Menuju konten utama

Mimpi Jokowi Genjot Devisa dari Pariwisata Terganjal Bencana

Pengembangan pariwisata dinilai tidak cukup bila hanya bergantung pada angka-angka pertumbuhan ekonomi.

 Mimpi Jokowi Genjot Devisa dari Pariwisata Terganjal Bencana
Seniman menampilkan tarian kolosal saat peresmian Patung Garuda Wisnu Kencana di Ungasan, Badung, Bali, Sabtu (22/9). Patung setinggi 121 meter dengan lebar 64 meter tersebut resmi diresmikan dan menjadi patung tertinggi ketiga di dunia. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menilai sektor wisata berpeluang besar menggenjot devisa negara. Ini mengingat pertumbuhan wisata dunia yang berada di angka 7 persen atau dua kali lipat lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 3,5 persen.

“Ini peluang yang harus kita manfaatkan. Ini pula yang jadi alasan kami membangun 10 Bali baru,” tulis Jokowi dalam akun instagramnya @jokowi, Jumat (30/11/2018).

Menurut Jokowi, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke sejumlah destinasi wisata di tanah air terus tumbuh, bahkan di saat pemberitaan media massa soal gempa bumi dan tsunami yang belakangan terjadi.

Pernyataan Jokowi tentu bukan isapan jempol belaka. Travel and Tourism Competitiveness Index 2017 (PDF) mencatat Indonesia berada di peringkat ke-42, membaik 8 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 4,16. Namun di ASEAN, Indonesia masih kesulitan mengejar negara jiran seperti Thailand (34), Malaysia (26), dan Singapura (13).

Keinginan Jokowi ini sejalan dengan target pertumbuhan pariwisata yang pernah diungkapkan Menteri Pariwisata Arief Yahya, 16 Agustus 2018. Menurutnya Kemenpar berupaya menjadikan industri pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar.

Namun menurut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi BS Sukamdani, kunjungan wisman sepanjang 2015-2018 tidak mencapai target. Dari target forecast (prakiraan) sebanyak 17 juta wisman, Haryadi menyebut, yang tercapai masih berkisar 15 juta wisman.

“Agak berat ya untuk mengejar 20 juta wisatawan asing,” kata Haryadi kepada reporter Tirto.

Haryadi berujar industri perhotelan sebenarnya telah siap menyambut kedatangan 20 juta wisman yang ditargetkan pemerintah. Menurutnya, hal itu didukung dengan 310 ribu kamar hotel berbintang dan 300 ribu kamar hotel non-bintang. Jumlah itu juga belum mencangkup hotel yang dikelola dengan model economy sharing seperti Airbnb.

Selain itu, Haryadi mengeluhkan okupansi hotel yang baru mencapai angka 53 persen. Menurut dia, kondisi itu disebabkan jumlah wisman yang belum cukup signifikan. Hingga kini, bahkan kebanyakan jumlah itu masih diisi wisatawan domestik.

“Kami berkepentingan untuk jumlah turis yang lebih banyak. Sejauh ini masih domestik, tapi kami juga ingin ada tamu dari asing supaya okupansinya terisi,” kata Haryadi.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti mengatakan banyak faktor yang menyebabkan angka 17 juta wisman tidak tercapai. Salah satunya bencana alam, seperti gempa di Gunung Rinjani pada 29 Juli 2018, gempa di Lombok pada 5 Agustus 2018, dan gempa Donggala-Palu pada 28 September 2018.

Meski demikian, Guntur menyatakan pemerintah tidak hanya mengejar kuantitas jumlah wisman, tetapi kontribusi pariwisata terhadap devisa negara. Ia pun menargetkan jumlah devisa negara dapat mencapai 20 miliar dolar Amerika Serikat pada 2019.

“Indikator kami, kan, tidak hanya kuantitas, tapi kualitas seperti seberapa besar kontribusi pariwisata terhadap devisa negara,” kata Guntur.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata, sejak 2013 hingga 2017 pendapatan devisa negara dari sektor wisata memang selalu naik. Pada 2013, misalnya, pendapatan negara dari sektor ini tercatat 10,1 miliar dolar AS, naik menjadi 12,2 miliar dolar AS pada 2015. Angka ini terus naik mencapai puncaknya pada 2017, yaitu 15 miliar dolar AS.

Perlu Konsep Pariwisata Berkelanjutan

Peneliti pariwisata cum Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Baiquni menilai peluang pertumbuhan pariwisata dunia memang dapat dimanfaatkan Indonesia dengan sejumlah catatan. Salah satunya, ia menitikberatkan pada kehadiran pariwisata yang berkelanjutan.

Menurut dia, pengembangan pariwisata tidak cukup jika hanya bergantung pada angka-angka pertumbuhan ekonomi. Baiquni mengatakan, aspek non-ekonomi juga perlu diikutsertakan agar pemerintah terdorong melestarikan lingkungan dan budaya, sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitarnya.

“Pertumbuhan [ekonomi] itu, kan, fluktuatif. Jangan sampai kita mengeksploitasi lingkungan. Itu tidak kita harapkan,” kata Baiquni.

Ketimbang pemerintah menggunakan terminologi 10 Bali baru, Baiquni menyarankan, lebih baik setiap destinasi wisata memiliki keunikan masing-masing. Ini supaya destinasi wisata dibangun untuk menerima segmen pasar yang beragam. Misalnya, wisata perbelanjaan di Jakarta, sementara kultural di Bali atau Jawa Timur.

Menanggapi usulan itu, Guntur Sakti menampik bila belum ada solusi yang dikembangkan kementeriannya. Menurut Guntur, pemerintah telah menyiapkan sejumlah program.

Beberapa di antaranya, kata Guntur, adalah sustainable tourism destination (STD) yang berisi penghargaan bagi daerah yang berhasil menerapkan konsep STD, sustainable tourism observation (STO) sebagai program pemantauan wilayah yang dikembangkan dengan konsep wisata berkelanjutan, dan sustainable tourism certificate (STC) sebagai upaya sertifikasi wilayah yang telah menerapkan konsep wisata berkelanjutan.

“Jadi Kemenpar sangat memberi perhatian dalam pengembangan sustainable tourism ini,” kata Guntur.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz