tirto.id - Sepanjang bulan Juni-Juli 2017, pelatih Inggris Gareth Southgate dan asistennya, Steve Holland, pergi ke Polandia untuk menyaksikan Piala Eropa U-21 sekaligus Piala Konfederasi di Rusia. Selain mencari pemain-pemain untuk dimasukkan ke dalam skuat Inggris, keduanya punya misi penting lain. Reportase menarik yang disusun oleh Daniel Taylor dari The Guardian memperlihatkan bahwa keduanya saat itu sedang sibuk merumuskan taktik The Three Lions untuk Piala Dunia 2018.
Dalam reportase berjudul "How England Changed Shape: Holland on Southgate’s Tactical Evolution" itu, Daniel Taylor menyebutkan betapa pencarian taktik itu membuat Southgate dan Holland menjelajahi masa silam. Mereka melihat kembali taktik permainan Inggris di beberapa era pelatih sebelumnya. Mulai dari skema tiga bek yang pernah diterapkan Bobby Robson, Terry Venables, Glenn Hoddle, Sam Allardyce, hingga metode empat bek yang sempat digunakan dari Allardyce dan Hodgson belakangan maupun Fabio Capello.
“Kami menghabiskan waktu sekitar empat minggu di Rusia untuk menonton Piala Eropa U-21 yang diikuti Inggris dan Piala Konfederasi. Banyak waktu habis di pesawat, tapi hal itu sungguh memberikan kami kesempatan untuk berdiskusi mengenai segala hal yang sudah kami pelajari selama ini,” ungkap Holland.
Menurut Jason Burt dari The Telegraph, dalam artikel berjudul "How England's World Cup Plans Were Hatched on a Road Trip around Russia Last Summer", Southgate dan Holland menghabiskan waktu untuk menonton pertandingan Inggris hingga ke era Southgate masih bermain.
“Kami melihat kembali tim Inggris ketika dilatih Terry Venables di Euro 96. Steve McManaman dan Darren Anderton menjadi wing-backs, Gary Neville menjadi bagian dari back three, lalu bagaimana keseimbangan yang terjadi di lini tengah. Kami bahkan juga melihat era Bobby Robson, yang hanya menggunakan satu pendekatan saat Piala Dunia 1990. Namun terlepas dari kondisi masa lalu, kami tetap memikirkan dua faktor penting: mana yang dapat membuat kami tidak kebobolan banyak? Mana yang dapat membuat kami mengontrol permain dengan penguasaan bola?” papar Holland, dikutip dari laporan Jason Burt tadi.
Baik Southgate dan Holland sama-sama memahami bahwa apa yang mereka lakukan tak ubahnya perjudian. Maka dari itu, alih-alih segera menetapkan standar tinggi, target yang dipatok keduanya standar saja: Inggris dapat lolos kualifikasi. Terkait hal ini, masih merujuk reportasenya Daniel Taylor, Holland turut memuji Southgate yang tidak bersikap gegabah dalam mengambil keputusan.
“Gareth adalah pria yang cerdas. Dia memahami bahwa terlalu cepat untuk memulai revolusi. Saat itu yang terpenting adalah meraih keberhasilan jangka pendek, lolos kualifikasi. Sistem yang digunakan Roy (Hodgson) adalah 4-3-3. Begitu pula dengan Sam (Allardyce). Kami mencoba 4-2-3-1 dengan menggunakan pemain nomor 10 daripada pivot. Taktik tersebut, dalam jangka pendek, kami pilih agar lini depan mendapat dukungan lebih banyak.”
Rencana (baca: perjudian) Southgate dan Holland pada akhirnya dapat terealisasi, bahkan melampaui target awal: Inggris berhasil lolos kualifikasi tanpa mengalami kekalahan. Namun demikian, keduanya merasa rumusan taktik mereka belum sepenuhnya matang. Secara spesifik, Southgate dan Holland tampaknya masih penasaran dengan skema tiga bek.
Dan setelah mempelajari semuanya, kedua partner tersebut akhirnya memutuskan: Inggris akan menggunakan 3-3-2-2 di Piala Dunia 2018.
Penjelasan Holland mengenai 3-3-2-2
Pilihan Southgate menggunakan skema tiga bek sejauh ini terbukti manjur. Kendati sempat mengalami kekalahan 0-1 dari Belgia di laga pamungkas Grup E, mereka tetap mampu melaju hingga ke perempatfinal usai menyingkirkan Kolombia dengan mematahkan kutukan adu penalti.
Bagi Southgate, hasil tersebut bukan saja membahagiakan, tapi barangkali juga dianggapnya sebagai balas dendam atas masa silam. 22 tahun lalu, ia menjadi satu-satunya pemain Inggris yang gagal menjadi algojo penalti kala disingkirkan Jerman di partai semifinal Euro 1996. Maju sebagai eksekutor terakhir, tendangan Southgate berhasil diblok kiper Jerman, Andreas Koepke.
Usai meloloskan The Three Lions, nama Southgate yang mulanya dianggap semenjana, pelan-pelan mulai dielukkan publik Inggris. Namun demikian, ada satu hal yang luput dibicarakan dari kesuksesan tersebut: peran Holland sebagai asisten Southgate. Terutama terkait pilihan skema tiga bek. Dapat dikatakan, pendekatan skema tersebut cukup banyak didasari oleh metode Holland yang memang sudah lebih dulu mempelajarinya sejak masih menjadi asisten Antonio Conte di Chelsea.
“Saya menghabiskan waktu satu tahun Bersama Antonio ketika Chelsea menjuarai liga dengan 3-4-3. Cesar Azpilicueta, yang notabene seorang full-back, menjadi bagian dari back-three, dengan Gary Cahill di kiri dan David Luiz di tengah. Pertama kali kami (Holland dan Southgate--red) mulai menggunakan skema 3-4-3 adalah saat Inggris melakoni laga persahabatan kontra Jerman (Maret 2017). Kami kalah, tapi cukup beralasan. Di partai selanjutnya kami membenahi lini tengah agar lebih seimbang,” kata Holland kepada Daniel Taylor.
Untuk menyiasati kekurangan yang ada, Southgate dan Holland memilih Kieran Tripper dan Ashley Young lalu memplot mereka sebagai auxiliary wingers daripada full-backs konvensional. Jordan Henderson menjadi pivot tunggal di depan para bek, sementara dua gelandang serang untuk menyokong duet oenyerang Harry Kane dan Raheem Sterling jatuh kepada Delle Ali serta Jesse Lingard.
“Kami memiliki penyerang yang bagus dan jika kami bermain dengan 3-3-2-2, kami memiliki dua orang di tengah. Pertanyaan kami saat itu adalah: ‘Apakah kami memiliki wingbacks?’. Posisi tersebut menjadi persoalan terakhir kami: wing-backs yang ada memiliki karakter permainan yang berbeda-beda.”
Dalam beberapa laga uji coba yang dilakukan Inggris pada November tahun lalu, 3-3-2-2 belum menjadi skema pakem Inggris. Mereka masih memainkan 3-5-2 (3-2-3-2) dengan dua holding midfielder: Eric Dier dan Jake Livermore, sementara Ruben Loftus-Cheek sebagai gelandang serang yang menopang dua striker di depan. Eksperimen tersebut tidak memberi hasil memuaskan.
“Tentu saja kami terlihat stabil di babak kualifikasi, tapi tidak tampil mengesankan, tidak mengkreasikan banyak peluang, dan tidak mencetak banyak gol. Lalu bagaimana jika kami ingin meningkatnya sembari mempertahankan stabilitas yang sudah ada? Kami tidak kemasukan banyak gol dan kami tidak ingin merusak hal tersebut. Hanya saja, kami perlu meningkatkan sedikit lagi.”
Pada Maret dan Juni 2018, Inggris melakoni partai persahabatan kontra Belanda, Italia, dan Nigeria. Ketika itu, lini tengah The Three Lions kembali dimodifikasi dengan cara membalik format segitiga gelandang tengah: satu holding midfielder dan dua gelandang serang bertipe nomor 8 atau offesinve 8’s.
Secara taktik, pemain nomor 8 menjadi katalis yang menghubungkan pertahanan dengan penyerangan. Mereka berkontribusi nyaris dalam setiap aspek permainan: mencetak gol, membuat umpan, termasuk pula menjadi pemain yang menentukan situasi. Xavi Hernandez, Frank Lampard, Paul Pogba, Luka Modric, Steven Gerrard, dan Arturo Vidal adalah contoh-contoh terbaik untuk melihat bagaimana role pemain nomor 8 di lapangan.
“(Laga melawan) Belanda adalah pertama kalinya anda melihat inggris memainkan offesinve 8’s, yaitu Lingard dan Alex Oxlade-Chamberlain. Mereka bermain apik dan hal itu berlanjut saat melawan Italia. Saat menghadapi Nigeria, kami menempatkan Dele Ali di posisi tersebut. Di babak pertama, kami mendapatkan keseimbangan yang kami butuhkan darinya ketika ia maju ke depan, diikuti dengan Jesse yang bergerak naik, dan Raheem yang turun sedikit. Hal tersebut menciptakan banyak kesulitan bagi lawan,” jelas Holland kepada Jack Pitt-Brooke dari The Independent.
Sejak perubahan tersebut, Inggris akhirnya menggunakan 3-3-2-2. Dalam laporan berjudul "Behind the Scenes with Steve Holland" yang tayang di The Independent itu, Jack Pitt-Brooke juga menunjukkan hal fundamental lain yang menjadi sorotan adalah penempatan Kyle Walker sebagai bagian dari back-three di posisi kanan. Di posisi tersebut, tulis Pitt-Brooke, Walker juga menjadi pelapis lubang yang ditinggalkan Trippier ketika ia maju menyerang. Hal ini, menurut Holland, tidak jauh berbeda dengan peran Walker di Manchester City.
“Dengan bek kiri mereka (City), yang biasanya diisi oleh Fabian Delph, bermain agak ke dalam sementara Leroy Sane bermain lebih melebar, Kyle kurang lebih menjadi bagian dari back-three. Dia tidak menghabiskan waktunya sepanjang 30-40 meter di bawah garis touchline. Dia lebih sebagai pengontrol serangan balik.”
Formasi 3-3-2-2 ini, menurut analisis Michael Cox untuk ESPN, sebagai taktik paling unik sepanjang gelaran Piala Dunia 2018 sejauh ini. Fondasinya masih sama, kata Cox, yaitu formasi 3-5-2, namun dipertajam menjadi 3-3-2-2 dengan perbedaan paling signifikan terletak pada dua orang berposisi sebagai "pemain nomor 8" di belakang duet striker.
Ide dasar dari penggunaan dua "pemain nomor 8" adalah usaha Southgate dan Holland untuk menemukan formula untuk memberikan dukungan kepada para penyerang. "Rencana dalam jangka pendek adalah mencoba dan menemukan cara untuk memberikan dukungan lebih banyak kepada para penyerang," urai Holland, dikutip dari reportase Matt Lawton untuk Daily Mail.
Apa yang tadinya dipicu oleh kebutuhan jangka pendek lolos babak kualifikasi Piala Dunia 2018, ternyata berlanjut hingga setidaknya perdelapan final Piala Dunia 2018.
Keberhasilan Menghadapi Perubahan Taktik Kolombia
Saat menghadapi Kolombia, Inggris memainkan 3-3-2-2 fluid dengan garis pertahanan yang cukup tinggi. Hal ini didasari untuk menjaga kerapatan jarak, terutama di lini tengah agar dapat segera menekan lawan ketika menguasai bola. Di babak pertama, laga cenderung berlangsung alot dan kedua tim sama-sama bermain hati-hati.
Cepatnya pergerakan back-four Kolombia dalam menekan pemain Inggris membuat anak asuh Southgate acap mengalami kesulitan kala menyerang. Ketika Trippier dan Young, yang dimainkan lebih melebar dari biasanya, hendak melakukan penetrasi, dua full-backs Kolombia, Santiago Arias dan Johan Mojica, sudah menghadang dengan ketat. Sementara di tengah, Davinson Sanchez dan Yerry Mina sebagai duet bek sentral Kolombia, selalu disiplin untuk cepat menutup area ketika Inggris menguasai bola dan mulai melakukan serangan balik
Usai Inggris mencetak gol melalui penalti Kane, pelatih Kolombia, Jose Pekerman, mengubah strategi dari 4-2-3-1 menjadi 3-5-2. Juan Cuadrado dan Johan Mujica ditempatkan sebagai full-backs untuk berhadapan langsung dengan Trippier dan Young, sekaligus sebagai pasokan untuk melakukan serangan balik. Perubahan ini berjalan cukup optimal. Tekanan dan penetrasi yang dilakukan dari sayap membuat Kolombia akhirnya berhasil mencuri gol pada menit 93 melalui sundulan Mina yang memanfaatkan sepak pojok.
Pada babak tambahan, Southgate membuat perubahan dengan menempatkan Henderson, Ali, dan Dier agak ke depan. Dier tampak agak kepayahan meladeni permainan cepat lini tengah Kolombia, ia pun kembali ditarik mundur sebagai holding defensive di depan back-three.
Namun yang mengejutkan, menurut telaah Micheal Cox untuk The Independent, Pekerman pun turut melakukan perubahan menjadi 4-4-2 dengan memusatkan serangan lewat umpan silang. Dalam telaah taktikal berjudul "Drop in Performance Raises Question about Gareth Southgate’s Tactical Nous", Michael Cox menyebut Southgate mengantisipasi perubahan taktik Pakerman itu dengan menarik mundur Henderson ke posisi awal, sementara Dier turun ke belakang sebagai bek tengah. Pertarungan taktikal ini berlangsung ketat, hingga akhirnya laga dilanjutkan ke babak tos-tosan.
Terlepas dari cara Inggris berhasil lolos, sikap dan kedisiplinan mereka menghadapi perubahan taktik lawan patut diacungi jempol. Hal tersebut bukan sebuah kebetulan. Inggris sudah berada dalam situasi demikian sejak melakoni berbagai laga persahabatan, sebagaimana sempat dijelaskan Holland saat masih di fase kualifikasi:
“Apa yang menurut saya menarik adalah dari empat pertandingan terakhir, lawan selalu mengubah taktik mereka sebanyak tiga kali usai pergantian waktu demi mengatasi kami. Belanda mengubah strategi sejak pergantian babak, dan ketika laga berjalan, mereka kembali melakukannya. Nigeria juga mengubah strategi usai istirahat. Jika lawan mengalami masalah atas apa yang kami lakukan, maka itu adalah hal yang bagus.”
Holland lama bekerja di Chelsea. Ia pernah bekerja untuk Villas-Boas hingga terakhir untuk Antonio Conte. Terutama sejak era Conte, ia mempelajari benar formasi 3 bek. Dengan formasi 3-4-2 yang diperkenalkan Conte itulah, Chelsea menjadi juara Liga Inggris musim 2016-2017.
Saat masih bekerja bersama Conte, ia sebenarnya sempat bekerja paruh waktu sebagai asisten Southgate yang kala itu masih menangani tim yunior Inggris. Saat Southgate ditunjuk sebagai pelatih timnas Inggris senior, barulah Holland sepenuhnya bekerja untuk timnas dan meninggalkan Chelsea.
Tentang kualitas Holland, Southgate pernah berkata: "Jika mau sukses harus mempekerjakan orang yang terbaik, dan buat saya, Steve Holland adalah yang terbaik."
Fabio Capello, saat memimpin Inggris di Piala Dunia 2010, pernah mempekerjakan David Beckham sebagai bagian dari staf tim kepelatihan. Roy Hodgson, di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016, mengajak Gary Neville sebagai asisten pelatih. Hasilnya berantakan.Southgate dengan sadar memilih seseorang yang relatif jauh dari sorotan publik tapi ia tahu benar keahliannya.
'Menurut pandanganku, Steve Holland adalah seorang legenda. Dia meraih juara Liga Champions, Liga Eropa, Liga Inggris, Piala FA. Dia pelatih Inggris paling berpengalaman di seantero negeri dengan latar belakang kepelatihan dari pembinaan pemain muda hingga mendampingi banyak manajer-manajer terbaik di dunia," kata Southgate.
Dan yang lebih penting, kata Southgate lagi, asistennya itu bukan sekadar "tangan kanan", melainkan orang yang bisa menjadi sekondan untuk merumuskan dan merencanakan banyak hal melalui perdebatan. Southgate berujar:
"Dia akan menguji ide-ide saya dan mampu mengutarakan pikiran-pikirannya sendiri. Kami percaya satu sama lain, dan inilah bentuk hubungan yang kritis."
Editor: Zen RS