil. Anak segitu penasaran, tapi kalau dikasih tahu yang jujurnya, suka enggak terima,” ungkap Melanie saat ditemui reporter Tirto di kawasan Jakarta Utara pada Sabtu (30/11/2019).
“Apalagi takutnya nanti malah balik menghujat atau memaki kami, ‘kenapa aku seperti ini?’” lanjutnya.
Kekhawatiran Melanie pun bertambah saat Tanti sempat mengeluhkan bahwa ia secara fisik tidak terlahir seperti artis Korea. Melanie khawatir jika Tanti mengetahui status HIV-nya, kemarahannya justru semakin memuncak.
“Apalagi kalau menerangkan mengapa setiap hari dia harus minum obat. Saya coba berbohong terus,” kisah Melanie.
Kegamangan Melanie dalam memberitahu Tanti soal status HIV positif anaknya itu cukup beralasan. Di satu sisi, ia masih berproses untuk menerima dirinya yang juga positif HIV. Belum lagi, ia harus belajar banyak untuk mengenali diri dan memahami soal virus yang menyerang sistem imun itu. Di sisi lain, ia juga sedang mengikuti konseling demi berjuang melawan stres yang dimilikinya.
Melanie bercerita kepada saya, ia mendapatkan virus itu dari sang suami.
“Waktu itu ketahuannya karena (suami saya) divisum saat lagi sakit. Dari situ, baru ketahuan kalau dia punya HIV. Kemudian baru saya periksa darah, ternyata tertular,” kisah Melanie.
Tantangan Berat Orangtua
Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi (LAP) Natasya Sitorus menyampaikan bahwa proses penyampaian status HIV anak memang menjadi salah satu tantangan dan hal yang berat untuk dilakukan pengasuh anak tersebut, baik itu orang tua, nenek, atau pihak keluarga yang mengurusnya.
“Anak mau secerdas apapun, tapi kalau ibunya kurang, atau ibunya belum selesai dengan dirinya dalam isu penerimaan diri dengan status HIV, mungkin saja ia belum siap untuk bercerita karena khawatir anaknya mempertanyakan banyak hal yang belum siap untuk ia jawab,” jelas Natasya kepada reporter Tirto pada Jumat (6/12/2019).
“Itu pun tergantung dari caregiver-nya, entah orang tua, atau kakek, atau nenek, yang merawatnya. Ada pula yang sulit untuk mengungkapkan, sehingga butuh penengah, entah dokter, atau pendamping, seperti kami di LAP. Kami membantu menjelaskan HIV itu apa, virusnya seperti apa,” lanjutnya.
Natasya menyampaikan bahwa pengungkapan status HIV idealnya dilakukan secara bertahap, menyesuaikan usia anak tersebut. Natasya menyebutnya sebagai proses partial disclosure.
“Kalau untuk pengungkapan status itu tidak kaku harus dilakukannya pada usia tertentu. Proses disclosure (pengungkapan) juga bukan peristiwa sekali seumur hidup, tapi adalah proses yang berkelanjutan,” kata Natasya.
“Dari kecil, diajak ngobrol, itu perlu dikasih tahu, tapi tidak langsung dikasih tahu kalau dia terkena HIV. Ya kalau usianya 5 tahun, dia juga tidak bakal mengerti,” lanjutnya.
Natasya menyampaikan contohnya bisa dimulai dari penyampaian informasi bahwa anak tersebut perlu untuk mengkonsumsi obat, yakni ARV, agar tetap sehat. Informasi dapat bertambah dengan penjelasan bahwa dalam tubuh anak tersebut terdapat virus yang bisa membuatnya mudah sakit.
“Makanya, harus minum obat ini supaya virusnya tetap tidur dan tidak merusak kekebalan tubuhmu,” contoh Natasya.
Saat usianya kembali bertambah, bisa ditambahkan dengan informasi bahwa virus tersebut dapat membuat tubuh anak menjadi sakit. Jika tidak diminum obatnya, maka virusnya bisa menjadi kebal, sehingga perlu ditambahkan lagi obatnya.
“Jadi seiring dengan bertambah usia anak, informasi yang diberikan pun harus semakin lengkap. Sampai saat dia masuk ke usia remaja, sudah masuk pubertas. Seperti pada saat remaja perempuan mulai menstruasi, perlu diperkenalkan alat reproduksi dia, bagaimana harus membuang pembalut dia,” jelas Natasya.
“Jadi diperkenalkan bagaimana menjaga agar dia tetap aman, dan bagaimana agar tak menginfeksikan orang lain,” lanjutnya.
Pada fase tertentu, saat baik pengasuh ataupun anak, sudah siap, barulah dapat disampaikan informasinya secara utuh. Informasi yang disampaikan berupa bahwa dalam tubuhnya ada HIV, bagaimana ia bisa menularkan ke orang lain dengan perilaku berisiko tertentu, hingga bagaimana ia perlu memilih orang dalam pengungkapan status HIV karena stigma di masyarakat masih besar.
“Kalau remaja, memang sebaiknya informasi-informasi itu sudah masuk. Jangan malah terus menunggu sampai usia dewasa. Jadi memang sebaiknya bertahap dibuka statusnya,” pungkasnya.
Bekal Melawan Stigma
Komisioner KPAI Sitti Hikmawati menilai proses pengungkapan status HIV kepada anak memang hal yang penting. Namun, bentuknya bisa fleksibel, serta memang perlu dilakukan secara bertahap.
“Anak memiliki hak untuk mengetahui status kesehatannya. Ia juga kan pasti akan bertanya, mengapa ia diperlakukan seperti itu, harus disuntik, harus menjaga kesehatannya, harus makan obat secara ketat,” kata Sitti kepada reporter Tirto pada Senin (16/12/2019).
“Itu kan, perlu ada pemberian penjelasan. Saya kira, itu perlu diberikan penjelasan yang logis, dengan disesuaikan pada derajat usianya, daripada kita bicara dengan membohongi,” lanjutnya.
Namun, Sitti menilai pengasuh anak juga perlu mempertimbangkan kesiapan anak dalam proses penerimaan informasinya, baik secara pengetahuan, hingga secara psikologis.
“Perlu dikasih penjelasan yang baik, serta perlu diyakinkan bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Perspektifnya tidak demikian, tetapi perspektifnya, dengan ada tantangan seperti ini, maka ada sedikit perubahan dalam garis kehidupan si anak, termasuk perlu untuk makan obat,” ujar Sitti.
Sitti menilai penguatan anak secara psikologis merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Anak perlu mengetahui bahwa ada cara untuk tetap hidup secara sehat dengan virus HIV dalam tubuhnya.
“Seseorang yang sakit bisa menjadi sembuh secara total, ada juga yang tidak. Contohnya, seseorang yang matanya rabun, ia sulit untuk kembali ke semula, tetapi ia bisa menggunakan kacamata untuk tetap bisa melihat,” ujar Sitti.
“Lalu, bagaimana anak-anak ini yang memiliki perbedaan dalam sistem daya tahan tubuhnya. Nah, mari kita carikan ‘kacamata’ yang tepat, yang trendy, justru dengan kacamata lebih baik. Jadi ini bukan hal yang perlu disesali atau apa, tapi ini hal yang bisa dilalui,” lanjutnya.
Lebih jauh lagi, Sitti menilai masalah HIV menjadi hal yang masih terus perlu disosialisasikan. Pasalnya, stigma buruk dan informasi keliru mengenai HIV masih banyak di masyarakat.
“Walaupun anak sudah memahami kondisinya, tapi hal yang terberat tetap stigma masyarakat umum. Jadi yang terdampak adalah anak-anak ini. Jadi ke depannya, bagaimana stigma ini bisa ditekan agar tidak terdampak pada anak-anak dengan HIV ini,” tegasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri