tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mochamad Wirasakjaya menyatakan biaya pengadaan proyek e-KTP jauh lebih mahal dari seharusnya.
Kesimpulan itu muncul saat Wirasakjaya membacakan dakwaan untuk mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri dan pejabat pembuat komitmen di proyek ini, Sugiharto. Dakwaan itu juga berkaitan dengan terdakwa lain, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri, Irman.
"Semua pekerjaan pengadaan KTP-E sesungguhnya tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdakwa II Sugiharto memberikan persetujuan secara tertulis, tapi dalam pelaksanaannya anggota konsorsium PNRI mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis Sugiharto," kata Wirasakjaya dalam sidang perdana korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Kamis (9/3/2017) sebagaimana dilansir Antara.
Selain mensubkontrakkan sebagian besar pekerjaan, konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) juga tidak merealisasikan pekerjaan seperti target disebut di kontrak awal. Namun, agar tetap terjadi pembayaran, Sugiharto atas persetujuan Irman melakukan sembilan kali perubahan adendum kontrak, mulai 12 Oktober 2011 hingga 27 Desember 2013.
Perubahan adendum itu menyebabkan Konsorsium PNRI tetap mendapatkan pembayaran Rp4,917 triliun yang dilakukan secara bertahap mulai 21 Oktober 2011 sampai 30 Desember 2013. Pada saat ada perubahan adendum itu ada duit dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sejumlah 700 ribu dolar AS mengalir ke Irman dan kemudian dibagi-bagi ke banyak pihak.
Pengerjaan proyek e-KTP yang yang tak sesuai target kontrak awal itu meliputi:
Pertama, Konsorsium PNRI tidak melakukan personalisasi dan distribusi terhadap 27.415.747 keping blangko KTP- dan hanya melakukan personalisasi sebanyak 144.599.653 keping padahal dalam berita acara serah terima disebut sebanyak 145 juta keping.
Kedua, Sugiharto dan konsorsium PNRI menetapkan harga pengadaan sistem Automated Fingerprint Identification System (AFIS) berdasarkan jumlah data yang direkam, bukan berdasar satu kesatuan sistem sehingga pemerintah harus membayar perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendukung sistem AFIS.
Ketiga, Konsorsium PNRI tidak dapat mengitegrasikan antara Hardware Security Modul (HSM) dengan Key Management System (KMS) sehingga tidak memenuhi spesifikasi sistem keamanan kartu dan data.
Keempat, pelaksanaan pekerjaan Jaringan Komunikasi Data (Jarkomdat) konsorsium PNRI dan PT Aqadra Soultion mensubkontrakkan kepada PT Indosat yang pelaksanaan dan pembayarannya tidak sesuai kontrak.
Kelima, dalam pelaksanaan pekerjaan Helpdesk Management Sytem PT Sucofindo, hanya menyediakan 84 orang, padahal menurut kontrak seharusnya 169 orang, dan tetap dibayar untuk 169 orang.
Keenam, ada perbedaan metode pemadanan identifikasi dengan verifikasi data berdasarkan kerangka acuan kerja, yang seharusnya mengunakan sidik jari, tapi konsorsium menggunakan identifikasi iris mata sehingga ketunggalan KTP elektronik tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ketujuh, di penggunaan printer Fargo HDP5000 untuk pencetakan e-KTP, terdapat penguncian spesifikasi di mesin cetak sehingga pengguna tidak dapat menggunakan mesin cetak lain dan harganya dikendalikan penjual.
Kedelapan, pekerjaan pendampingan teknis yang dilakukan oleh PT Sucovindo tidak sesuai kontrak karena ada manipulasi penandatanganan kontrak pengadaan tenaga pendamping dan dokumen pembayarannya.
Kesembilan, Konsorsium PNRI menggunakan chip merek NXP P 308 dan ST Mircro ST 23 YR yang tidak bersifat terbuka sehingga menyebabkan ketergantungan pada produk tersebut.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom