tirto.id - “It's coming home, it's coming home, it's coming Football's coming home…”
Dengan bir di tangan kiri, sementara tangan kanan digunakan untuk merangkul rekan di sebelahnya, para suporter Inggris bersama-sama menyanyikan lagu Football’s Coming Home tiap negaranya sedang bertanding di Piala Dunia 2018. Hal tersebut adalah pemandangan lazim di tribun-tribun stadion di Rusia maupun di berbagai alun-alun kota di Inggris belakangan ini.
Lagu itu sejatinya berjudul “Three Lions”. Pada 1996, ketika Inggris menjadi tuan rumah Piala Eropa, sebuah band rock alternatif bernama The Lighting Seeds menciptakan lagu tersebut bersama bersama duet presenter acara Fantasy Football League, David Baddiel dan Frank Skinner. Lagu tersebut lebih dikenal dengan judul “Football’s coming home”, frase yang berasal dari salah satu larik dalam lirik “Three Lions”.
Mulanya banyak yang menganggap The Lightning Seeds hanya memanfaatkan euforia hooliganisme Inggris pada akhir 1990-an. Federasi Sepakbola Inggris (FA) juga mendamprat lagu ini.
Salah satu personal The Lightning Seeds, Ian Broudie, di mengaku kepada The Guardian:
“FA membenci ‘Three Lions’ ketika mereka mendengarnya pertama kali. ‘Apa-apaan, nih, kita buang saja?’. Begitu pula dengan para pemain, tapi respons Gazza (Paul Gascoigne) yang paling menyenangkan. Dialah pemain pertama yang paling senang dengan lagu ini. Dia juga yang kemudian mengajak pemain untuk menyukainya, dengan terus menyetel lagu ini di bus dan seterusnya.”
Sejak Inggris berhasil mengalahkan Swedia 2-0 di partai perempat final, lagu “Football’s Coming Home” yang sebelumnya berada di posisi 33, langsung merangsek ke urutan puncak Big Top 40 UK. Situasi ini sama seperti dahulu ketika lagu tersebut pertama kali dirilis pada 1996. Pada Piala Dunia 1998, lagu ini juga sempat dirilis ulang kembali dengan judul “3 Lions ’98” dan juga merajai Big Top 40 UK selama tiga minggu. Sementara di Spotify, “Football’s Coming Home” juga sempat diputar hingga satu juta kali usai Inggris memastikan diri melaju ke semifinal Piala Dunia 2018.
Mengenai kedahsyatan popularitas lagu tersebut, salah seorang presenter Big Top 40, Marvin Humes, mengatakan: “Sungguh hari yang luar biasa! ‘Three Lions’ memang berada di urutan puncak. Timnas kita di Rusia juga membanggakan. Seluruh bangsa telah bersatu dan semoga ini adalah langkah awal untuk melakukan selebrasi.”
Dengan seiring perjalanan Inggris yang kini telah mencapai babak semifinal, lagu itu kian mendekati harapannya: Sepakbola (sepertinya) akan kembali pulang ke rumah.
Wild Boars Coming Home
“Kami tak yakin apakah ini keajaiban, sains, atau apalah. Seluruh 13 anggota Wild Boars sudah berhasil dikeluarkan dari dalam gua,” demikian pernyataan Angkatan Laut Thailand (SEAL) di laman resmi akun Facebook mereka yang dikutip oleh Reuters.
Semua bermula pada 23 Juni 2018. Usai melakukan latihan reguler, tim sepakbola remaja di Thailand yang menamakan diri mereka Wild Boars, bertamasya menuju gua Tham Luang yang terletak di Provinsi Chiang Rai, Thailand Utara, untuk merayakan hari ulang tahun ke-17 salah satu anggota skuat, Peerapat Sompiangjai.
Selain 12 pemain, seorang asisten pelatih berusia 25 tahun ikut mendampingi. Setibanya di lokasi, mereka mulai menelusuri gua Tham Luang kurang lebih sejauh dua kilometer. Ketika masih fokus berjalan, turun hujan lebat yang menyebabkan gua kebanjiran. Air bercampur lumpur pun dengan cepat menutup lorong masuk gua. Mereka terjebak.
Kabar tenggelamnya tim sepakbola remaja ini sontak menggegerkan publik Thailand, terutama warga Maesai, sebuah pedesaan yang jaraknya hanya sekitar 4 kilometer dari gua tersebut. Ratusan relawan pun mulai berdatangan. Bersama tim SAR dan Angkatan Laut Thailand (SEAL), mereka mengorganisir diri dan mengumpulkan apa saja yang dapat menjadi bantuan. Makanan, pakaian, serta menyediakan sederet truk untuk menyedot air di dalam gua.
Waktu berlalu dan hujan lebat yang terus turun membuat upaya penyelamatan kian sulit. Untuk mengantisipasi hal terburuk, Menteri Dalam Negeri Thailand, Anupong Paochinda, mengatakan: “Selama mereka belum bisa dievakuasi, pihak yang berwenang akan mengirimkan suplai makanan dan jel energi agar mereka dapat bertahan hidup setidaknya selama empat bulan di dalam gua.”
11 hari berselang, Selasa, 3 Juli 2018, tim dari British Cave Rescue Council yang turut ambil bagian dalam tim operasi gabungan berhasil menemukan posisi tepat tim sepakbola tersebut di dalam gua. Dalam video yang dilansir akun Twitter DW News, tampak sekelompok remaja terlihat lemas, namun secara keseluruhan mereka tidak dalam kondisi medis yang memprihatinkan. Saluran telepon pun segera dipasang agar para keluarga dapat berkomunikasi dengan para anggota tim.
Berita penemuan tim sepakbola remaja tersebut disambut kegembiraan oleh publik Thailand. Kendati koordinator nasional dari the National Cave Rescue di Amerika Serikat mengatakan bahwa membawa anak-anak yang bukan penyelam untuk melewati jalur tersebut sangatlah berbahaya, setidaknya masih ada peluang untuk menyelamatkan mereka semua. Upaya evakuasi pun segera dilakukan.
Pada 8 Juli 2018, operasi penyelamatan fase pertama yang melibatkan tak kurang dari 90 penyelam gabungan (40 dari Thailand, 50 lainnya berasal dari luar negeri) itu berhasil mengeluarkan empat anak dari dalam gua. Keesokannya, empat orang lagi yang dapat dibawa keluar. 10 Juli 2018, misi evakuasi yang nyaris mustahil tersebut akhirnya berhasil dilakukan: seluruh orang yang terperangkap berhasil dikeluarkan dan dapat diselamatkan.
Kabar ini tentu saja menggembirakan seantero jagat. Beberapa tokoh dunia pun juga turut berbahagia. Donald Trump mengeluarkan cuitan: “Ini momen yang sangat indah. Great job!” cuitnya merujuk kepada para regu penyelamat. Juru bicara Angela Merkel, Steffen Seibert, juga turut mengirim ucapan selamat melalui Twitter: “Begitu banyak yang pantas dikagumi: ketekunan para anak pemberani dan pelatihnya, serta kemampuan dan keteguhan para tim penyelamat.”
Sementara dari Inggris, Perdana Menteri Theresa May juga mengungkapkan kebahagiaannya lewat akun Twitter: “Bahagia dapat melihat keberhasilan penyelamatan mereka yang terjebak di gua di Thailand. Dunia akan menghormati keberanian semua orang yang terlibat dalam penyelamatan tersebut.”
Tak ketinggalan Manchester United, melalui akun Instagram resmi mereka, juga turut bersukacita: “Manchester United merasa sangat lega usai mengetahui bahwa 12 pesepakbola dan pelatih mereka yang terperangkap di gua di Thailand telah aman. Doa kami untuk mereka semua. Kami akan merasa terhormat untuk menyambut tim sepakbola Wild Boars dan regu penyelamat mereka ke Old Trafford pada musim depan.”
Namun, dalam setiap misi penyelamatan, akan ada selalu orang yang menjadi martir. Dalam hal upaya evakuasi di Thailand ini, adalah Samarn Poonan, mantan anggota unit SEAL berusia 38 tahun yang mesti tutup usia. Poonan meninggal pada Kamis malam setelah terjatuh sekitar 1,5 km dari pintu masuk gua usai memasang tangki oksigen di sepanjang rute keluar potensial.
"Begitu misinya berakhir, dia kembali, tetapi di tengah perjalanan, temannya menemukan Samarn terjatuh dan mencoba memompa jantungnya, tetapi nyawanya tidak bisa terselamatkan," demikian pernyataan resmi SEAL usai mendapat kabar Poonan meninggal. Sementara Komandan SEAL, Laksamana Arpakorn Yuukongkaew, mengatakan: "Kami tidak akan membiarkan kematiannya sia-sia. Kami akan melanjutkan usahanya.”
Yuukongkaew memegang teguh janji tersebut: misi berhasil dilakukan. Dari surga, Poonan mungkin tengah tersenyum kala melihat anak-anak yang terjebak itu akhirnya dapat kembali pulang ke rumah.
Sepakbola Tidak Pernah Lebih Besar dari Persoalan Hidup dan Mati
Bill Shankly, manajer Liverpool yang legendaris itu, pernah mengeluarkan pernyataan yang kelak menjadi salah satu kutipan termahsyur dalam sepakbola: “"Beberapa orang percaya sepakbola adalah masalah hidup dan mati. Saya dapat meyakinkan Anda bahwa sepakbola jauh, jauh lebih penting dari itu semua.”
Shankly barangkali mengucapkan hal tersebut dalam konteks memberi semangat kepada timnya. Namun, suka atau tidak, sepakbola tidak akan pernah lebih penting dari persoalan hidup dan mati.
Ketika Liverpool merasakan Tragedi Heysel dan Hillsborough, ketika Manchester United mengalami Tragedi Munich, ketika 71 anggota skuat Chapecoense tewas dalam kecelakaan pesawat, ketika puluhan orang suporter Boca Juniors dan River Plate mesti tewas dalam tragedi Puerta 12, ketika pesawat tim Torino menabrak bukit Superga, ketika generasi emas Zambia harus lenyap karena kecelakaan pesawat pada 1993 silam, ketika 79 orang tewas dan 1000 lebih mengalami luka-luka dalam pembantaian di stadion Port Said, hingga tragedi lainnya yang masih tercatat dalam lubang hitam sejarah, sepakbola tidak lebih penting dari soal kemanusiaan.
Kisah penyelamatan Wild Boars barangkali menjadi representasi paling tepat dari apa yang dimaksud “football’s coming home”: bisa kembali ke rumah, berkumpul bersama orang-orang tercinta, adalah trofi paling hebat yang bisa diraih.
Dan itulah kisah terbaik yang hadir dari Piala Dunia 2018. Merekalah tim sepakbola terbaik tahun ini.
Editor: Zen RS