tirto.id - “Hallo #SobatWisata ada kabar gembira nih di akhir tahun ini. Jalur wisata di kawasan Pantai Anyer hingga Tanjung Lesung, sekarang sudah berangsur normal. #BangkitkanPariwisataTjLesung.”
Twit tersebut diunggah di @Kemenpar_RI, akun resmi milik Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada Rabu (26/12/2018). Twit berseri itu memberikan informasi jika kawasan Anyer hingga Tanjung Lesung berangsur normal usai dihantam tsunami empat hari sebelumnya.
Namun, twit tersebut justru menuai kritik. Langkah Kemenpar dinilai sembrono lantaran mempromosikan kawasan wisata di sejumlah pantai di Banten yang baru saja mengalami bencana tsunami dan saat Gunung Anak Krakatau berstatus “Siaga” atau level III.
Kemenpar pun akhirnya menghapus twit itu, pada Kamis (27/12/2018) malam.
“Kemarin memang disalahpersepsikan beberapa pihak sebagai aktivitas promosi di kawasan Banten. Daripada menimbulkan polemik, kami take out dulu,” kata Kepala Biro Humas Kemenpar Guntur Sakti saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (28/12/2018).
Menurut Guntur, keputusan menghapus twit itu diambil sebagai respons atas keinginan dan kritik masyarakat. Ia pun mengakui bila penyajian informasi yang telah dilakukan lembaganya menimbulkan persepsi yang keliru.
Masyarakat Dilarang Mendekati Pantai
Kritik dan komentar netizen tentu cukup berdasar. Sebab, secara resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM meningkatkan status Gunung Anak Krakatau dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) per pukul 06.00 WIB, pada Kamis (27/12/2018).
Data PVMBG pun menyebutkan hingga 26 Desember 2018, telah terjadi sejumlah letusan, semburan asap kawah kelabu-hitam, hingga gempa tremor yang diamati telah menyebabkan sejumlah longsoran tambahan di sekitar lereng pasca kejadian tsunami.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho pun melarang masyarakat termasuk wisatawan untuk beraktivitas dalam radius 5 km dari puncak kawah.
Menurut Sutopo, BMKG sendiri telah merekomendasikan agar masyarakat tidak melakukan aktivitas di pantai dengan radius 500 meter hingga 1 kilometer dari bibir pantai untuk mengantisipasi tsunami susulan.
Sama halnya dengan Sutopo, Peneliti Muda PVMBG Ahmad Solikin mengatakan masyarakat maupun wisatawan sepatutnya waspada dan menjauhi area pesisir di Selat Sunda. Belum lagi, PVMBG sendiri mengaku belum ada alat yang dapat memprediksi longsor.
“Potensi longsor sampai beberapa hari ke depan masih perlu dikaji. Terkhusus daerah yang dilanda tsunami, kami sarankan tidak ada aktivitas dulu,” kata Ahmad.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani sebelumnya juga sempat mengingatkan agar pemerintah menyiapkan terlebih dahulu faktor keselamatan bagi wisatawan seperti rute, fasilitas, dan skema evakuasi.
Di samping itu, kata dia, belum adanya sistem peringatan dini tsunami yang memadai di kawasan pantai menjadi hal yang krusial dalam jaminan keselamatan wisatawan.
“Kalau pemerintah bisa bikin itu [sistem peringatan dini dan pencegahan] pengunjung akan merasa lebih aman dan percaya diri untuk berwisata,” kata Hariyadi.
Terkait hal ini, Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Affan Sulaeman mengatakan pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada proses pemulihan pasca bencana terlebih dahulu, ketimbang merilis informasi yang dapat mengundang wisatawan.
Apalagi, kata dia, belum ada jaminan bahwa potensi bencana Gunung Anak Krakatau telah berakhir. Meski demikian, Affan memaklumi bila Kemenpar memiliki kepentingan untuk menghidupkan kembali pariwisata di pesisir Banten dan sekitarnya.
Namun, kata dia, aspek yang terlebih dahulu harus dipenuhi pemerintah, khususnya Kemenpar adalah memberikan perlindungan kepada publik agar keselamatannya tetap terjaga saat berwisata ke tempat manapun.
“Sebaiknya Kemenpar fokus ke recovery dulu. Jadi jangan sampai melakukan sesuatu yang mengundang wisatawan dulu. Kan, belum ada yang menyatakan potensi bencana Gunung Anak Krakatau telah berhenti,” kata Affan.
Selain itu, kata Affan, momentum pemulihan daerah wisata ini perlu dimanfaatkan untuk menata ulang daerah wisata tersebut. Sebab, menurut pengamatannya, sejumlah hotel dibangun terlampau dekat dengan bibir pantai, padahal terdapat ketentuan pembangunan baru dapat dilakukan minimal 100 meter.
Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra memiliki pendapat lain. Menurutnya, twit Kemenpar itu menjadi bukti ego sektoral lembaga yang telah lama terjadi dalam pemerintahan.
Riawan memaklumi bila mempromosikan wisata memang merupakan tanggung jawab Kemenpar.
Namun, pada kondisi tanggap darurat bencana ini, kata Riawan, informasi terkait kondisi wilayah wisata pasca bencana sepatutnya berkoordinasi dengan BMKG, PVMBG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hingga Polri sebagai lembaga yang berwenang.
Karena itu, kata Riawan, pemerintah semestinya segera mensikronkan langkah antarlembaga. Kemenpar, kata dia, perlu mempertimbangkan data dan fakta yang juga dimiliki lembaga lain bila ingin mengonfirmasikan laporan terkait wilayah wisata di daerah bencana kepada masyarakat.
"Ini ego sektoral masing-masing lembaga. Kemenpar pasti ingin mempertahankan wilayah sebagai tempat wisata, tetapi saat ini ada tanggung jawab lembaga lain yang lebih diprioritaskan karena fokus pada penyelamatan masyarakat,” kata Riawan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz