tirto.id - Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengatakan eksekusi terpidana mati menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Namun ia tidak memastikan eksekusi mati dilakukan akhir tahun ini atau tahun depan. Ia beralasan terpidana yang proses hukumnya belum selesai harus diberikan dulu haknya.
"Ada beberapa perkara yang belum inkrah. Pasti kami akan eksekusi," ujar Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (25/11/2019).
Kejaksaan Agung sedang mendata seluruh terpidana mati terkait status hukum masing-masing untuk selanjutnya dilakukan eksekusi.
Burhanuddin mengatakan pendataan perlu dilakukan untuk memastikan tidak terjadi peristiwa terpidana yang sudah dieksekusi mati kemudian mendapat perubahan putusan.
"Maksimal berikan haknya dulu, kalau suatu saat ternyata ada perubahan kan sudah dihukum mati," tutur Burhanuddin.
Pada hari pertama bekerja sebagai jaksa agung, Burhanuddin mengatakan perlu memetakan berbagai persoalan, perkara dan situasi yang berkembang di institusi Kejaksaan Agung.
"Saya petakan dulu, baru diketahui apa yang harus dilakukan, tapi dalam waktu dekat, besok saya sudah mulai 'action'-lah," ujarnya.
Saat ini sebanyak 274 terpidana mati belum dieksekusi. Dari jumlah itu, sebanyak 68 dipidana mati atas kasus pembunuhan, 90 kasus narkotika, 8 kasus perampokan, 1 terorisme, 1 kasus pencurian, 1 kasus kesusilaan, dan 105 pidana lainnya.
Namun, hukuman mati dinilai bermasalah karena vonis ini tak pernah benar-benar memberikan efek jera yang dapat diukur. Hukuman mati juga merupakan hukuman peninggalan Kolonial Belanda untuk mengontrol masyarakat jajahan yang tak lagi kontekstual.
Atas dasar itu berbagai LSM seperti Institut for Criminal Justice Reform (IJCR), LBH Masyarakat, Kontras dan lain-lain menuntut pemerintah untuk menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia.
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Gilang Ramadhan