Menuju konten utama

Proyek e-KTP Terlalu Mahal dan Realisasi Tak Sesuai Target

Pembacaan dakwaan di sidang perdana Korupsi e-KTP, Jaksa KPK menyimpulkan proyek pengadaan e-KTP terlalu mahal dan pengerjaannya tak sesuai target awal.

Proyek e-KTP Terlalu Mahal dan Realisasi Tak Sesuai Target
Terdakwa mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman (kanan) dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto (kedua kanan) menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP secara nasional tahun 2011-2012 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017). Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut KPK terkuak sejumlah nama besar yang di anggap terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,3 Triliun. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mochamad Wirasakjaya menyatakan biaya pengadaan proyek e-KTP jauh lebih mahal dari seharusnya. Selain itu, pengerjaan proyek senilai Rp5,9 triliun itu juga tak rampung sesuai target.

Kesimpulan itu muncul saat Wirasakjaya membacakan dakwaan untuk mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri dan pejabat pembuat komitmen di proyek ini, Sugiharto. Dakwaan itu juga berkaitan dengan terdakwa lain, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri, Irman.

"Semua pekerjaan pengadaan KTP-E sesungguhnya tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdakwa II Sugiharto memberikan persetujuan secara tertulis, tapi dalam pelaksanaannya anggota konsorsium PNRI mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis Sugiharto," kata Wirasakjaya dalam sidang perdana korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Kamis (9/3/2017) sebagaimana dilansir Antara.

Selain mensubkontrakkan sebagian besar pekerjaan, konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan seperti disebut di kontrak.

Namun, agar tetap terjadi pembayaran, Sugiharto atas persetujuan Irman melakukan sembilan kali perubahan adendum kontrak, mulai 12 Oktober 2011 hingga 27 Desember 2013.

Di perubahan adendum kontrak keempat pada 16 April 2012, Irman menerima uang dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sejumlah 700 ribu dolar AS. Irman lalu membagikan duit itu ke Sugiharto 100 ribu dolar AS, Sekjen Kemendagri saat itu, Diah Anggraini 300 ribu dolar AS.

Atas perintah Gamawan Fauzi, Mendagri saat itu, duit senilai Rp500 juta digunakan untuk membiayai rapat kerja dan seminar nasional asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indonesia di Yogyakarta pada 24 Maret 2014. Duit sisanya untuk Irman sendiri.

"Maksud para terdakwa melakukan sembilan kali adendum adalah agar terdakwa II (Sugiharto) tetap dapat melakukan pembayaran kepada konsorsium PNRI dan akhirnya para terdakwa mendapatkan sejumlah uang dari konsorsium PNRI meski konsorsium tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sebagaimana ditentukan dalam kontrak," kata Wirasakjaya.

Ada sembilan target pekerjaan yang tidak terpenuhi oleh konsorsium PNRI. Salah satunya ialah target personalisasi 145 juta keping e-KTP yang hanya terealisasi 144.599.653.

"Meski pekerjaan tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak, para terdakwa justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target," Wirasakjaya menjabarkan.

Misalnya, sampai akhir pelaksanaan pekerjaan pada 31 Desember 2013, blanko e-KTP hanya tersedia 122.109.759 keping, atau di bawah target pekerjaan dalam kontrak yaitu pengadaan dan personalisasi serta distribusi sebanyak 172.015.400 keping blangko KTP-E. Akan tetapi, konsorsium PNRI tetap mendapat pembayaran Rp4,917 triliun yang dilakukan secara bertahap mulai 21 Oktober 2011 sampai 30 Desember 2013.

"Setiap menerima pembayaran dipotong dulu sebesar dua sampai tiga persen untuk kepentingan manajemen bersama sehingga uang potongan mencapai Rp137,989 miliar yang bersumber dari pemotongan pembayaran tagihan lima perusahaan konsorsium," kata Wirasakjaya.

Pemotongan Perum PNRI sebesar Rp42,84 miliar, pemotongan PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp19,31 miliar, pemotongan PT Quadra Solution sejumlah Rp43,28 miliar, pemotongan PT Sucofindo sebesar Rp5,78 miliar dan pemotongan PT LEN Industri sejumlah Rp26,76 miliar.

Setelah masa pembayaran, Sugiharto memberikan uang secara bertahap kepada Irman yang seluruhnya berjumlah Rp1,371 miliar, 77,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar Singapura.

Dari jumlah itu, sejumlah Rp876 juta, 73,7 ribu dolar AS dan enam ribu dolar Singapura digunakan untuk membiayai kepentingan Irman dan diberikan kepada Gamawan Fauzi sejumlah Rp50 juta saat kunjungan kerja di Balikpapan, Batam, Kendari, Papua dan Sulawesi serta diberikan ke Sekjen Kemendagri saat itu, Diah Anggraini sejumlah RP22,5 juta saat kunjungan ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Papua.

Irman dan Sugiharto juga memberikan uang kepada Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Ade Komarudin pada pertengahan 2013 sejumlah 100 ribu dolar AS untuk membiayai pertemuan Ade dengan para camat, kepala desa dan tokoh masyarakat di Bekasi.

Penganggaran dan pengadaan itu menyebabkan uang yang dibayarkan Sugiharto kepada konsorsium PNRI lebih mahal dibanding yang seharusnya hanya sejumlah Rp2,626 triliun.

Rangkaian perbuatan terdakwa bersama-sama tersebut memperkaya Irman sejumlah RP2,371 miliar dan 877,7 ribu dolar AS serta enam ribu dolar Singapura. Selain itu juga memperkaya Sugiharto sejumlah 3.473.830 dolar AS. Keduanya juga memperkaya orang lain dan korporasi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom