tirto.id - Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menyampaikan kesulitan-kesulitan dalam mengungkap pelanggaran HAM berat di hadapan Komisi III DPR RI, Kamis (7/11/2019). Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai pernyataan ST Burhanuddin tak ada beda dengan alasan yang pernah disampaikan Jaksa Agung sebelumnya.
"Kondisi ini seperti lagu lama diputar berulang kali, hanya mengganti penyanyinya saja," kata Anam lewat keterangan tertulis kepada Tirto, Kamis (7/11/2019).
Anam mengingatkan undang-undang nomor 6 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia telah memberi kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan sebagai penyidik.
Komnas HAM sendiri, tandas Anam, telah menyelesaikan kerjanya sebagai penyelidik. Seyogianya kerja itu diteruskan ke tingkat penyidikan, jika ada kekurangan dalam penyelidikan maka itu menjadi tugas Kejaksaan untuk menyempurnakan. Kejaksaan pun memiliki kewenangan untuk menahan terduga pelaku.
"Namun sampai saat ini Jaksa Agung sebagai penyidik belum pernah melakukan tugas dan kewenangannya untuk menyempurnakan berkas perkara tersebut yang telah selesai dalam proses kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik," kata Anam.
Pernyataan Burhanuddin itu pun seolah menegaskan lagi nihilnya komitmen Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian kasus HAM. Padahal sebelumnya hal ini sudah sering disinggung dan Jokowi pun dituntut memilih jaksa agung yang punya komitmen menyelesaikan kasus HAM.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan sejumlah hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat . Burhanuddin menyebut saat ini ada enam berkas kasus pelanggaran HAM berat di mejanya tapi belum bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tak memenuhi syarat formil dan materiel.
"Enam berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran ham berat itu yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965," kata Burhanuddin dalam rapat kerja perdana dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Burhanuddin pun menyebut belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut menjadi kendala kasus HAM mandeg.
Selain itu, Burhanuddin juga berdalih kesulitan memperoleh alat bukti lantaran waktu kejadiannya sudah terlalu lama. Banyak alat bukti maupun saksi yang telah berpindah tempat sehingga menyulitkan pembuktian.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat, kata Burhanuddin, yakni perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara.
"Lalu mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal," jelasnya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri